"Dulu sih satu tingkat lebih tebal, Â bikin jariku sakit, itu Umam yang ganti."
"Ketinggian juga sih letak senarnya." sambung Nara.
"Iya, tapi minimal sakitnya gak jadi dobel-dobel kan kak, setelah senarnya di ganti dengan yang lebih kurus." terang Rein sambil mencoba hasil seteman Nara dengan lagu andalannya yaitu Bizzare Love Triangle-nya Frente!
Hujan terdengar bergemeretak di genting, Rein terlonjak, dengan secepat kilat ia meninggalkan Nara menuju dak untuk menyelamatkan jemurannya.
Nara menatap gitar yang tergeletak di sisinya. Tangannya pelan mengusap badan gitar itu dengan lembut. Â Nara tahu ia sangat merindukan hal itu, tapi bayangan akan kemarahan papinya masih menghantuinya hingga kini. Â
Pemuda itu menjentikkan senar-senar gitar yang baru saja ia setem. Â Ia mengangkat gitar itu dan meletakkan di atas pangkuannya. Tiba-tiba ia merasa gelisah, keringat dingin membasahi tubuhnya, dengan cepat ia meletakkannya kembali. Â Nara menarik nafas panjang. Â Ia tidak tahu bahwa Rein telah berdiri di ambang pintu dan memperhatikannya.
Rein meletakkan jemurannya dengan asal di atas ranjangnya. Lalu ia duduk di samping Nara, menggapai gitarnya dan meletakkannya di pangkuan pemuda itu.
 "Kakak gak rindu dengan ini?"
Nara menggeleng dan menyerahkan alat musik petik itu kepada Rein. Tapi tangan gadis itu menghalanginya, ia kembali menyerahkan gitar itu kepada Nara.
"Kak, di sini cuma ada aku, dan aku bukanlah papi. Â Sama seperti kakak, aku menyukai gitar, gitar adalah alat musik pertama yang aku kenal. Â Aku akan sangat senang apabila kakak mau mamainkan satu saja lagu untuk ku. Papi gak perlu tahu ini semua, kita akan jaga rahasia ini. Â Hanya aku dan kakak yang tahu, lepaskanlah rasa rindu kakak, karena itu akan terasa sangat melegakan." Rein meletakkan kedua tangan Nara di posisinya.
"Aku janji, hanya aku dan kakak yang tahu. Bahkan bila tiba-tiba nanti papi nongol di depan pintu, aku akan melindungi gitarku yang cuma satu-satunya ini  sampai tetes darah penghabisan." lanjut Rein berapi-api.