Pak Doktorandus terbelalak melihat lampu ala penerangan jalan kekinian yang baru kemarin ia pasang di luar pagarnya hancur berantakan. Ia makin naik pitam ketika melihat serpihan kaca bohlam sebesar supermoon itu ada yang terdampar pasrah di atas kap mobil baru milik putranya yang terparkir manis di samping rumah tetangga.
Hatinya mencelos, lampu yang niatnya dihadirkan untuk menjawab ocehan tetangganya yang nyinyir tentang pelitnya ia akan penerangan luar rumah itu kini terlihat nelangsa diantara tiang kekar dan seonggok keranjang berisi bunga plastik sebagai aksesoris penggembira.
"Aduh, maaf Pak, saya gak sengaja." Suara lirih mengalihkan pandangan Pak Doktorandus.
Seorang Mas tukang bakso membungkukkan badannya dalam, seakan siap akan melakukan harakiri ala seorang samurai. Pak Doktorandus melotot, biji matanya seakan mau keluar. Oh, ini pelakunya, setor muka tanda bersalah, entah ikhlas atau akting belaka, begitu pikirnya.
"Tadi ada mobil dari arah depan Pak, saya jadinya terburu-buru nikungnya. Saya gak ngukur tinggi gerobak saya, jadi kena neon box di lampu itu, terus prang... bohlamnya pecah." Mas tukang bakso menunjuk lampu kekinian itu dengan jempolnya.
Kini tensi Pak Doktorandus naik seketika dan berhenti di angka 180/120.
"Itu lampu mahal, kamu pasti gak tahu kan bagaimana saya mendapatkannya." Pak Doktorandus berkacak pinggang.
Mas tukang bakso menunduk namun tiba-tiba berubah menjadi menanduk ketika melihat tiang lampu itu berdiri di badan jalan bukan di dalam pekarangan rumah.
"Dua ratus ribu!" Pak Doktorandus menyodorkan telapak tangannya ke arah Mas tukang bakso.
Mas tukang bakso garuk kepala tak gatal, ia menggerayangi seluruh saku yang tertempel di baju dan celananya lalu berpindah ke slorokan di gerobaknya. Tergopoh-gopoh ia menghampiri Pak Doktorandus kembali, wajahnya tertunduk lesu.
"Saya cuma punya segini Pak, hari ini jualan saya sepi." Mas tukang bakso mengulurkan uang recehan sejumlah seratus ribu rupiah.