Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja Terakhir (Bagian I)

12 Januari 2018   17:03 Diperbarui: 26 Agustus 2020   20:24 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Pinterest Darvish Hussein

"Senja menghilang seiring dengan kepergianmu. Warna jingganya yang indah telah berganti dengan gelapnya malam. Biarpun kau dan senja lenyap dari pandanganku namun aku akan tetap disini, menunggumu beserta sinar jingga keemasan yang aku tahu pasti akan selalu kembali".

Rein tersenyum puas, memasukan kembali dua lembar kertas HVS yang baru saja selesai ia baca isinya ke dalam sebuah amplop coklat besar. Ia menuliskan alamat redaksi majalah cerpen remaja di bagian muka sebelah kanan bawah serta namanya di bagian kiri atas amplop tersebut.

Libur semester ini ia manfaatkan sebesar-besarnya untuk menulis. Tak kurang dari 10 cerpen dengan berbagai genre telah ia tulis. Rasa rindu yang menumpuk telah memberi banyak inspirasi, melahirkan barisan kalimat yang kini terbungkus rapat dalam amplop dan siap dikirimkan.

Dua minggu tanpa suaranya memanglah sedikit menyiksa, namun itulah yang telah disepakati sebelumnya. Rein dan Jed ingin menjadikan momen pertemuan nanti menjadi yang tak biasa.

Dua jam sudah ia duduk di kursi kantin jurusannya menunggu seseorang yang berjanji akan menemuinya disana. Lea dan Aksan telah pergi satu jam lalu, disusul dengan Mayang dan Abang. Sedangkan Senny lebih dulu pulang sesaat setelah perkuliahan bubar dengan wajah berbinar karena hari itu adalah hari dimana ia akan menemui seseorang setelah dua minggu terpisah oleh jarak dan waktu.

Rein kembali tersenyum mengingat wajah-wajah semringah temannya. Dan kebahagiaannya pun akan segera datang dalam hitungan menit. Telah terbayang di matanya senyum itu. Senyum yang selalu memenuhi seluruh ruang dalam hatinya.

Menit demi menit berlalu, Rein mulai gelisah. Kantin sudah mulai sepi ditinggalkan para pengunjung setianya namun ia tetap bergeming. Ia percaya bahwa seseorang yang ditunggunya akan segera muncul dihadapannya.

Gubrak!

Tasnya terjatuh. Rein membungkuk untuk memunguti isi tas totenya. Begitu ia kembali menegakkan tubuhnya, dihadapannya telah duduk seseorang.

Ia terkejut, menatap mata coklat yang menghiasi wajah kaku dihadapannya. Ia melemparkan pandangannya ke setiap sudut kantin yang sepi, mencari. Namun pencariannya sia-sia, ia tak menemukan tatapan khas yang ia tunggu sejak satu jam lalu.

Dihadapannya kini ada seseorang dengan sebuah kabar yang tak ingin ia dengar sedikit pun.  Kalimat demi kalimat nan getir keluar dari bibir pemuda berwajah lelah itu. Rein menatapnya kosong.  Tiba-tiba ia merasa seluruh tempat itu berubah suram, warna kelam menyelimutinya. Ia merasakan tiupan angin nan dahsyat menampar-nampar pipinya. 

Rasa dingin menyergap dan memerangkapnya seketika. Semua rasa bahagia yang beberapa hari ini ia rasakan berganti dengan rasa pahit yang teramat sangat.  Sebenarnya Rein menolak untuk mempercayai semuanya namun itu sia-sia karena kabar itu datang dari orang yang sangat terpercaya.  Orang terdekat yang tak mungkin menjadikan kabar duka sebagai lelucon awal tahun.

Rein beranjak, membiarkan amplop besar yang belum ia rekatkan itu tergeletak di meja.  Tanpa sepatah kata pun ia meninggalkan sang pembawa berita.  Langkahnya terasa sangat berat. Setiap ia menapakkan kakinya, ia merasa semua yang dilewatinya menjadi layu dan menghitam. 

Matahari yang bersinar mendadak meredup tertutup awan. Pepohonan yang rimbun meranggas seketika, rerumputan yang menghijau tiba-tiba berubah hitam terbakar dan bunga-bunga yang mekar menunduk layu dan melepaskan helai demi helai kelopaknya yang mengering. Tenda-tenda bazar yang akan berlangsung esok hari seakan menjadi payung-payung hitam tanda berkabung.

Nara mengikuti langkah demi langkah yang Rein buat, tatapannya tak lepas dari sosok gadis itu.  Ia dapat merasakan duka yang dirasakan olehnya. Kedekatan Rein dengan adiknya beberapa bulan terakhir membuat perasaannya menjadi tak menentu.  Ia senang melihat wajah bahagia adiknya walaupun dalam hatinya seringkali ada letupan-letupan yang sulit ia atasi.  Ia pun selalu senang ketika melihat senyum gadis itu mengembang walaupun bukan untuknya. Namun semuanya itu kini musnah, gadis yang berjalan memunggunginya itu kini tengah berada dalam kedukaan yang dalam,  sedalam perasaan duka yang masih menyelimuti hatinya selama satu minggu ini.

Rein berjalan dengan langkah gontai.  Tiba-tiba ia merasa sangat lelah, pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak ingin ia ketahui jawabannya. Dadanya terasa sesak, ia bersandar di  tembok bengkel Tehnik Mesin yang sepi, matanya menerawang jauh.  Mendadak kakinya terasa lemas, ia duduk lalu meletakkan dagunya di atas lututnya yang tertekuk.

Nara duduk di sampingnya, ia tahu mungkin Rein tidak ingin dia ada di sana, tapi rasa khawatirnya melebihi rasa apapun yang pernah ia rasakan sebelumnya.

"Kakak disana?" tanya Rein lemah.

"Ya." jawab Nara parau.

"Apakah ia nampak kesakitan?"

Nara menggelengkan kepalanya. "Dia pergi dalam damai."

"Makasih kak sudah memberi tahu,  aku butuh ruang."

Nara mengangguk. "Kamu tahu dimana menemukan aku."  

Kini giliran gadis itu yang mengangguk.

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun