Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja Terakhir (Bagian 5)

3 Februari 2018   16:29 Diperbarui: 26 Agustus 2020   20:54 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : theimgrum

Waktu berjalan dengan cepat, kesibukan mulai melanda Rein dan teman seangkatannya.  Musim penyusunan Tugas Akhir dan Kerja Praktek yang hingar bingar tengah berlangsung mengalahkan ketenaran musim pancaroba yang terkadang membuat ketahanan fisik melemah.

Siang itu Rein bertemu dengan Shia di jalan menuju kantin  setelah ia bertemu dengan dosen pembimbingnya. Shia tiba-tiba mencengkram pergelangan tangannya yang membuat ia terpaksa berhenti dan mendengarkan apa yang pemuda itu katakan.

"Kamu tega membuat Nara selalu ada di samping kamu, menjaga kamu sementara dia punya kehidupan lain di luar sana?" Perkataan Shia terdengar tajam di telinga Rein.

"Kamu gak merasa berdosa membiarkan Nara menjadi seperti Jed?" lanjutnya.

"Apa maksud kamu?" tanya Rein, dahinya berkerut.

"Nara dan Jed itu berbeda, kamu gak  bisa bikin Nara menjadi Jed. Mereka memang bersaudara, wajah mereka, gerak gerik mereka hampir sama, usia mereka hanya terpaut satu tahun. Nara ada di sekeliling kamu itu karena terpaksa. Nara gak mau kamu menjadi gila karena Jed pergi. Nara adalah kakak yang bertanggung jawab tapi gak seharusnya kamu membiarkan dia tersiksa seperti itu."

"Aku gak menginginkan semua itu." kata Rein pelan.

"Kalau kamu gak menginginkan semua itu, biarkan dia pergi atau tinggalkan dia."

Rein terdiam.

"Rein tanganku masih terbuka buat kamu, kalau kamu balik lagi sama aku, aku janji aku gak akan kayak dulu lagi. Aku akan benar benar menjaga kamu."

Rein menatap Shia dengan galak.

"Aku gak perlu dijaga, aku bukan pos ronda!"  Gadis yang dulu pernah dekat dengan pemuda itu muntab, dengan wajah masam ia bergegas meninggalkan Shia.

Rein melanjutkan perjalanannya sambil memegangi perutnya yang terdengar berisik ingin segera diisi.  Dengan langkah gontai ia menyeret kakinya yang terasa pegal.  Kantin yang ia tuju lumayan ramai, Rein menghempaskan tubuhnya di atas bangku plastik yang warnanya telah memudar.  Tak lama berselang satu piring gado-gado hadir dihadapannya.  Dengan sukacita, ia pun menyantap bongkahan lontong dan sayuran yang terbalut saus kacang itu.  Dalam waktu yang sangat singkat semua yang ada di piringnya tandas.  

Sambil menikmati teh hangatnya, ia melemparkan pandangannya ke segenap penjuru kantin.  Tanpa sengaja tatapannya bersiborok dengan seseorang yang juga tengah menatapnya.  Rein mendengus, menjejakkan kakinya dengan cepat dan menghampiri sosok yang kini tengah berpura-pura tak melihatnya.

"Kakak capek?" Rein mendaratkan tubuhnya di kursi kayu yang telah reyot.

"Hah?" Nara terlihat gugup, nasi goreng yang masih ia kunyah langsung ditelan sekaligus.

Rein menatap mata yang sama dengan milik mendiang Jed itu untuk beberapa detik dan langsung memalingkan tatapannya ke arah anak-anak lain yang tengah menikmati waktu istirahat mereka.

"Habis makan pasti kekuatan kakak balik lagi.  Soalnya setelah ini aku mau ke asrama buat pinjem buku ke Taka, terus ke kantor pos, pulang ke kosan terus ke tempat Umam buat ngebersihin virus laptop."

 "Maksud kamu apa?" Nara tersipu, ia salah tingkah.

 "Ngapain kakak ngebuntutin aku?" Rein meneguk teh tawar beraroma melati dari gelas Nara.

"Aku gak ngebuntutin kamu." Jawab Nara kalem.

"Aku lihat kakak di kantin Jurusanku,  himpunan,  koperasi, perpustakaan dan terakhir di sini."

Nara kembali mengunyah nasinya dengan pelan.

"Kak!"

"Hmmm."

"Kakak belum jawab pertanyaanku?"

Nara menyimpan sendok dan garpunya dengan rapi diatas piring kosongnya, meneguk tehnya santai, meletakkan kedua tangannya diatas meja dan menatap Rein sambil tersenyum.

"Kakak jangan pasang senyum gitu deh."

"Kenapa? Gak boleh? Senyum itu kan ibadah."

Rein merengut. "Aku gak suka, aku pergi."

"Kamu ingin tahu kenapa aku mengikuti kamu?" Nara kini telah berjalan di samping Rein sementara gadis itu diam seribu bahasa.

"Karena aku takut kamu hampir pingsan seperti kemarin." Lanjut Nara tenang.

"Tapi aku kan gak pingsan." protes Rein.

"Nyaris, bisa saja nanti terjadi."

"Aku gak apa apa, itu cuma pusing biasa kok."

"Tapi aku gak biasa, dan aku gak mau merasa kecolongan."

"Kecolongan? Maksudnya?"

"Lepas dari pantauanku."

"Kenapa, memangnya aku gunung berapi yang harus dipantau terus?"

"Karena kamu memang gunung berapi."

"Apa maksud kakak?"

 "Gunung berapi itu tiba-tiba bisa meletus karena desakan magma dari dalam perut bumi yang sudah gak terbendung lagi dan kamu seperti itu."

"Aku bisa menekan semua desakan magma dalam diriku."

"Tapi teori kamu belum terbukti kan? Kemarin kamu hampir pingsan di depan sana, untung Indra lihat, coba kalau enggak, orang lain yang bakal repot."

"Loh memang nya kakak gak merasa repot kalau aku pingsan di depan mata kakak?"

"Enggak."

"Kenapa?"

"Ya gak kenapa-kenapa." Jawab Nara gugup.

Tiba tiba Rein ingat perkataan Shia tadi.

"Kakak punya kehidupan sendiri. Aku gak mau jadi orang yang mengganggu hidup kakak dan membuat kakak merasa tersiksa karena aku.   Aku gak mau orang-orang menganggapku telah memanipulasi kakak.  Selama ini kakak telah menjagaku dengan baik, dan aku sangat berterima kasih untuk itu tapi jangan biarkan aku terlihat tidak tahu diri di mata orang-orang karena selalu merepotkan kakak."

"Kenapa kamu berpikiran picik seperti itu, kenapa kamu harus mendengarkan apa kata orang?" tanya Nara gusar.

"Bukan berpikiran picik, tapi inilah kenyataannya.  Aku telah membuat kakak tidak memiliki kehidupan sendiri karena selalu ada untuk ku."

Nara menatap Rein seakan tak percaya dengan semua yang baru saja Rein katakan kepadanya.

"Baiklah, mungkin kamu benar, aku memang bukan teman yang baik buat kamu. Aku mungkin gak layak berteman dengan kamu atau menjaga kamu, aku pergi."

"Loh kak bukan gitu maksudnya!" Rein berteriak gusar, tapi Nara telah berjalan cepat meninggalkannya.  Rein memukul bibirnya sendiri, mengapa ia bisa berbicara begitu kepada Nara.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun