Bersyukurlah kami karena pihak keluarga kami berdua memiliki pemikiran terbuka sehingga memberi keleluasaan kepada kami untuk menggelar acara pernikahan berdasarkan konsep yang kami inginkan. Â
Lagipula kami ingin menjadi pengantin berdikari. Â Selain biaya ditanggung sendiri, semua printilan pernikahan lainnya hanya melibatkan segelintir orang terdekat yang dengan ikhlas ridho menjadi sukarelawan acara kawinan. Â Keluarga tinggal duduk manis mengikuti acara dari awal hingga akhir tanpa harus ikut ribet.
Pernikahan kami digelar di sebuah cafe dengan tamu undangan kurang lebih hanya seratus orang saja. Sebagai pasangan anti ribet kami merasa pernikahan model inilah yang dibutuhkan demi meminimalisir kerepotan, baik bagi orang-orang terdekat pun diri sendiri. Â Banyak yang nyinyir? Tentu saja. Â Tapi biarlah, karena ini semua merupakan jalan ninja kami, prikitiew.
Dan tibalah saat itu, saat di mana beberapa tetangga yang berstatus ibu-ibu mulai mengeluarkan jurus-jurus pernyinyiran dengan sengit. Â Mereka berkata bahwa mengundang tetangga satu kampung adalah sebuah kewajiban agar semua tahu status hubungan kami demi terhindar dari fitnah.Â
Dan saya pun hanya bisa tersenyum, karena tersenyum .adalah jalan terbaik dari pada menimpali. Â Percayalah menimpali pasukan ibu-ibu yang sedang nyinyir adalah sebuah pekerjaan yang membuang waktu dan tenaga. Â
Menurut saya mengundang orang dalam acara pernikahan bukanlah sebuah kewajiban, jadi jangan dijadikan beban. Jangan terlalu dipaksakan apalagi bila kemampuan yang dimiliki pas-pasan.Â
Penyelenggara pernikahan berhak menentukan siapa-siapa saja yang diundang. Â Mengundang banyak orang ya bagus jika sedikit ya gak papa. Â Lha, salah satu syarat menikah itu kan hanya butuh dua orang saksi, jadi gak harus serombongan juga kaleeeee. Â
Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H