Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Jalan-jalan Gabut ke Stasiun Garut dengan Menumpang Kereta Api Cibatuan

15 November 2022   16:25 Diperbarui: 15 November 2022   16:38 1342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stasiun Garut lama yang menjadi bagian dari situs cagar budaya| Dokpri

Saatnya pesiar!

Ya, sebagai rakyat jelata pengabdi angkutan umum garis keras sudah saatnya saya kembali menaiki kereta api bernama Cibatuan dengan tujuan Garut setelah setahun sebelumnya menjajal kereta yang sama dengan tujuan Plered.

Rangkaian kereta ini sebelumnya memiliki rute Purwakarta-Cibatu namun karena stasiun Garut dihidupkan kembali maka rutenya diperpanjang sampai Garut kota.

Sebenarnya stasiun Garut ini sudah ada sejak lama, namun baru dibuka kembali pada tanggal 22 Maret 2022 silam.  Proses reaktivasi jalur Cibatu-Garut ini telah dikerjakan sejak tahun 2015 dan selesai pada tahun 2019.  

Sayangnya, peresmiannya tertunda berkali-kali karena adanya pandemi dan perbaikan jembatan yang berusia ratusan tahun.

Jalur kereta api Garut yang berawal di Cicalengka sudah ada sejak tahun 1887 yang dikerjakan oleh perusahaan kereta api negara Staatssporwegen (SS).  Dua tahun kemudian jalur yang membentang sepanjang 51 kilometer ini dibuka untuk umum.

Tahun demi tahun berlalu,  banyak masyarakat yang mulai beralih menggunakan jenis moda angkutan lain seperti mobil dan bis, maka sejak tanggal 9 September 1983, jalur kereta api Cibatu-Garut ditutup.  Ah, sayang sekali ya.

Oleh karena saya sangat penasaran dengan kereta yang mengalami perpanjangan jalur itu, maka dengan berbekal kegabutan nan haqiqi, saya pun langsung cuz ke stasiun kereta tercinta.

Saya tiba di stasiun Bandung pukul 6.15  WIB, masih lama ke jam keberangkatan yaitu pukul 6.45 WIB.  Jadi setelah memindai barcode tiket dan masuk ke dalam akhirnya jajan-jajan cantik dulu berupa bala-bala segede gaban dan Roti yang aromanya selalu bikin kembang-kempis hidung.

Bala-bala segede gaban|Dokpri
Bala-bala segede gaban|Dokpri

Oh iya, saya membeli tiket kereta lokal tersebut secara online dengan menggunakan aplikasi KAI Acces.  Harga tiket Bandung-Garut sendiri adalah Rp. 14,000,-.  

Saat sedang khusuk memandangi kucing stasiun dengan hiasan gelembung di hidungnya, tersiarlah kabar bahwa kereta lokal yang rangkaian gerbongnya diproduksi tahun 1965 itu mengalami keterlambatan.  Ya, beberapa minggu ini kereta lokal memang selalu tidak tepat jadwal, demikian kata keponakan saya yang rajin naik-turun kereta.

Dokpri
Dokpri
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya sang kereta pun datang.  Berbeda dengan saat zaman pandemi yang kapasitas penumpangnya maksimal 70% maka saat ini telah berada di angka 100%.

Saya memilih gerbong terkakhir dengan beberapa kursi yang belum terisi.  Duduk berhadapan dengan penumpang lain, alhamdulillah sesuatu, dengkul kami gak pake beradu.

Rangkaian kereta Cibatuan ini terdiri dari 7 gerbong dengan kapasitas 106 orang per-gerbongnya.  Kereta yang didukung oleh pendingin ruangan berupa AC Split ini akhirnya berangkat pada pukul 7.11 WIB.

Saat masih di wilayah Bandung, kereta ini melewati Masjid Raya Al-Jabbar yang fenomenal, stadion GBLA yang kini menjadi homebase-nya Persib, dan tentu saja depo kereta cepat di Tegalluar, Swansea eh Bojong Soang.

Masjid Raya Al-Jabbar|Dokpri
Masjid Raya Al-Jabbar|Dokpri
Nah, salah satu tujuan saya naik kereta ini adalah ingin melihat pemandangan alam jalur Bandung-Garut yang katanya indah, namun hal ini baru didapat di daerah Leles.

Sawah, ladang, pegunungan, para petani, itik, kambing, sungai, dan pegunungan mulai bermunculan satu-persatu di depan mata saya sementara suasana dalam gerbong ramai dengan penumpang yang mendengarkan musik atau melihat video tanpa menggunakan pelantang suara.

Dokpri
Dokpri
Alhasil, kuping saya dipenuhi dengan lagu dangdut koplo, resep bolu kukus mekar, suara Sponge Bob, serta vokal membahana Axl Rose yang mendendangkan lagu "November Rain."

Sambil melihat sekeliling, saya pun bertanya-tanya pada gerbong yang bergoyang, apakah ada orang gabut lainnya yang melakukan perjalanan pulang-pergi dengan tujuan hanya mencicip rute baru ini.  

Eeeh, ternyata ada dong.  Penumpang yang terdiri dari bapak dan anak yang duduk di seberang saya melakukan hal yang sama.  Mereka malah full persiapan dengan membawa bekal makanan plus kopi di termosnya yang ciamik.

