Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja Terakhir (Bagian I)

12 Januari 2018   17:03 Diperbarui: 26 Agustus 2020   20:24 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Pinterest Darvish Hussein

Rasa dingin menyergap dan memerangkapnya seketika. Semua rasa bahagia yang beberapa hari ini ia rasakan berganti dengan rasa pahit yang teramat sangat.  Sebenarnya Rein menolak untuk mempercayai semuanya namun itu sia-sia karena kabar itu datang dari orang yang sangat terpercaya.  Orang terdekat yang tak mungkin menjadikan kabar duka sebagai lelucon awal tahun.

Rein beranjak, membiarkan amplop besar yang belum ia rekatkan itu tergeletak di meja.  Tanpa sepatah kata pun ia meninggalkan sang pembawa berita.  Langkahnya terasa sangat berat. Setiap ia menapakkan kakinya, ia merasa semua yang dilewatinya menjadi layu dan menghitam. 

Matahari yang bersinar mendadak meredup tertutup awan. Pepohonan yang rimbun meranggas seketika, rerumputan yang menghijau tiba-tiba berubah hitam terbakar dan bunga-bunga yang mekar menunduk layu dan melepaskan helai demi helai kelopaknya yang mengering. Tenda-tenda bazar yang akan berlangsung esok hari seakan menjadi payung-payung hitam tanda berkabung.

Nara mengikuti langkah demi langkah yang Rein buat, tatapannya tak lepas dari sosok gadis itu.  Ia dapat merasakan duka yang dirasakan olehnya. Kedekatan Rein dengan adiknya beberapa bulan terakhir membuat perasaannya menjadi tak menentu.  Ia senang melihat wajah bahagia adiknya walaupun dalam hatinya seringkali ada letupan-letupan yang sulit ia atasi.  Ia pun selalu senang ketika melihat senyum gadis itu mengembang walaupun bukan untuknya. Namun semuanya itu kini musnah, gadis yang berjalan memunggunginya itu kini tengah berada dalam kedukaan yang dalam,  sedalam perasaan duka yang masih menyelimuti hatinya selama satu minggu ini.

Rein berjalan dengan langkah gontai.  Tiba-tiba ia merasa sangat lelah, pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak ingin ia ketahui jawabannya. Dadanya terasa sesak, ia bersandar di  tembok bengkel Tehnik Mesin yang sepi, matanya menerawang jauh.  Mendadak kakinya terasa lemas, ia duduk lalu meletakkan dagunya di atas lututnya yang tertekuk.

Nara duduk di sampingnya, ia tahu mungkin Rein tidak ingin dia ada di sana, tapi rasa khawatirnya melebihi rasa apapun yang pernah ia rasakan sebelumnya.

"Kakak disana?" tanya Rein lemah.

"Ya." jawab Nara parau.

"Apakah ia nampak kesakitan?"

Nara menggelengkan kepalanya. "Dia pergi dalam damai."

"Makasih kak sudah memberi tahu,  aku butuh ruang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun