Budaya Patriarki dan Hambatan Perkembangan Optimal Anak
Budaya patriarki telah lama mengakar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Sistem ini menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan pengambil keputusan utama, sementara perempuan dan anak-anak sering kali diletakkan dalam posisi subordinat. Dampaknya terasa nyata dalam pola asuh dan perkembangan anak, baik dalam ranah pendidikan, emosional, maupun sosial.
Dalam keluarga yang masih menerapkan pola patriarki, anak perempuan cenderung dibebani dengan tugas domestik lebih banyak dibandingkan anak laki-laki. Sementara itu, anak laki-laki diarahkan untuk mempersiapkan diri menjadi pemimpin dan pencari nafkah, dengan tanggung jawab yang besar sejak usia dini. Ketidaksetaraan ini menciptakan ketimpangan dalam kesempatan belajar dan berpartisipasi dalam aktivitas yang mendukung pengembangan diri anak secara maksimal.
Dampak Patriarki pada Pola Asuh dan Perkembangan Anak
Budaya patriarki tidak hanya membentuk pola pikir orang tua dalam membesarkan anak, tetapi juga memengaruhi dinamika hubungan emosional dalam keluarga. Anak laki-laki sering kali diajarkan untuk menekan emosi dan menunjukkan kekuatan fisik, sementara anak perempuan diharapkan patuh dan tunduk pada norma tradisional yang membatasi kebebasan mereka.
Penelitian Tata Arbiyana dan Syukur Kholil (2024) menyoroti fenomena fatherless yang banyak terjadi di lingkungan keluarga patriarki. Anak perempuan yang tumbuh tanpa kehadiran ayah cenderung mengalami dampak psikologis lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Ketidakhadiran figur ayah berkontribusi terhadap rendahnya rasa percaya diri dan meningkatnya kecemasan pada anak perempuan. Dalam beberapa kasus, mereka merasa tidak memiliki panutan yang bisa dijadikan contoh dalam kehidupan sehari-hari.
RA, salah satu partisipan dalam wawancara yang dilakukan Tata Arbiyana, mengungkapkan bahwa ketiadaan ayah sejak kecil menyebabkan ia kesulitan mengelola emosi dan sering merasa marah tanpa alasan yang jelas. RA juga menyaksikan ketidakadilan gender di rumahnya, di mana ibunya harus memikul tanggung jawab ganda. Pengalaman ini membentuk perspektif RA untuk menghindari hubungan dengan pasangan yang menunjukkan kecenderungan patriarkis.
Pola Asuh Otoriter dan Ketidaksetaraan Gender
Di Indonesia, pola asuh otoriter masih banyak diterapkan, terutama dalam keluarga yang menjunjung tinggi budaya patriarki. Pola ini memiliki ciri-ciri seperti menuntut anak untuk selalu patuh pada keinginan orang tua, minimnya komunikasi, kurangnya kasih sayang, dan sering kali menggunakan kekerasan verbal maupun fisik sebagai bentuk disiplin.
Menurut Baumrind (2012), pola asuh otoriter dapat menghambat perkembangan sosial dan emosional anak. Mereka cenderung tumbuh dengan rasa takut dan tidak memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi potensi diri. Anak-anak dari keluarga otoriter juga sering merasa tidak mampu membuat keputusan sendiri karena terbiasa diarahkan oleh orang tua.
Sebaliknya, pola asuh demokratis yang memberikan ruang bagi anak untuk berpendapat dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terbukti lebih efektif dalam mendukung perkembangan anak. Pola ini mendorong anak untuk menjadi individu yang percaya diri, mandiri, dan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi.
Salah satu solusi untuk mengatasi dampak negatif budaya patriarki adalah menerapkan pola asuh responsif gender. Pendekatan ini menekankan pentingnya memberikan kesempatan yang sama kepada anak laki-laki dan perempuan untuk mengembangkan keterampilan dan minat mereka tanpa terikat oleh peran gender tradisional.
Contohnya, anak laki-laki diajarkan untuk terlibat dalam tugas domestik seperti memasak dan mencuci, sementara anak perempuan didorong untuk berpartisipasi dalam kegiatan di luar rumah seperti olahraga atau kegiatan berbasis sains dan teknologi. Pembagian peran yang seimbang ini tidak hanya membantu anak-anak mengembangkan berbagai keterampilan, tetapi juga membentuk pandangan yang lebih inklusif dan adil terhadap gender.
Kesetaraan gender dalam pendidikan merupakan aspek penting yang harus didorong sejak dini. Banyak keluarga patriarkis masih memandang pendidikan untuk anak perempuan sebagai hal yang kurang penting, dengan alasan bahwa peran perempuan nantinya akan lebih banyak berkutat di ranah domestik.
Padahal, penelitian menunjukkan bahwa pendidikan yang setara antara anak laki-laki dan perempuan memiliki dampak positif yang besar terhadap kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Anak perempuan yang mendapatkan pendidikan tinggi memiliki peluang lebih besar untuk berkontribusi dalam perekonomian keluarga dan memberikan dampak positif dalam pola asuh generasi berikutnya.
Peran Orang Tua dalam Menciptakan Lingkungan Inklusif
Kerja sama antara ayah dan ibu dalam membesarkan anak menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak secara optimal. Ayah dan ibu perlu berbagi tanggung jawab dalam mengasuh dan mendidik anak, sehingga tidak ada beban yang terlalu berat di salah satu pihak.
Keteladanan dari orang tua dalam menunjukkan sikap saling menghormati dan bekerja sama dalam menjalankan tanggung jawab domestik akan memberikan dampak positif bagi anak-anak. Mereka akan belajar bahwa peran dalam keluarga tidak ditentukan oleh gender, melainkan oleh kerja sama dan rasa tanggung jawab bersama.
Selain peran orang tua, edukasi dan kampanye mengenai kesetaraan gender di masyarakat juga penting untuk menciptakan perubahan yang lebih luas. Seminar, lokakarya, dan pelatihan bagi orang tua tentang pentingnya pola asuh responsif gender dapat membantu mengurangi ketimpangan yang terjadi akibat budaya patriarki.
Kesimpulan
Budaya patriarki memiliki dampak mendalam terhadap pola asuh dan tumbuh kembang anak, menciptakan ketidaksetaraan gender yang menghambat potensi mereka. Namun, dengan menerapkan pola asuh responsif gender, kerja sama orang tua, dan meningkatkan kesadaran masyarakat, rantai ketidakadilan ini dapat diputus.
Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan inklusif dan bebas dari diskriminasi gender akan memiliki peluang lebih besar untuk berkembang menjadi individu yang mandiri, percaya diri, dan memiliki nilai-nilai keadilan. Dengan demikian, upaya bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah menjadi langkah penting dalam mewujudkan generasi yang lebih adil dan setara di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H