Dokpri
Dokpri
Perjalanan kereta Bandung-Garut melewati beberapa stasiun seperti Cikudapateuh, Kiaracondong, Cimekar, Rancaekek, Haurpugur, Cicalengka, Nagrek, Leles, Karangsari, Leuwigoong, Cibatu, Pasir Jengkol, dan Wanaraja.  

Selama perjalanan ke Garut, operator KA yang bersuara bak penyiar radio itu dengan tertib meng-halo-halo penumpang bila telah mendekati stasiun di mana kereta akan berhenti sementara untuk menurunkan atau menaikan penumpang.

Pukul 10.35 WIB kereta Cibatuan sampai di stasiun Garut yang digadang-gadang menjadi stasiun termegah di Indonesia. Betapa tidak, stasiun baru ini memiliki desain modern yang "wah."  Selain itu dilengkapi dengan berbagai fasilitas dari tempat ibadah, toilet, ATM, dan ruang tunggu.

Dokpri
Dokpri
FYI, bangunan stasiun lama yang berada di sisi timur masih dipertahankan karena termasuk bagian dari situs cagar budaya.

Bagian dalam stasiun|Dokpri
Bagian dalam stasiun|Dokpri
Begitu kereta berhenti saya pun langsung melesat ke toilet yang ada di stasiun, padahal ya toilet di kereta lokal kini sudah lumayan bersih walaupun aromanya tetap saja semriwing.  

Toilet di kereta|Dokpri
Toilet di kereta|Dokpri
Di samping kiri (dari arah dalam) bangunan stasiun baru terdapat toilet pria dan wanita.  Tapi sayang sekali, walaupun masih terlihat baru namun keadaannya sungguh mengkhawatirkan.  Ada dua bilik toilet wanita, yang WC-nya duduk tidak dapat digunakan alias sedang eror.

Akan halnya WC jongkok berfungsi tapi tanpa gayung, tanpa ember, dan tanpa kamyu, eh.  Hanya selang yang menggelayut mesra dari keran, itu pun gak terlalu setia, lepas lagi-lepas lagi.

Mungkin konsepnya si selang berperan sebagai jet spray,  tapi malah berakhir dengan kewaguan tingkat dewa.  

Aliran air krannya kencang bikin selang lepas melulu, terus sang air muncrat kemana-mana, jadikan basah ...basah ...basah... seluruh tubuh, ah .. ah.. ah... mandi maduuu... eeehhhhh menyentuh kalbu.

Tapi saya yakin kalau toilet stasiun yang baru pasti lebih terawat lah ya, walau belum melihat langsung karena terburu-buru takut ketinggalan kereta. Kan gawat, nanti kayak judul film Om Teguh Karya.

Untuk pelayanan sih baik walau sempat diteriakin senior petugas karena harus buru-buru keluar dari bagian dalam stasiun beberapa saat setelah turun dari kereta dengan alasan si ular besi akan dibersihkan dulu.

Suasana di sekitar stasiun Garut|Dokpri
Suasana di sekitar stasiun Garut|Dokpri

Begini ya nasib penumpang kereta lokal, pakai acara diteriakin segala.  Sepanjang karir naik kereta jarak jauh, belum pernah tuh diteriakin petugas.  Etapi, di luar itu semua, ada yang cukup menarik yaitu petugas pemindai barcode tampil ketje memakai kebaya dan samping alias sinjang, sungguh sangat mojang Priangan.

Nah, karena kereta datang terlambat maka boro-boro selfi-wefie di atas jembatan yang berada di atas stasiun baru, lha wong keretanya sudah mau berangkat lagi. 

Kereta Cibatuan ini hanya memiliki dua jadwal keberangkatan dari Garut yaitu pada pukul 06.05 WIB dan 10.55  WIB.  Jadi bila ingin pesiar dulu di Garut lebih baik menginap barang satu malam di kota Garut.

Karena saya gak ada acara inap-menginap maka berakhir hanya dengan satu kotak nasi kuning sebagai bukti sudah menjajaki stasiun Garut dan sekitarnya.

Jadi, judulnya sih, ke Garut cuma untuk beli nasi kuning, heuheuheu.

Nasi kuning made in Garut|Dokpri
Nasi kuning made in Garut|Dokpri

Setelah memindai barcode tiket, saya pun kembali naik kereta menuju Bandung dengan gerbong yang sama dan bertemu lagi dengan bapak-anak yang sama gabutnya tadi.

Berhubung saat itu hari Minggu maka penumpang menuju Bandung sangat membludak.  Penuh sesak, semua bangku terisi dan banyak penumpang yang berdiri.  Aroma tujuh rupa langsung menguar kemana-mana.  Bermacam suara terdengar tumpang-tindih tak karuan, kalau sudah begini mending tidur aja, heuheu.

Sepanjang perjalanan, tak ada lagi suara mas-mas operator yang merdu memberi arahan saat akan berhenti di stasiun-stasiun tujuan.  Suara itu kembali muncul saat kereta akan berhenti di stasiun Bandung, mungkin dia lelah ya gaes ya.

Tidak seperti saat ke Plered yang memiliki jeda waktu satu jam-an sampai kereta kembali menjemput sehingga dapat jajan sate dan santuy-santuyan, maka perjalanan ke Garut ini membuat saya terpontal-pontal. 

Tapi gak papa, itung-itung numpang tidur dan sport jantung, ya kan?

Sekian.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun