a. Latar Belakang
Pada tanggal 15 Agustus 945, Jepang menyerah kepada sekutu kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945 diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, tampaknya Jepang belum bisa menerima kekalahannya sehingga Indonesia menjadi masih belum aman dari adanya penjajahan.Â
Peperangan dimulai disebabkan oleh pihak Jepang yang pada bulan Oktober 1945 berusaha mendapatkan kembali kekuasaan di kota-kota, baik kota besar maupun kecil di Jawa yang baru saja ia setujui untuk diambil alih oleh bangsa Indonesia. Namun, pemuda Surabaya berhasil dalam melucuti senjata Jepang pada 1 Oktober 1945 sehingga mendorong pemuda di daerah-daerah yang lainnya untuk berbuat serupa.Â
Sejumlah besar tentara Jepang yang belum bisa kembali ke negaranya diarahkan untuk bekerja di berbagai sektor, salah satunya yaitu industri manufaktur. Pada tanggal 14 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30 secara tiba-tiba orang Jepang yang bekerja di pabrik Gula Cepiring tersebut memberontak dan menyerang para Polisi Indonesia yang menjaganya. Orang-orang Jepang yang dipindah ke Semarang tersebut melarikan diri ke arah Jatingaleh dan bergabung dengan pasukan Kidobutai yang dipimpin oleh Mayor Kido.
Ketegangan semakin meningkat ketika Dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (RS Purasara), tewas tertembak oleh tentara Jepang. Saat itu, Dr. Kariadi sedang dalam perjalanan untuk melakukan pemeriksaan di Reservoir Siranda di Candi Lama, yang merupakan sumber mata air di Semarang.Â
Kematian Dr. Karyadi, Kepala Laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara) Semarang, menjadi simbol awal dari serangkaian tragedi dan kekerasan yang mengguncang Semarang selama peristiwa penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 14 Oktober 1945, Dr. Karyadi ditemukan tewas di dalam mobilnya di jalan Pandanaran dekat asrama Sekolah Pelayaran. Jenazahnya penuh luka-luka bekas benda tajam, hampir tak bisa dikenal lagi. Pembunuhan ini menjadi sorotan pertama dari serangkaian kejadian yang tragis.
Peristiwa ini dapat dianggap sebagai "hujan gerimis pertama" yang memicu badai pembunuhan dan pembantaian yang melanda Semarang selama beberapa hari berikutnya. Kematian Dr. Karyadi adalah salah satu peristiwa awal dalam konflik yang semakin meningkat antara pasukan Indonesia dan pasukan Jepang yang mengarah ke Pertempuran Lima Hari di Semarang.Â
Ini menggaris bawahi kompleksitas, ketidakpastian, dan kekejaman yang melibatkan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia pada masa itu. Selain itu, berita bahwa pasukan Jepang mungkin telah meracuni mata air tersebut memicu emosi masyarakat Semarang dan memperkuat tekad mereka untuk membalas tindakan Jepang.
b. Kronologi Pertempuran Lima Hari di Semarang
Pertempuran lima hari di Semarang merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pertempuran Lima Hari di Semarang ini terjadi selama lima hari tepatnya mulai dari tanggal 15 Oktober 1945 sampai dengan 19 Oktober 1945 yang terjadi pada periode transisi kekuasaan Jepang dan Belanda.
Pada tanggal 4 Oktober 1945, Angkatan Muda bersama Polisi Indonesia di Semarang berhasil menemukan kemudian menyita persediaan mesiu milik tentara Jepang di Gua Kambangan. Selain itu, melalui perundingan dan tipu daya yang dilakukan Angkatan Muda juga berhasil mendapatkan beberapa puluh pucuk senjata dari markas Polisi Jepang yang berada di Jalan Bojong, Semarang (sekarang Jalan Pemuda).Â
Usaha pemuda dalam memperoleh senjata mencapai puncaknya pada tanggal 7 Oktober 1945. Bermacam-macam senjata tajam dibawa oleh para pemuda Semarang yang kemudian mengerumuni tangsi tentara Jepang, Kido Butai yang terletak di Jatingaleh. Di sisi lain, dilakukan perundingan antara pemimpin mereka dengan komandan Kido Butaidi dalam markas.Â
Kido Butai atau Pasukan Kido merupakan istimewa dari Jepang yang dipersiapkan di Semarang untuk menghadapi tentara Sekutu ketika mendarat. Pasukan ini bertempat di suatu kompleks militer yang luas di Jatingaleh. Kekuatan yang dimiliki oleh pasukan lebih besar daripada 1 batalion. Pasukan menggunakan senjata lengkap dan memiliki banyak pengalaman di berbagai Medan pertempuran.
Perundingan dengan suasana yang cukup menegangkan berjalan dengan cepat, karena pada dasarnya Kido Butai merasa keberatan jika harus menyerahkan seluruh senjatanya pada hari itu juga tanpa adanya izin dari atasan, yaitu Mayor Jendral Nakamura di Magelang. Pada akhirnya senjata diserahkan secara bertahap hingga seluruh senjata Kido Butai diserahkan.Â
Penyerahan senjata untuk Angkatan Muda dan para pejuang telah terealisasi. Senjata tersebut merupakan senjata bekas dari tentara Peta Semarang yang dilucuti Jepang dua hari setelah setelah Proklamasi kemerdekaan. Namun, senjata Kido Butai sendiri tidak pernah diserahkan karena meletusnya pertempuran sebelum senjata diserahkan.Â
Sikap Kido Butai berubah secara signifikan setelah terjadinya insiden penangkapan dan pembunuhan terhadap orang Jepang Sakura (sipil) di Semarang. Sejak saat itu Kido Butai berhenti memberikan senjatanya dan bertekad untuk merebut kembali senjata yang telah diberikan dan menuntut akan membalas. Kemudian meletuslah pertempuran lima hari di Semarang.Â
Pada tanggal 13 Oktober 1945 pukul 20.00 diselenggarakan konferensi Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) se Jawa Tengah di gedung Angkatan Muda, Jomblang, Semarang. Konferensi tersebut diselenggarakan atas usaha yang dilakukan oleh dewan pimpinan AMRI. Tujuan konferensi berdasarkan pernyataan dari ketua AMRI, S. Karna adalah untuk memperkuat koordinasi antar golongan dan badan-badan yang telah bergabung dengan AMRI.
Konferensi AMRI pada malam itu dipenuhi dengan suasana rasa benci dan curiga terhadap RAPWI. Oleh karena itu, selain dari pembahasan mengenai organisasi, mereka juga membuat keputusan untuk membersihkan individu-individu yang mereka curigai akan mengganggu stabilitas Republik Indonesia. Berita tentang Jepang yang diduga meracuni sumber air di Candi baru semakin memicu kemarahan pemuda.Â
Sehingga, hanya satu jamsetelah konferensi tersebut berakhir pada malam itu, pemuda melancarkan tindakan penangkapan terhadap orang-orang Jepang dan Belanda yang dicurigai terlibat. Aksi penangkapan itu dilaksanakan di kota Semarang dan Ambarawa, dan diteruskan sampai esoknya pada hari Minggu tanggal 14 Oktober 1945. Di daerah Ambarawa, kira-kirasebanyak 260 orang berhasil ditangkap oleh pemuda.Â
Sejumlah kecil orang Jepang yang berada di Bandungan berhasil lolos dengan mobil ke Semarang dan bergabung dengan Kido Butai. Sejumlah orang Jepang dan Belanda di Semarang yang ditangkap pada hari itu tidak bisa diketahui. Diperkirakan dipenjara dulu saja ada 1000 orang lebih tawanan orang Jepang dan Belanda. Akibat peristiwa tersebut, muncul dampak-dampak yang tak terelakkan, termasuk tindakan balas dendam pribadi dari beberapa individu pemuda yang menganiaya hingga membunuh sejumlah orang Jepang yang telah mereka tangkap.Â
Contohnya adalah kejadian di daerah Semarang Barat, khususnya di Benteng Pendek dekat stasiun Poncol. Alasan-alasan pribadi cukup beragam, termasuk insiden di mana beberapa dari mereka mungkin merasa bahwa kekasih mereka telah menjadi korban pelecehan oleh tentara Jepang.Â
Di samping dendam pribadi, terdapat dendam umum dengan latar belakang kekejaman dari penjajahan yang dilakukan oleh Jepang itu sendiri. Kekejaman tersebut diantaranya adalah kepada pekerja Romusha yang diperlakukan secara kejam dan petani yang dirampas hasil padinya secara sewenang-wenang.Â
Pada tanggal 14 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30 secara tiba-tiba orang Jepang tersebut memberontak dan menyerang para Polisi Indonesia yang menjaganya. Serangan tidak dilakukan dengan tangan kosong, melainkan menggunakan senjata tongkat besi dan kayu. Meledaknya tembakan membuat kedua belah pihak ada yang terluka di badannya.Â
Kemudian orang-orang Jepang tersebut melarikan diri untuk dapat bergabung dengan Kido Butai di Jatingaleh. Namun kondisi yang gelap dan diantara mereka banyak yang belum paham dengan Jalan Kota Semarang sehingga beberapa dari mereka ada yang tersesat dan baru ditemukan dengan Kido Butai pada hari berikutnya.Â
Terdapat beberapa kemungkinan alasan dari pemberontakan yang dilakukan oleh orang Jepang dari Cepiring tersebut, diantaranya orang tawanan tersebut tidak memperoleh cukup makanan dan dianiaya, bagian dari rencana Kido Butai ke Semarang, atau bahkan kemungkinan sebagai bentuk pemberontakan orang Jepang akibat mereka mengetahui bahwa terdapat beberapa kawannya yang dibawa dan dibunuh oleh pemuda.Â
Alasan yang terakhir sesuai dengan pembunuhan terhadap Jepang yang terjadi di Semarang Barat, seperti yang telah dijelaskan di awal mengenai pemberontakan orang Jepang di Cepiring. Penyiksaan dan pembunuhan terhadap warga Jepang adalah akar pergerakan Kido Butai, yang dipicu oleh dorongan untuk membalas dendam dan menjaga solidaritas sesama warga Jepang.Â
Namun, tindakan yang terlalu terburu-buru dan kurang pengendalian dari pihak Kido Butai justru memperburuk situasi dan menyebabkan peningkatan jumlah warga Jepang yang tewas oleh pemuda sebagai respons terhadap tindakan balas dendam tersebut.
.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H