Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ken dan Pintu yang Hilang

3 Agustus 2020   16:42 Diperbarui: 3 Agustus 2020   17:40 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diolah dari www.pexels.com

Braak!

Pintu itu tertutup dengan keras, beberapa kata umpatan masih terdengar jelas di telinganya.

Ken menatap rumah besar itu untuk terakhir kalinya. Rumah yang telah menaunginya selama 23 tahun terakhir.

Pemuda itu tahu bahwa keinginannya akan ditentang ayahnya. Tapi ia tetap mengatakannya juga. Ia tak tahan dengan semuanya, selama ini ia telah menuruti segala yang diperintahkan ayahnya bahkan mungkin sejak ia berada dalam kandungan ibunya.

Sang ayah telah menempatkan kepentingannya yang belum tercapai kepadanya. Sebentuk mimpi orang tua yang terkadang membuatnya merasa bahwa hidupnya bukanlah untuk dirinya sendiri.

Lima tahun sudah ia berkecipung dengan kuliahnya yang sama sekali tak ia minati. Beberapa bulan lagi ia akan menuntaskan segalanya. Gelar sarjana tehnik arsitektur akan segera ia sandang. Namun Ken tak menginginkan itu karena semua itu telah membuatnya gila.

"Pergi, dan jangan pernah kembali! Kamu bukan anak ayah lagi."

"Jalanan tak akan mengasihimu dan membuatmu menjadi orang sukses. Anak bodoh, jangan pernah berani menemui ibu dan kakakmu.  Rumah dan keluarga ini telah menutup pintunya buat anak tak berguna sepertimu."

Apa yang dikatakan ayahnya beberapa menit lalu masih memenuhi gendang telinganya. Ken menghela nafas panjang, ia tahu akan begini jadinya namun itu tak membuatnya gentar.  

***
Sinar temaram menghiasi kedai kopi yang menyambutnya dengan pintu terbuka. Ken menjejakkan kakinya mantap. Ia sudah membuat keputusan, dan ia tak akan mundur barang sejengkal pun.

Ken terhuyung, punggungnya lelah menahan beban berat dari back packnya yang menggembung. Sejenak ia meletakkan kotak yang berisi benda kesayangannya sementara matanya mencari seseorang.

Pemuda jangkung itu akhirnya menemukannya. Sekian lama tak bertemu dengannya tak membuatnya lupa akan wajah tirus teman masa kecilnya itu. Teman yang membuatnya berani mengambil keputusan penting dalam hidupnya walau hanya lewat panggilan telepon di tengah malam buta.

"Kamu sudah memikirkan semuanya?" Tanya Ryu untuk kedua kalinya.
Ken mengangguk.

"Aku tidak memaksamu Ken. Tapi bila situasinya menjadi seperti sekarang ini, aku jadi merasa bersalah."

"Jangan merasa bersalah Ryu, aku yang membuat keputusan. Ini hidupku."

"Kamu tidak harus meninggalkan kuliahmu, kita akan sesuaikan jadwalnya."
Ken tersenyum tipis.

"Aku meninggalkan semuanya karena aku tahu bahwa inilah hal yang paling aku inginkan dalam hidupku."

Ryu hanya bisa mengangguk mendengar semua ucapan Ken.

***
Ryu, Hiro, dan Yuki ternganga melihat buku yang terbuka lebar di hadapan mereka.

"Kamu yang menulis semua ini?" Yuki membuka lembar demi lembar buku berjilid kawat spiral itu.
Ken mengangguk.

Ryu tersenyum, "Aku tak menyangka kamu masih melakukannya."

"Jejak kehidupanku, semuanya ada di situ." Ken memetik gitar akustik milik Ryu.

"Terima kasih ya, kamu sudah mau terlibat. Di satu sisi aku merasa bahagia tapi di sisi lain aku merasa berdosa." Ucap Ryu sambil menerima gitar yang Ken ulurkan kepadanya.

"Sudahlah kawan, jangan pernah membicarakan ini lagi. Berjanjilah." Ken menatap temannya tajam yang membuat Ryu harus mengangguk berkali-kali.

***

Lima tahun pun berjalan dengan gempita kesuksesan bagi band yang dimotori oleh Ken, Ryu, Hiro, dan Yuki itu.  Perjalanan karir band yang didirikan oleh Ryu dengan awal yang terseok kini tengah berada di puncak kegemilangannya.

Kehadiran Ken telah merubah segalanya. Ken adalah nafas band mereka. Pemuda itu tak hanya menulis banyak lagu yang selalu menjadi nomor satu, ia pun menjadi  energi pendorong ketika kawan-kawannya tengah berada dalam kungkungan kebosanan.

Namun semua keberhasilannya itu kini terasa hambar. Ken tak bisa membagi semua kebahagiaan dengan keluarganya. Ia sangat rindu kepada ibu, kakak, bahkan ayahnya yang telah mengusirnya dari rumah.  

Setiap kali bandnya akan diganjar penghargaan di panggung-panggung besar, Ken selalu mengirimkan undangan kepada keluarganya.  Namun entah sudah berapa undangan yang Ken kirimkan dan tak ada satu pun yang bersambut.

"Pergilah, ketuk pintunya." Ryu menghentikan kendaraan yang mereka tumpangi di seberang jalan rumah orang tua Ken.
Ken diam, matanya tak lepas dari rumah yang bentuk dan rupanya masih sama seperti lima tahun lalu itu.

"Ken?"
Ken menggeleng. "Ayo pergi dari sini, pintunya masih hilang."

***
Semua yang hadir di acara musik tahunan bergengsi itu berdiri memberikan aplaus yang panjang kepada empat orang yang berdiri di panggung atas gelar band paling berpengaruh di negerinya itu.  Ryu mengarahkan standing microphone ke hadapan Ken namun pemuda itu menggeleng.

Kali ini Ken enggan mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Biasanya dengan menggebu ia akan berterima kasih kepada orang-orang yang telah membuatnya menjadi seperti sekarang ini termasuk kepada orang tuanya walaupun meja yang disiapkan untuk mereka tak kunjung berpenghuni. 

Ken tak peduli dengan semua pemberitaan media yang memojokkannya karena meja tak berpenghuni itu, yang penting ia telah menyediakan ruang untuk orang-orang terkasihnya.

"Ken kamu yakin tidak ikut kami untuk merayakan semua ini?" Ryu mengangkat tropi miliknya sesaat setelah acara selesai.
Ken tersenyum lalu menggeleng.

"Bersenang-senanglah, saat ini aku hanya ingin sendiri."

"Hari ini kamu tak akan sempat untuk sendiri karena ... ada mereka." Ryu tersenyum, merangkul bahu temannya itu dan menunjuk kepada tiga sosok yang berjalan tergesa ke arah mereka.

Ken menatap tiga sosok yang sangat ia kenal dan kini telah berada di hadapannya.
"A...a..."  Ken terbata.

Tanpa menunggu lama, pria setengah baya itu pun mulai berbicara.

"Maafkan ayah, Nak. Selama ini ayah telah membuat hidupmu tak bahagia. Ayah telah memaksakan semua keinginan ayah kepada mu."

Ken berdiri kaku di hadapan ayahnya.

"Aku yang seharusnya meminta maaf karena aku telah mengecewakan ayah dan ibu."

Ayahnya menggeleng sementara Ibu dan kakak perempuannya telah tenggelam dalam lautan air mata.

"Ayah bangga pada mu, Nak.  Tak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang ayah ketika melihat anaknya berhasil atas jerih payah dan keinginannya sendiri."

"Pintu kami telah kembali dan akan selalu terbuka untuk mu, Nak."

Ken tak kuasa berucap, ia menangis dalam pelukan ayahnya.  Sementara itu ketiga temannya sibuk melindunginya dari ganasnya kilatan kamera para pencari berita.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun