Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Di Penghujung Senja (11)

16 Maret 2017   16:16 Diperbarui: 23 November 2023   18:09 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rein berjalan tergesa, kantor pos tujuannya sebentar lagi akan tutup. Selembar surat titipan ibu untuk pamannya di kampung halaman harus terkirim hari ini juga. 

Terbayang di matanya wajah seram ibunya apabila surat yang katanya penting itu tidak terkirim.  Namun langkahnya melambat ketika ia melihat dua orang yang tengah bersenda gurau di anak tangga gedung kantor pos tujuannya. Rein memalingkan wajahnya segera begitu satu dari dua orang yang berada di anak tangga itu melihat ke arahnya.

Beberapa hari ini, Rein sering sekali melihat mereka berdua di mana-mana.  Dan itu membuat perasaannya tiba-tiba menjadi gundah gulana.  

Ia tahu, ia tidak berhak untuk merasa tidak nyaman namun ia tidak mampu mengatasi hal itu.  Ada rasa kecewa yang menyelubungi hatinya.  

Setelah urusan kantor posnya selesai, Rein bergegas pergi dari tempat itu melalui jalan belakang untuk menghindari pemandangan yang membuat hatinya sedikit perih. 

Ia berjalan pelan menyusuri selasar yang sunyi menuju gerbang belakang kampus. Namun kesunyian rupanya tak mau menemaninya lagi, karena tiba-tiba ada suara nyaring yang menyergap telinganya.

“Hei, Rein!”

Gadis yang membiarkan salah satu tali sneakersnya terurai itu terlonjak.  Seorang pemuda yang ia kenal kini telah menjajari langkahnya.

“Jadi, gimana?” Pemuda berkaca mata itu bertanya dengan tiba-tiba.

“Gimana apanya?” Rein mengerutkan dahinya.

“Kita?”

Rein menghentikan langkahnya. Beberapa bulan yang lalu jauh sebelum ia berkenalan dengan Jed, Mahendra pernah mengutarakan isi hatinya.  

Mahendra adalah teman satu kelompoknya ketika ia mengikuti  semacam pendidikan dan latihan kedisiplinan dan bela negara yang wajib di ikuti oleh semua mahasiswa tahun pertama.  

Pelatihan yang diadaptasi secara militer berlangsung selama dua minggu di sebuah komplek ketentaraan itu meninggalkan suatu jejak yang sangat mengganggu di hatinya.  

Mahendra adalah satu dari banyak teman baru beda jurusan yang ia kenal di ajang itu. Ia anak yang baik, tapi kadang membuat Rein merasa risi, karena ia selalu ada dimana pun Rein berada. Lea bahkan menjulukinya Maherazzi alih-alih Paparazzi

Lamunan Rein buyar ketika Mahendra kembali bertanya kepadanya.

“Iya,  aku dengan kamu?” Raut wajah pemuda berkacamata itu terlihat berharap.

“Aku kan sudah bilang kalau kita tuh lebih baik berteman aja.”

“Gak bisa gitu dong.” Protes pemuda berkemeja rapi itu.

“Loh gak bisa gimana?” 

Tanya Rein sambil terus melangkahkan kakinya.

“Kita tuh gak bisa cuma berteman aja, aku tuh suka kamu.” Mahendra berbicara dengan lantang mengusik kesunyian suasana selasar yang mereka lewati.

Ini sudah kali ke dua dia nembak, masih punya cadangan amunisi rupanya.

Rein membisu sambil meneruskan perjalanannya kembali.

“Ini semua gara-gara kamu kenal Si Jed itu kan? hah?”

Rein terkejut dan spontan menghentikan langkahnya, ia berdiri kaku menanti perkataan Mahendra selanjutnya.

“Aku lihat kamu jalan drngan dia.  Aku tahu kalau kamu menghindari aku karena dia, iya kan?”

Rein masih mematung.

“Kamu tahu Rein, kamu sudah bikin hati ku sakit.  Menolak aku karena kemunculan dia.”

Rein naik pitam. “Dengar Ma, aku gak bisa dengan kamu bukan karena apa dan siapa.  Ini semua karena aku cuma ingin berteman dengan kamu. Kamu baik tapi aku gak bisa ngikutin apa yang kamu mau.“

“Kalau kamu gak bisa dengan aku, maka orang lain pun gak bakalan bisa dekat dengan kamu, dan kamu telah merasakan itu sendiri kan.  Dia jauhi kamu, kan?” Mahendra tersenyum sinis.

Rein mengembuskan nafasnya panjang, ternyata ini semua berawal dari Mahendra.  Ia benar-benar tidak pernah menyangka sebelumnya. Mahendra adalah kunci semua pertanyaannya. 

“Jadi kamu yang ..?”

“Iya, tapi itu semua karena perbuatan kamu sendiri,” potong Mahendra galak.

“Kamu fitnah aku?”

“Kamu harus merasakan apa yang aku rasakan, sebuah penolakan.  Sakit kan?” Kalimat Mahendra terdengar tajam.

Rein berusaha keras meredam perasaan marahnya.  Ia menarik nafas dalam dan mengembuskannya dengan pelan.

“Maafkan aku Ma, aku sama sekali tidak mempunyai perasaan yang sama dengan kamu.”

“Kamu bisa belajar menyukai aku Rein, yang penting kamu mau menerima ku dulu.”

“Aku bukan lah orang yang tepat untuk kamu Ma.  Kamu berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik dari aku yang tidak akan membuat kamu merasa marah dan akhirnya bersusah-payah mengarang sebuah cerita fitnah.”

“Aku gak peduli Rein, hanya kamu yang aku mau.” Mahendra mulai merancau.

“Kita punya jalan yang berbeda Ma, selamat tinggal.” Rein bergegas meninggalkan Mahendra yang masih mematung. 

Rein melangkah dengan tenang sambil memeluk tas tote blacunya dengan erat. Semua pertanyaan yang dulu pernah memenuhi pikirannya kini telah terjawab sudah, tapi jawaban itu tidak akan pernah bisa mengembalikan semua peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. 

Jed menatap nanar ke arah dua orang yang baru saja ia awasi dari balik tiang selasar.  Ia mendengar dengan jelas apa yang baru saja mereka perbincangkan kata per-kata nya. 

Ternyata cowok berkaca mata itulah yang telah membuat kakaknya meradang padanya beberapa waktu yang lalu. 

Mendadak perutnya terasa mual.  Jadi selama ini ia telah menuduh Rein dengan kata-katanya yang tajam, menjauhinya, bahkan mengatakan kepada orang lain dusta yang hanya membuat egonya terpuaskan sementara.  

Dan itu adalah hal yang sangat memalukan. 

Jed tahu ia begitu menyukai Rein tapi ia sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk menghadapi semua hal yang menyertainya. 

Nara, kakaknya menambah panjang daftar itu.  Ia memang tidak layak untuk Rein.  Dan kini Rein jelas jelas telah membencinya.  Jed merasa menjadi seorang pecundang.  Ia termenung, menyandarkan punggungnya dibalik salah satu tiang selasar, semuanya telah berakhir.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun