Sebenarnya aku ini siapa ?
Kejahatan apa yang telah aku lakukan di kehidupan lalu  sehingga kehidupan masa kini ku terasa sangat menyesakkan dada.
Seperti baru kemarin  ayahku pergi meninggalkan ibuku demi wanita lain, lalu Shia telah jelas-jelas  membohongiku, dan sahabatku Dandy lebih memilih berteman dengan obat-obatan. Â
Kini Jed dan Ibu, orang-orang yang sangat aku kasihi pergi meninggalkanku untuk selamanya. Â
Cinta dan kasih sayang rupanya telah meninggalkanku secara perlahan. Â Aku seakan tenggelam, terombang ambing dalam lautan dalam tanpa ada secercah cahaya yang memanduku keluar.
Rein menutup diary-nya perlahan. Melangkahkan kakinya keluar kamar, mengetuk pintu kamar adik kelasnya Rega dan mengucapkan kata-kata yang hanya mereka tahu maksudnya. Â Nara menatap gadis yang tengah memandangi purnama lima belas. Â Gadis itu tengah duduk diam beralaskan ember bekas cucian yang ditelungkupkan sedemikian rupa untuk diduduki.Â
Wajahnya yang masih muram berpendar ditimpa sinar bulan yang terang. Sejenak Nara merasakan desir halus di jantungnya.
Pemuda itu telah melewati hari-hari yang berat sepeninggal adiknya, tapi gadis di hadapannya telah melewati hari-hari yang lebih berat di banding dirinya. Â
Rein telah ditinggalkan oleh dua orang yang sangat ia kasihi secara beruntun.Â
Belum usai rasa dukanya terhadap Jed, kini, ibunya lah yang pergi meninggalkannya untuk selamanya. Â Nara tidak dapat membayangkan bagaimana rasa yang tengah berkecamuk dalam hati gadis itu.
Pakaian yang baru saja Rein jemur masih meneteskan air secara berkala, tetesannya seirama dengan detak jantung Nara. Â Ia masih mematung di ujung tangga yang terbuat dari bilah-bilah papan yang terlihat mengkilap karena sering ditapaki, sementara gadis yang ia tatap masih diam memandangi angkasa yang dihiasi oleh bulan dan bintang yang bertaburan.
"Rein!"
Gadis itu terlonjak dan segera menoleh ke asal suara.
"Eh kak, kok bisa ada disini?" Rein tersenyum samar sementara Nara menghampirinya.
"Tumben gak nuduh aku setan jadi-jadian. Di bawah ketemu Rega, dia kasih tahu kalau kamu ada di sini." sahut Nara
"Setan? gak lah, gak mungkin setan wanginya kayak gini.  Kalau kakak pakai parfum yang wanginya kayak kembang tujuh rupa atau  kemenyan baru aku teriak plus lempar sendal. Dari mana kak?"
"Dari kosan, memangnya kenapa?"
"Semerbak banget kayak mau pergi kencan." canda Rein.
Bahkan diantara kesedihannya, ia masih bisa bercanda.
Nara tersenyum.
"Duduk kak." Rein menunjuk kursi plastik di ujung dak yang tergolek tak berdaya bersama pot-pot yang tanamannya entah pergi kemana.
"Ngapain kamu di sini? Jemur baju?"  tanya Nara heran, ia melayangkan pandangannya  ke sekeliling dak yang di terangi satu buah lampu TL redup.
"Iya."
"Malam-malam begini?"
"Sudah janjian dengan Rega, berharap besok siang bisa cepat kering biar Rega bisa mengambil alih tempatnya."
"Oh, sudah selesai kan? Terus ngapain masih di sini? Nanti masuk angin loh."
"Kakak sendiri ngapain disini, nanti masuk angin juga loh."
"Mau berbalas pantun?" tanya Nara.
Rein tersenyum. Matanya kembali mengangkasa. Mereka pun terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Rein, maaf ya aku gak datang ke pemakaman ibu kamu. Mami nyuruh aku pulang, ada keperluan mendadak."
"Gak apa-apa kak, makasih sudah telpon. Semuanya memang serba cepat, kita memang gak pernah tahu kapan kita akan kembali. Ibu telah  lama sakit, Tuhan tahu mana yang terbaik untuk hambanya, iya kan kak?"
Nara mengangguk lemah, ia memainkan kancing lengan jaket jeans-nya dengan gelisah.
"Beberapa hari kebelakang, aku merasa hidup ini sangat tidak adil." Rein merapatkan cardigan hitamnya.
"Aku merasa Dia telah merenggut kebahagiaan ku dengan paksa."
Nara menundukkan kepalanya dalam.
"Senja itu, aku memutuskan untuk menjadi seseorang yang berhak bahagia. Kami berjanji akan melalui semua senja bersama."
"Kami mulai bermimpi, tapi gelapnya malam telah menghapus semua mimpi kami. Â Kami harus menghadapi kenyataan bahwa kami tidak akan memiliki senja yang sama lagi."
Nara menatap wajah muram gadis yang duduk di sisinya itu.
"Aku marah pada diriku sendiri, mengapa selama ini aku harus membuatnya begitu kebingungan. Â Mengapa aku harus membuatnya merasa gelisah padahal apa yang ia rasakan, aku rasakan juga."
"Dan ketika akhirnya kami memutuskan untuk menjalaninya, sekejap semua itu hilang meninggalkan jejak yang entah kapan bisa aku hapus. Jed adalah teman terbaikku, bersamanya aku merasakan hidup yang berwarna, kami punya banyak kesamaan, tapi kesamaan tidaklah cukup untuk membuatnya bertahan denganku."
"Sama seperti ibu, semua rasa sayangku kepadanya tidaklah cukup untuk membuatnya tetap bertahan untukku." Bulir bening mulai jatuh satu-persatu di pipinya yang tirus, lalu dihapusnya dengan segera.
"Aku merasa menjadi orang yang tidak diinginkan, semua orang mendadak meninggalkanku." Suara yang keluar dari bibir Rein terdengar bergelombang.
"Mereka tidak pernah meninggalkan kamu. Mungkin kini mereka sedang melihat kamu dari atas sana, tersenyum, karena kamu kuat melewati semuanya. Mereka tahu, tanpa mereka kamu akan baik-baik saja." Nara menatap wajah gadis di sisinya lembut.
Rein balas menatap wajah Nara. Pemuda berkulit sawo matang itu tersenyum padanya.
"Beberapa hari yang lalu, perasaanku gak jauh beda dengan kamu, duniaku seakan berhenti berputar. Aku telah kehilangan seorang adik, teman sekaligus sahabat."
"Aku merasa menjadi kakak yang gagal melindungi adiknya. Dulu, mungkin aku bisa melindunginya dari masalah-masalah kecil, tapi tidak untuk takdir Tuhan." Nara tertunduk dalam.
"Aku harus menerimanya, kita harus menerimanya. Ada rencana Tuhan yang gak pernah kita tahu ke depannya, dan aku yakin Dia akan memberikan hal-hal terbaik untuk kita apabila kita bisa melewati semuanya."
Rein mengangguk.
"Kamu tidak sendiri, Rein. Aku akan selalu ada di sini, bahkan ketika kamu sudah tidak membutuhkan ku lagi."
"Makasih kak. Â Kita harus mulai bisa menerima semuanya, iya kan kak?"
"Ya, kita harus mulai bisa menerimanya, karena semakin kita menyangkal semuanya maka akan semakin besar kedukaan yang akan kita rasakan." Nara memandang wajah lelah Rein, angin malam menerbangkan helai rambut gadis itu yang kini mulai memanjang.
Lalu mereka pun duduk dalam diam, Â menyaksikan cahaya bintang yang memancar di kejauhan, yang seakan memberikan harapan bahwa selalu ada cahaya yang memandu dalam setiap kegelapan. Â
Mereka pun sibuk dengan pikiran masing-masing di antara wewangian beraroma bunga dari pengharum pakaian yang menyapa hidung mereka dengan lembut.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H