***
Rhea akhirnya dapat tersenyum puas karena klien-nya menyetujui semua konsep yang ia tawarkan, diantara ancaman bosnya untuk membatalkan promosinya karena datang terlambat. Biarlah mata kakinya sakit sedikit dan betisnya pegal menahan bobot tubuhnya yang tidak semampai, asalkan semuanya berjalan dalam garis yang ia inginkan. Lega dan bahagia.
***
Kantuk menggerogoti matanya. Secangkir double espresso kini telah menemaninya diantara hilir mudik orang yang keluar masuk kedai kopi langgannya itu. Namun rupanya sekuat apapun racikan kopi yang barista sodorkan kepadanya tak jua membuat matanya terbuka lebar. Entah telah kali keberapa ia menguap, kekurangan oksigen. Â Tak ada jalan lain, nampaknya ia harus membasuh wajahnya. Â Rhea beranjak dari kursinya tanpa melihat seorang pramusaji melintas di depannya. Â Tabrakan pun tak dapat dihindari, Lalan, sang pramusaji setengah alay yang bajunya basah terkena siraman kopi itu merepet tak henti-henti kepadanya. Namun Rhea tak mau kalah, ia pun memaksa mulutnya untuk mengoceh panjang pendek kepada lawan bicaranya.
"Lan, pake mata dong kalo jalan dan gak usah pake protes, lihat nih bajuku juga basah." Rhea sibuk berusaha mengeringkan blouse nya dengan sehelai tisue.
"Ih, kak Rhea nih ah. Sebel." Lalan bersungut-sungut.
Tiba-tiba seorang pria datang menengahi keributan kecil itu. Â Rhea menahan nafasnya, begitu mendengar suaranya yang mengalun bagai desau angin di siang terik, rintik hujan di kemarau panjang dan gemericik air sungai di antara hiruk pikuk kota.
Tak hanya suaranya, semua yang ada dalam diri pria itu ternyata sangat memesona bahkan wangi parfumnya pun membius gadis awal 30-an itu. Rhea tersenyum, sosok seperti inilah yang selama ini menetap dalam angan-angan liarnya.
Pria itu kini berdiri di sampingnya, mempersilakannya duduk dengan sopan.
"Maafkan karyawan saya yang telah sangat ceroboh."
Rhea terperangah, sang pemilik kedai kah? Baru kali ini ia melihatnya. Sempurna sekali. Ilmu cocokology langsung bermain di otaknya.