Mohon tunggu...
ika vijayanti lailatul
ika vijayanti lailatul Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mahasiswa sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pengaruh Budaya Patriarki Dalam Tumbuh Kembang Anak

2 Januari 2025   19:57 Diperbarui: 2 Januari 2025   19:56 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Budaya Patriarki dan Hambatan Perkembangan Optimal Anak
Budaya patriarki telah lama mengakar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Sistem ini menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan pengambil keputusan utama, sementara perempuan dan anak-anak sering kali diletakkan dalam posisi subordinat. Dampaknya terasa nyata dalam pola asuh dan perkembangan anak, baik dalam ranah pendidikan, emosional, maupun sosial.

Dalam keluarga yang masih menerapkan pola patriarki, anak perempuan cenderung dibebani dengan tugas domestik lebih banyak dibandingkan anak laki-laki. Sementara itu, anak laki-laki diarahkan untuk mempersiapkan diri menjadi pemimpin dan pencari nafkah, dengan tanggung jawab yang besar sejak usia dini. Ketidaksetaraan ini menciptakan ketimpangan dalam kesempatan belajar dan berpartisipasi dalam aktivitas yang mendukung pengembangan diri anak secara maksimal.

Dampak Patriarki pada Pola Asuh dan Perkembangan Anak
Budaya patriarki tidak hanya membentuk pola pikir orang tua dalam membesarkan anak, tetapi juga memengaruhi dinamika hubungan emosional dalam keluarga. Anak laki-laki sering kali diajarkan untuk menekan emosi dan menunjukkan kekuatan fisik, sementara anak perempuan diharapkan patuh dan tunduk pada norma tradisional yang membatasi kebebasan mereka.

Penelitian Tata Arbiyana dan Syukur Kholil (2024) menyoroti fenomena fatherless yang banyak terjadi di lingkungan keluarga patriarki. Anak perempuan yang tumbuh tanpa kehadiran ayah cenderung mengalami dampak psikologis lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Ketidakhadiran figur ayah berkontribusi terhadap rendahnya rasa percaya diri dan meningkatnya kecemasan pada anak perempuan. Dalam beberapa kasus, mereka merasa tidak memiliki panutan yang bisa dijadikan contoh dalam kehidupan sehari-hari.

RA, salah satu partisipan dalam wawancara yang dilakukan Tata Arbiyana, mengungkapkan bahwa ketiadaan ayah sejak kecil menyebabkan ia kesulitan mengelola emosi dan sering merasa marah tanpa alasan yang jelas. RA juga menyaksikan ketidakadilan gender di rumahnya, di mana ibunya harus memikul tanggung jawab ganda. Pengalaman ini membentuk perspektif RA untuk menghindari hubungan dengan pasangan yang menunjukkan kecenderungan patriarkis.

Pola Asuh Otoriter dan Ketidaksetaraan Gender
Di Indonesia, pola asuh otoriter masih banyak diterapkan, terutama dalam keluarga yang menjunjung tinggi budaya patriarki. Pola ini memiliki ciri-ciri seperti menuntut anak untuk selalu patuh pada keinginan orang tua, minimnya komunikasi, kurangnya kasih sayang, dan sering kali menggunakan kekerasan verbal maupun fisik sebagai bentuk disiplin.

Menurut Baumrind (2012), pola asuh otoriter dapat menghambat perkembangan sosial dan emosional anak. Mereka cenderung tumbuh dengan rasa takut dan tidak memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi potensi diri. Anak-anak dari keluarga otoriter juga sering merasa tidak mampu membuat keputusan sendiri karena terbiasa diarahkan oleh orang tua.

Sebaliknya, pola asuh demokratis yang memberikan ruang bagi anak untuk berpendapat dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terbukti lebih efektif dalam mendukung perkembangan anak. Pola ini mendorong anak untuk menjadi individu yang percaya diri, mandiri, dan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi.


Salah satu solusi untuk mengatasi dampak negatif budaya patriarki adalah menerapkan pola asuh responsif gender. Pendekatan ini menekankan pentingnya memberikan kesempatan yang sama kepada anak laki-laki dan perempuan untuk mengembangkan keterampilan dan minat mereka tanpa terikat oleh peran gender tradisional.

Contohnya, anak laki-laki diajarkan untuk terlibat dalam tugas domestik seperti memasak dan mencuci, sementara anak perempuan didorong untuk berpartisipasi dalam kegiatan di luar rumah seperti olahraga atau kegiatan berbasis sains dan teknologi. Pembagian peran yang seimbang ini tidak hanya membantu anak-anak mengembangkan berbagai keterampilan, tetapi juga membentuk pandangan yang lebih inklusif dan adil terhadap gender.


Kesetaraan gender dalam pendidikan merupakan aspek penting yang harus didorong sejak dini. Banyak keluarga patriarkis masih memandang pendidikan untuk anak perempuan sebagai hal yang kurang penting, dengan alasan bahwa peran perempuan nantinya akan lebih banyak berkutat di ranah domestik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun