Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja Terakhir (Bagian 7)

14 Februari 2018   18:58 Diperbarui: 14 Februari 2018   18:59 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : colourbox.com

Rein termenung di depan televisi Redi yang tengah menyala. Televisi Redi adalah satu-satunya televisi yang ada di kompleks kosan yang memiliki kamar berjumlah kurang lebih 20-an itu. Hitam putih tapi memberi warna kepada penontonnya yang haus akan hiburan visual.  Biasanya ada saja yang memelototi televisi itu.  Duet, trio, kwartet bahkan sampai satu grup ensemble. Dulu sebelum Mayang memiliki Abang, Rein kerap menonton televisi itu bersamanya, biasanya sambil melahap mie instan rasa ayam bawang buatan ibu kos  yang selalu terasa asin di lidah mereka.  Perut kenyang adalah kambing hitamnya kemalasan, begitu pula yang terjadi dengan Mayang dan Rein.  Imbasnya mereka pun saling tuduh untuk memindahkan chanel televisi itu dan aksi ribut mereka langsung membangunkan sang pemilik kamar.

Redi berjalan terhuyung, rambutnya kusut, sambil menguap lebar, ia memandang Mayang dan Rein secara bergantian lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Hidungnya masih ditongkrongi oleh jerawat langganannya yang hari itu statusnya waspada.  Dengan gaya sempoyongan ala sang drunken master, Wong Fei Hung, Redi meraih sapu ijuk lalu menggunakan gagang sapu itu untuk memindahkan chanel televisinyaLalu pemuda yang terkenal dengan ekspresi datarnya itu pun berbaring dengan posisi pantai di depan si hitam putih yang terlihat merana.  Dengan gaya pesenam lantai Sea Games, ia pun mengulurkan kakinya untuk memindahkan chanel televisinya.  Setelah Redi mendemonstrasikan bagaimana cara memindahkan chanel televisi dengan baik dan benar tanpa harus beringsut, ia pun kembali menjatuhkan dirinya di ranjangnya yang terhalang oleh pembatas ruangan  dan melanjutkan acara tidur siangnya dengan damai sedamai hati Rein dan Mayang yang kini mulai mempraktekkan ilmu yang baru saja mereka dapatkan.

Rein menyeringai mengingat hal yang baru saja terjadi  sementara matanya masih menatap layar televisi hitam putih sepeninggal Mayang.

Film kartun dihadapannya sama sekali tidak bisa menghiburnya. Perasaan hatinya terkadang masih terasa pahit.  Ia sama sekali tidak bersemangat menghadapi hari-harinya, rasa rindu terhadap Ibunya dan Jed masih menyelimuti hatinya, menggoreskan perasaan hampa yang tidak berkesudahan.  Air matanya telah mengering, terkuras habis.  Rein memang masih bisa tersenyum bahkan tertawa di hadapan teman-temannya tapi itu adalah caranya untuk menutupi rasa sepinya. Ia hanya tidak ingin teman-temannya melihat dirinya begitu lemah menghadapi kedukaan.  Tapi hari ini lelah melanda batinnya, sejak pagi tadi Rein sama sekali tidak berbicara sepatah kata pun, ia  hanya berdiam diri dengan pikirannya yang pergi entah kemana.

"Nih." tiba tiba Redi membuyarkan lamunannya dengan menyentuhkan sebuah raket bulutangkis tak bermerk ke bahu Rein.

Rein menaikan alisnya.

"Kamu di atas kasur, aku disini." Redi mengajak Rein beranjak dan mendorongnya ke ruangan sebelah yang berisi ranjang lengkap dengan kasurnya yang empuk.

Bagai kerbau di cocok hidung, Rein melakukan apa yang Redi perintahkan. Ia berdiri di ranjang dengan raket bulutangkisnya, sedangkan Redi berada di ruangan depan.  Pembatas ruangan yang terbuat dari jalinan rotan menjadi net mereka.

"Badminton di manaa manaa di kampung jeung di kotaaa." suara Redi mengalun bak sinden yang sering ada di pagelaran wayang golek sambil melakukan serve.

Rein tertawa, kegundahan hatinya mendadak hilang di telan suara Redi yang cempreng dengan logat sunda Tasikmalayanya. Semenit kemudian mereka pun terlibat permaian bulutangkis yang seru.   Dua orang teman itu saling smash dengan di selingi terikan-teriakan heroik yang membahana.

"Orang-orang gila!" seru Umam ketika ia baru saja datang dan melongokkan kepalanya di pintu kamar Redi lalu melengos pergi.

"Red, ada Rein?" kini giliran kepala Lea yang menyembul di pintu.

"Ada." jawab Redi tanpa menghentikkan aksinya.

"Mana? Di tempat Umam? Ada yang nyari dia nih." sahut Lea tak sabar.

"Tuh di dalam, smash!" teriak Redi sambil tergelak.

Terdengar teriakan tercekat keluar dari mulut Rein.

Lea masuk dan menghampiri Rein."Ya ampun, kamu mau jadi titisan Susi Susanti?"

"Liem Swie King." sahut Rein dengan gegap gempita.

"Ya ampun Rein itu kasur kamu injak-injak, udah gak berupa gitu." Lea memukul kaki gadis yang semangatnya tengah berkobar itu dengan selimut.

"Titah paduka Redi." sahut Rein dengan nafas ngos-ngosan.

"Di depan kan ada halaman luas kenapa gak pada main di sana sih?" Lea mulai protes.

"Di depan gak ada netnya." sahut Redi.

"Kalo gitu di GOR sebelah tempat kos aku aja."

"Too mainstream iya kan Red?" teriak Rein.

"Yoi coooyy." seru Redi mengamini.

"Haduh, turun, ada yang nyari kamu." perintah Lea galak.

"Siapa?" Rein meniup kok di tangannya.

"Kakak ketemu gede kamu." sahut Lea.

"Hah, kak Nara? Kesini? Kok bisa?" Rein turun dari ranjang Redi, ia terkejut mengapa tiba-tiba Nara menemuinya, padahal sebelumnya ia telah membuatnya marah.

"Tadi ke tempatku nyari kamu." terang Lea.

"Time out Red." seru Rein .

Redi langsung terkapar di lantai dengan peluh sebesar besar biji salak memenuhi wajahnya.

Rein melihat Nara sedang bersandar di tembok teras kamar Redi.

"Eh kak." Rein salah tingkah.

"Hei."  senyum terkembang dari bibir Nara.

"Kakak sudah gak marah sama aku?  Maafin aku ya, kemarin itu aku gak bermaksud bicara begitu." cerocos Rein sambil mengusap keringat yang menetes di dahinya.

"Ngomong apa ya kamu kemarin, aku kok gak ingat." sahut Nara sambil mengerutkan dahinya berlagak mengingat ingat sesuatu.

"Tapi kok kakak ngilang."

"Kenapa, merasa kehilangan?" goda Nara.

Rein merengut dan membalikkan badannya cepat.

"Eh mau kemana, aku mau pinjam kamus Inggris kamu." teriak Nara.

"Pantesan ada perlunya,  hayuk ke kosan, eh bentar deng lupa." Rein masuk ke kamar Redi lagi.

"Mau ngapain lagi?" tanya Lea sewot, karena acara menonton tivinya terganggu.

"Mau pinjam kaset."

"Kaset apa?" tanya Redi.

"Semi Classic."

"Oh ada di dalem tape, ambil aja, tapi jangan di kusutin ya pitanya."

"Gak lah." Rein mengeluarkan kaset yang berisi komposisi lagu-lagu klasik yang dimainkan oleh sebuah orkestra yang berasal dari negerinya Lee Kuan Yew itu dari tape mobil yang dirubah Redi menjadi tape meja lalu berpamitan pulang.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun