Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Soundgarden dalam Bingkaian Buku "Dark Black and Blue"

26 September 2019   20:35 Diperbarui: 27 September 2019   20:37 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover buku Dark Black and Blue (Ilustrasi: Blabbermouth.com)

Dua tahun sudah Chris Cornell pergi untuk selamanya, dan selama itu pula lah album baru Soundgarden tertunda untuk rilis. Ya, sebelum kepergiannya yang mendadak dan tragis, vokalis band Soundgarden itu telah merekam suaranya dalam bentuk demo untuk materi album mereka selanjutnya. Namun malang tak dapat ditolak, belum lengkap materi album mereka kumpulkan, sang frontman lebih dulu meninggalkan rekan-rekan seperjuangannya.

Kini tinggal Kim Thayil, Ben Shephard, dan Matt Cameron yang ada dalam kebingungan. Selain kendala teknis, ada rasa hampa menyelimuti mereka ketika harus menyempurnakan album baru yang tertunda. Soundgarden seakan kehilangan nyawa. Pengaruh Cornell begitu kuat pada salah satu band pelopor aliran grunge itu, sekuat range suaranya yang mencapai empat oktaf.

Saya sendiri mulai mendengarkan grup ini ketika mereka merilis nomor "Black Hole Sun". Nomor dengan lirik yang menurut Cornell hanya sekumpulan kata yang keluar tiba-tiba dari kepalanya itu penuh dengan warna tergantung perspektif penikmatnya. 

Tembang yang berada di album "Superunkown" ini dapat terasa meresahkan, menyejukan, menggairahkan, menakutkan, atau kombinasi dari keempatnya. Nomor inilah yang telah memberi ledakan dahsyat atas popularitas band yang menyisipkan aroma metal ke dalam racikan musik alternatif rock.

Ya, Soundgarden meramu unsur musik punk dan metal untuk menghasilkan bunyi yang suram dan keruh melalui suara distorsi gitar yang terdengar kotor dan kabur yang pada akhirnya dikenal dengan nama 'grunge'. 

Dengan kekuatan duo Cornell dan Thayil, Soundgarden tumbuh menjadi band yang berkarakter, tidak di dalam nuansa mainstream, tidak pula bermain-main di dunia underground.

Mereka muncul setelah tenggelamnya band perintis grunge, Green River. Soundgarden pun digadang-gadang dapat menjadi band pembuka komersialisasi untuk musik alternatif rock dan grunge. 

Mereka menjadi band pertama yang merilis album melalui label Sub Pop walaupun harus mengakui kedigdayaan "Nevermind", album milik alumnus Sub Pop lainnya, Nirvana. Walaupun Soundgarden merupakan band yang malang melintang di ranah skena Seattle , namun ironisnya beberapa pendirinya tidak berasal dari Seattle. 

Kim Thayil, Hiro Yamamoto, dan Bruce Pavitt adalah tiga serangkai yang bermigrasi dari Illinois ke Washington untuk melanjutkan kuliah walaupun akhirnya hanya Yamamoto yang dapat meraih gelarnya, itu pun jauh setelah ia asyik mahsyuk dalam kancah permusikan.

Sebelum bertemu dengan Chris Cornell, Thayil dan Yamamoto aktif bermain musik underground, sedangkan Pavitt memilih untuk mendirikan fanzine yang pada kemudian hari menjadi label rekaman Sub Pop.

Tahun 1984 menjadi tahun pertemuan yang bersejarah bagi Yamamoto, Thayil, dan seorang drummer cabutan bernama Chris Cornell yang merupakan teman satu kamarnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun