Mohon tunggu...
Muhammad Ikbal
Muhammad Ikbal Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Temui saya di http://ikbaldelima.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membunuh Pesimisme dengan Asian Games

31 Juli 2018   15:33 Diperbarui: 31 Juli 2018   15:52 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semarak Asian Games di Bundaran HI, Jakarta (Dokpri)

Yah, mau bagaimana lagi, namanya juga Indonesia. Pernyataan itu sering terdengar saat seseorang jengkel terhadap Individu, kelompok atau kejadian terkait negeri ini. Umumnya, kesal itu berawal dari peristiwa memalukan dan menyebalkan yang terjadi oleh atau pada anak-anak negeri. Lama-kelamaan, karena seringnya peristiwa memalukan dan menyebalkan itu terulang, citra negatif seakan menjadi ciri khas NKRI.

Kalimat itu bermakna pasrah. Mau bagaimana lagi? Berulang kali diucapkan seolah tak ada lagi harapan. Menghujam pesimisme jauh ke dalam, membuat tak hirau lagi meski asa di depan kornea. Banyak dari kita tetap menatap layu pada lilin yang baru saja membara meski telah sekian lama mengutuk dalam gulita. 

Tak satupun tergerak untuk menjaga. "Toh angin terlalu rajin memadamkannya", pikir banyak dari kita. Kita sudah banyak pasrah tanpa mau berbuat. Belajar kecewa pada orang yang sesekali bertindak, tapi tak sesenti langkah tergerak untuk cahaya. Lalu, siapa yang salah? Angin yang terlalu tekun meniup? Atau kita yang terlalu rajin mengutuk?

Lalu, mau sampai kapan kita begini? Akankah kita mati bersebab pasrah yang terlalu menumpuk?

Harus ada keinginan dan momen kejut untuk membunuh pesimisme itu. Kehendak untuk berubah perlu momen agar perubahan lebih melejit. Kita perlu memanfaatkan momen untuk memupuk asa hidup selamanya, dan momen itu tak lama lagi menjumpai kita, Asian Games namanya. 

Ini momen mendunia, yang jika sukses, membawa rasa bangga tak terkira. Sebuah rasa yang mengubah kalimat "mau bagaimana lagi" menjadi "ternyata kami bisa".

Ciri pesimisme yang sudah biasa bagi sebagian besar kita adalah menyepelekan kemampuan anak bangsa. Jika menang, sangat minim apresiasi yang diberi. Jika gagal, cukup banyak kata makian yang keluar. Untuk optimis, hal-hal positif perlu lebih dihargai dan diperhatikan. 

Tentu tak mungkin mengharapkan semua Atlet Indonesia yang bertarung di kancah olah raga semesta Asia itu menang semua, tapi dengan dukungan, setidaknya kerja keras mereka dihargai. Saat Asian Games, kita bisa meramaikan stadion, dan seminim-minimnya langkah, memberi semangat di media sosial atau berdoa.

Begitu halnya dengan 10 ribu atlet dan 5 ribu officials dari 45 negara, kompetisi yang sportif perlu dibangun. "Para lawan" juga perlu disambut dengan hangat oleh yang punya hajatan. 

Tingginya tingkat kerusuhan dalam olahraga juga tanggung jawab kita, bukan hanya polisi. Saat perhelatan di gelar, menurut kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, warga Jakarta dan Palembang akan kedatangan 200 ribu tamu internasional dari 2 juta tamu. 

Kita, khususnya warga Jakarta dan Palembang selaku tuan rumah harus lebih antusias menyambut para tamu-tamu itu dengan tampilan terbaik. Terkenalnya Indonesia sebagai negeri yang ramah perlu bergema lagi seusai pesta olahraga yang akan digelar dari tanggal 18 Agustus s.d. 2 september ini.

Tingkat optimisme akan meningkat jika apa yang dilihat mata di lapangan memberikan harapan. Biarlah tugas pemerintah membangun infrastruktur, kewajiban kita adalah memanfaatkannya dengan baik. Pemerintah telah memanfaatkan Asian Games sebagai momen untuk menata tampilan fisik, tanggung jawab kita adalah memanfaatkan momen agar terus bersikap baik. 

Sudah cukup laku jahanam yang kita contohkan dan tiru bersama di jalan-jalan dan ruang publik lainnya. Tak perlu denial bahwa menyalahi aturan masih menjadi budaya di negara kita. Melanggar aturan lalu lintas, minimnya budaya antri, toilet yang kotor dan kebiasaan negatif lain masih dengan mudah kita temui. Mengubah suatu kebiasaan tentu sangat sukar, tapi akan lebih sulit jika kita tertinggal jauh dari negara lain justru karena tingkah bebal kita sendiri. 

