"Aku merasa Dia telah merenggut kebahagiaan ku dengan paksa."
Nara menundukkan kepalanya dalam.
"Senja itu, aku memutuskan untuk menjadi seseorang yang berhak bahagia. Kami berjanji akan melalui semua senja bersama."
"Kami mulai bermimpi, tapi gelapnya malam telah menghapus semua mimpi kami. Â Kami harus menghadapi kenyataan bahwa kami tidak akan memiliki senja yang sama lagi."
Nara menatap wajah muram gadis yang duduk di sisinya itu.
"Aku marah pada diriku sendiri, mengapa selama ini aku harus membuatnya begitu kebingungan. Â Mengapa aku harus membuatnya merasa gelisah padahal apa yang ia rasakan, aku rasakan juga."
"Dan ketika akhirnya kami memutuskan untuk menjalaninya, sekejap semua itu hilang meninggalkan jejak yang entah kapan bisa aku hapus. Jed adalah teman terbaikku, bersamanya aku merasakan hidup yang berwarna, kami punya banyak kesamaan, tapi kesamaan tidaklah cukup untuk membuatnya bertahan denganku."
"Sama seperti ibu, semua rasa sayangku kepadanya tidaklah cukup untuk membuatnya tetap bertahan untukku." Bulir bening mulai jatuh satu-persatu di pipinya yang tirus, lalu dihapusnya dengan segera.
"Aku merasa menjadi orang yang tidak diinginkan, semua orang mendadak meninggalkanku." Suara yang keluar dari bibir Rein terdengar bergelombang.
"Mereka tidak pernah meninggalkan kamu. Mungkin kini mereka sedang melihat kamu dari atas sana, tersenyum, karena kamu kuat melewati semuanya. Mereka tahu, tanpa mereka kamu akan baik-baik saja." Nara menatap wajah gadis di sisinya lembut.
Rein balas menatap wajah Nara. Pemuda berkulit sawo matang itu tersenyum padanya.