“Iya, tapi itu semua karena perbuatan kamu sendiri,” potong Mahendra galak.
“Kamu fitnah aku?”
“Kamu harus merasakan apa yang aku rasakan, sebuah penolakan. Sakit kan?” Kalimat Mahendra terdengar tajam.
Rein berusaha keras meredam perasaan marahnya. Ia menarik nafas dalam dan mengembuskannya dengan pelan.
“Maafkan aku Ma, aku sama sekali tidak mempunyai perasaan yang sama dengan kamu.”
“Kamu bisa belajar menyukai aku Rein, yang penting kamu mau menerima ku dulu.”
“Aku bukan lah orang yang tepat untuk kamu Ma. Kamu berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik dari aku yang tidak akan membuat kamu merasa marah dan akhirnya bersusah-payah mengarang sebuah cerita fitnah.”
“Aku gak peduli Rein, hanya kamu yang aku mau.” Mahendra mulai merancau.
“Kita punya jalan yang berbeda Ma, selamat tinggal.” Rein bergegas meninggalkan Mahendra yang masih mematung.
Rein melangkah dengan tenang sambil memeluk tas tote blacunya dengan erat. Semua pertanyaan yang dulu pernah memenuhi pikirannya kini telah terjawab sudah, tapi jawaban itu tidak akan pernah bisa mengembalikan semua peristiwa yang telah terjadi sebelumnya.
Jed menatap nanar ke arah dua orang yang baru saja ia awasi dari balik tiang selasar. Ia mendengar dengan jelas apa yang baru saja mereka perbincangkan kata per-kata nya.