Perbuatan baik perlu dicontohkan, lalu siapa yang mau mencontoh jika tak ada panutan? Masalah tak akan selesai dengan mengutuk dan mengkritik. "The world is change by your axample, not by your opinion", tulis pengarang buku terkenal, Paulo Coelho.

Sebenarnya banyak orang yang sudah muak dengan segala bentuk pelanggaran aturan, hanya saja dibutuhkan sedikit pemantik agar banyak yang meniru perilaku baik. Ini bisa dilihat dari mewabahnya video-video tentang penghadangan pengguna sepeda motor yang lewat di jalur pejalan kaki. 

Awalnya, hanya satu dua video, namun karena video itu mewakili keresahan yang telah lama tertahan, orang lain menjadi untuk berani melakukan hal serupa. Segala perilaku "perlawanan" terhadap kebiasaan buruk memiliki kemungkinan besar dicontoh, kita hanya perlu menunjukkannya dan Asian Games adalah saatnya.

Di dunia maya, cukup sudah kita terpecah belah. Jangan sampai panas di dunia maya menjalar ke dunia realita. Hoax kasus pencurian anak dan Arab Spring di timur tengah yang berawal dari postingan di facebook dan twitter merupakan contoh bagaimana besarnya efek media sosial bagi pergerakan massa. Tentu kita tak ingin negeri ini ikut hancur bersebab disinformasi di media sosial. 

Oleh karenanya, perhelatan oleh raga semesta Asia merupakan saatnya mengubah postingan memecah menjadi dukung-mendukung agar Asian Games semarak. Agar alih-alih berpanas hati bersebab informasi tak pasti, kita justru menjalin lagi tali silaturrahmi.

Di masyarakat kita, kebiasaan mempopulerkan sesuatu yang positif (termasuk asian games) memang belum umum terjadi. Berita/postingan yang aneh dan memantik keresahan lebih mudah viral dibandingkan berita positif. Namun begitu, membuat tenar Asian Games di dunia maya bukan suatu hal yang tidak mungkin asal semua pihak ikut terlibat. 

Kita tidak tahu berapa orang yang menjadikan kita role model dalam bermedia sosial. Untuk mempopulerkan Asian games, kita juga bisa memanfaatkan kebiasaan masyarakat atau netizen yang ikut-ikutan nimbrung ketika suatu hal banyak dibicarakan. Tentu butuh gotong royong dan pengetahuan yang lebih untuk membuat postingan Asian Games yang berkualitas viral di mana-mana.

Dengan kekuatan era digital, optimisme Asian Games bisa menyebar cepat ke seluruh Indonesia. Palembang, dan utamanya Jakarta adalah contoh bagi daerah. Jika Jakarta berhasil menjadi teladan, pesimisme di daerah akan NKRI menjadi musnah.

Punahnya pesimisme tentu tidak hanya tergantung pada banyaknya trofi yang didapat. Kita bisa saja nantinya tidak memenangkan banyak piala, tapi ketika perhelatan Asian Games digelar dengan sukses berkat bantuan semua warga negara, minimal ada satu hal besar yang kita menangi, bangga menjadi Indonesia.

Ada contoh menarik yang mungkin mewakili kebanggaan berbangsa melebihi kemenangan akan kompetisi itu sendiri. Meski Rusia tidak menjadi juara Piala dunia, publik Rusia patut berbangga hati. Sebelum pagelaran piala dunia 2018 di gelar, Rusia dilabeli sebagai 'pemain ganas' dalam di perkancahan internasional. Bagi penggemar film Hollywood, tentu tahu Rusia sering digambarkan sebagai negeri diktator yang keras terhadap warganya dan negara lain yang tidak sepaham. 

Namun setelah Piala dunia usia, label negatif itu terhempas jauh-jauh. Hanya ada komentar dan cerita positif dari jutaan warga internasional yang berkunjung ke sana. Kita juga bisa belajar dari fans sepakbola jepang yang memungut sampah usai Jepang menaklukkan Kolombia 2-1 pada babak penyisihan grup H. Jepang juga tidak memanangi piala dunia, tapi aksi kecil mereka meyakinkan warga dunia bahwa Jepang adalah sebuah bangsa yang besar.

Bangsa-bangsa besar maju tidak dengan diiringi sikap rendah warga negaranya, melainkan dengan kebanggaan akan negerinya. Optimisme penting untuk modal dasar pembangunan manusia dan negara. 

Di akhir Asian Games, akankah kita bangga menjadi Indonesia atau justru terjerumus kembali ke dalam jurang pesimisme? Mungkinkah Asian Games dengan selogannya, Energi Of Asia, memberikan tenaga perubahan minimal bagi negara penyelenggaranya? Kita semua yang menjawabnya....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun