"Kei, maafkan Kak Ren. Tidak sepantasnya ia mengatakan itu."
"Jangan terlalu dipikirkan Ryu, aku memang pantas untuk menerima apapun yang Ren katakan tentang aku."
"Kei, ini tidak bisa di biarkan. Aku harus mengatakan semuanya kepada Kakak."
"Jangan, Ryu. Itu hanya akan membuat Ren lebih membenciku." Kei menggigit bibirnya, rasa khawatir memenuhi rongga hatinya.
"Kei, hanya orang bodoh yang membenci sesorang yang telah membukakan jalan untuk meraih mimpinya." Ryu menatap mata Kei tajam.
"Tapi Ryu..."
"Kei, aku sudah tidak tahan dengan semua ini. Maafkan aku." Ryu menyentuh pundak Kei lembut lalu berlalu.
***
Kei mendaratkan tubuhnya di kursi taman yang telah mengelupas catnya. Dulu ia kerap menemani Ren disana untuk sekadar bercakap-cakap, menulis lagu, bersenandung bersama, atau mendengarkan celoteh Ren tentang mimpi-mimpinya. Mimpi yang kini telah ada di dalam genggaman lelaki yang tak ingin mengenalnya lagi. Dan hanya Ryu lah yang mengetahui semuanya. Ryu harus menahan beban berat sebuah kebohongan demi kakaknya, Ren.
Satu bulan berlalu sejak Kei bertemu kembali dengan Ren di lorong rak toko itu. Rupanya Ren memang sudah mengaggapnya tak ada. Apa yang dikatakan Ryu dahulu ternyata memang lah benar.
"Kakak akan menganggapmu tidak pernah ada dalam hidupnya, Kei."