Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja Terakhir (Bagian 10)

2 April 2018   17:33 Diperbarui: 25 Agustus 2020   21:45 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : blogs.anthena3

Rein memetik gitarnya dengan serius, ia sedang mencoba trik menyetem gitar dengan baik dan benar ala Umam.  Gadis itu berkali-kali memutar putaran gitarnya dan memetik senarnya tapi tetap saja ia belum menemukan nada yang pas.  Print out chord dan lirik lagu yang ia dapat dari Umam seakan mengolok-oloknya tanpa ampun.  Ia mencibir dan melemparkan kumpulan kertas kertas HVS yang telah lecek itu menjauh dari hadapannya.

Tetangga kosannya yang ahli bermain gitar sedang pergi entah kemana, tidak ada satu pun yang menongolkan batang hidung ketika ia membutuhkannya. Rein mendengus, lalu kembali menekuri gitar warisan kakaknya itu.

Akhirnya ia frustasi, mengacak-acak rambutnya lalu memainkan gitarnya dengan asal-asalan. Setelah puas melampiaskan nafsu angkara murkanya, ia pun mengenyahkan gitar berwarna coklat tua itu dari pangkuannya.

Karena keseriusannya yang sangat tak lazim itu, membuat ia tidak menyadari ada yang berdiri di ambang pintu sambil tersenyum-senyum.

"Kamu kenapa?" tanya Nara tiba-tiba..

Rein terlonjak dari duduknya.

"Haduh kakak ngagetin aja kenapa gak ketuk dulu."

"Ngapain ngetuk, orang pintunya kebuka kok."

"Ya sampurasun dulu kek."

"Rampes." sahut Nara kocak.

Rein cemberut, Nara menghampirinya, dan duduk di samping Rein.

"Kenapa ya kok aku oon banget di bidang ini."

"Bidang apa?"

"Ini, musik."

"Ah kata siapa, aku pernah lihat kamu nyanyi, bagus kok, masih berirama gak kayak pengamen terminal favorit kamu itu."

"Kapan? Kakak ngarang ya? aku gak pernah nyanyi di depan kakak."

"Ah masa, aku lihat di acara perpisahan si Jo."

"Oh iyaaa aku lupa, ngapain kakak disana?"

"Lha kamu ngapain?" tanya balik Nara.

"Aku kan diajak Shia."

"Aku juga diajak Shia, tuh lanjutin acara nyetem kamu itu."

Rein manyun. "Ya nyanyi okelah tapi aku gak bisa nyetem gitar dengan baik dan benar kak."

"Bisa main kok gak bisa nyetem."

"Ya gak tahu kak, bakat kali."

"Bakat apa?"

"Bakating gak bisa."

Nara tertawa.

Rein kembali meletakkan gitar nya di pangkuannya dan mulai melakukan ritual yang sama dengan apa yang ia lakukan sebelumnya. Putar, petik, putar, petik, tanpa hasil.

Nara terlihat gelisah, ia memandangi wajah serius Rein dan gitar yang di penuhi tempelan stiker Dagadu, merk T-Shirt terkenal asal Jogja itu.

Sementara itu Rein mengoceh tanpa henti memprotes dirinya sendiri dan memarahi gitarnya yang hanya bisa diam seribu bahasa.

Akhirnya Nara tidak tahan lagi, ia merebut gitar itu dari pelukan hangat pemiliknya.  Rein terkejut tapi tak lama ia tersenyum samar.

Nara memutar putarannya dan memetik senar-senar gitar itu dari nada terendah hingga tertinggi dengan sangat cepat.

"Senarnya kurus banget kayak kamu."  Nara mengembalikan gitar yang entah bermerk apa itu ke pangkuan Rein.

"Dulu sih satu tingkat lebih tebal,  bikin jariku sakit, itu Umam yang ganti."

"Ketinggian juga sih letak senarnya." sambung Nara.

"Iya, tapi minimal sakitnya gak jadi dobel-dobel kan kak, setelah senarnya di ganti dengan yang lebih kurus." terang Rein sambil mencoba hasil seteman Nara dengan lagu andalannya yaitu Bizzare Love Triangle-nya Frente!

Hujan terdengar bergemeretak di genting, Rein terlonjak, dengan secepat kilat ia meninggalkan Nara menuju dak untuk menyelamatkan jemurannya.

Nara menatap gitar yang tergeletak di sisinya. Tangannya pelan mengusap badan gitar itu dengan lembut.  Nara tahu ia sangat merindukan hal itu, tapi bayangan akan kemarahan papinya masih menghantuinya hingga kini.  

Pemuda itu menjentikkan senar-senar gitar yang baru saja ia setem.  Ia mengangkat gitar itu dan meletakkan di atas pangkuannya. Tiba-tiba ia merasa gelisah, keringat dingin membasahi tubuhnya, dengan cepat ia meletakkannya kembali.  Nara menarik nafas panjang.  Ia tidak tahu bahwa Rein telah berdiri di ambang pintu dan memperhatikannya.

Rein meletakkan jemurannya dengan asal di atas ranjangnya. Lalu ia duduk di samping Nara, menggapai gitarnya dan meletakkannya di pangkuan pemuda itu.

 "Kakak gak rindu dengan ini?"

Nara menggeleng dan menyerahkan alat musik petik itu kepada Rein. Tapi tangan gadis itu menghalanginya, ia kembali menyerahkan gitar itu kepada Nara.

"Kak, di sini cuma ada aku, dan aku bukanlah papi.  Sama seperti kakak, aku menyukai gitar, gitar adalah alat musik pertama yang aku kenal.  Aku akan sangat senang apabila kakak mau mamainkan satu saja lagu untuk ku. Papi gak perlu tahu ini semua, kita akan jaga rahasia ini.  Hanya aku dan kakak yang tahu, lepaskanlah rasa rindu kakak, karena itu akan terasa sangat melegakan." Rein meletakkan kedua tangan Nara di posisinya.

"Aku janji, hanya aku dan kakak yang tahu. Bahkan bila tiba-tiba nanti papi nongol di depan pintu, aku akan melindungi gitarku yang cuma satu-satunya ini  sampai tetes darah penghabisan." lanjut Rein berapi-api.

Nara tersenyum. "Melindungi gitar kamu? Aku?"

"Hanya kakak yang  bisa melindungi diri sendiri dengan mengatasi semua rasa takut, benci dan marah yang ada pada diri kakak, bukan aku. Tapi aku berjanji aku akan selalu ada di pihak kakak, aku akan bela kakak walaupun harus naik ke hotel Yamato diantara desingan peluru AK 47-nya kompeni."

"Bukannya AK 47 itu dibuat tahun 1947?" tanya Nara serius.

"Iya gitu, berarti senjata yang lain lah, tapi aku gak tahu jenis nya apa, belum lahir juga soalnya."

Nara tertawa, dan menatap gadis yang selalu membuat perasaannya hangat itu.

Lalu pandangan Nara beralih pada gitar yang catnya terlihat masih mengkilap itu,  senar-senar bajanya terlihat berkilauan laksana cahaya bintang yang ia tatap beberapa malam lalu bersama Rein.

Rein benar, hanya dirinya lah yang bisa mengatasi semua rasa takutnya. Nara menatap wajah gadis yang kini tengah tersenyum padanya, senyum yang selalu membuatnya merasa tentram.  Nara sadar, kini ia memiliki seorang teman berbagi.  Ia mulai memainkan jemarinya, lalu terdengarlah intro yang sangat Rein kenal, Cuscutlan milik Frente!.  Dan tanpa di minta Rein pun langsung mengeluarkan suaranya.  Mereka pun larut bersama Fente!.

"Aktivis grunge bawain Frente!?" tanya Rein tertawa setelah mereka usai berdendang bersama.

"Memangnya gak boleh? aku suka Frente! mereka unik."

"Kok bisa samaan ya, aku juga suka banget sama Frente!" Rein tersenyum gembira.  "Permainan gitar kakak bagus, untuk seseorang yang telah lama tidak memainkan alat musik itu. Sayang sekali bila kakak harus mengubur itu semua tanpa orang lain tahu. Setidaknya sekarang ada satu orang yang telah kakak hibur hatinya."

"Kadang pengalaman pahit itu dapat membinasakan apa saja. Kamu tahu kan bagaimana perasaanku saat itu? Hancur berkeping-keping, tapi aku lebih suka memendam itu semua dalam hatiku. Aku ingin hanya aku yang tahu kesedihanku ini. Aku gak mau membuat orang lain terbebani dengan masalahku." Nara menumpukan dagunya di atas gitar.

"Aku dulu berpikiran sama dengan kakak, tapi Jed telah mengajari ku tentang indahnya berbagi."

Rein tersenyum, tapi matanya sedikit berkabut.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun