"Beberapa hari yang lalu, perasaanku gak jauh beda dengan kamu, duniaku seakan berhenti berputar. Aku telah kehilangan seorang adik, teman sekaligus sahabat."
"Aku merasa menjadi kakak yang gagal melindungi adiknya. Dulu, mungkin aku bisa melindunginya dari masalah-masalah kecil, tapi tidak untuk takdir Tuhan." Nara tertunduk dalam.
"Aku harus menerimanya, kita harus menerimanya. Ada rencana Tuhan yang gak pernah kita tahu ke depannya, dan aku yakin Dia akan memberikan hal-hal terbaik untuk kita apabila kita bisa melewati semuanya."
Rein mengangguk.
"Kamu tidak sendiri, Rein. Aku akan selalu ada di sini, bahkan ketika kamu sudah tidak membutuhkan ku lagi."
"Makasih kak. Â Kita harus mulai bisa menerima semuanya, iya kan kak?"
"Ya, kita harus mulai bisa menerimanya, karena semakin kita menyangkal semuanya maka akan semakin besar kedukaan yang akan kita rasakan." Nara memandang wajah lelah Rein, angin malam menerbangkan helai rambut gadis itu yang kini mulai memanjang.
Lalu mereka pun duduk dalam diam, Â menyaksikan cahaya bintang yang memancar di kejauhan, yang seakan memberikan harapan bahwa selalu ada cahaya yang memandu dalam setiap kegelapan. Â
Mereka pun sibuk dengan pikiran masing-masing di antara wewangian beraroma bunga dari pengharum pakaian yang menyapa hidung mereka dengan lembut.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H