Jed menutup hidung dan mulutnya dengan cepat ketika seorang bocah berusia kurang lebih 3 tahunan memuntahkan isi perutnya ke lantai angkot persis di depan tempat duduknya. Demi melihat raut wajah Jed yang memucat, tanpa di komando Rein langsung berteriak “kiri” dengan lantangnya.
“Kamu gak apa apa?” Rein menatap Jed dengan khawatir.
Pemuda beroblong putih itu menggelengkan kepalanya.
“Gila, baru kali ini naik angkot ada yang muntah.” Jed memejamkan matanya.
“Memangnya kamu gak pernah lihat yang kayak gituan?”
“Gak, seumur-umur aku gak pernah lihat yang kayak gitu di angkot yang penuh sesak, yuck.”
“Well, pengalaman pertama itu selalu mendebarkan ya.” Rein terpingkal.
Jed menatap Rein sambil tersenyum karena melihat wajah lucu gadis yang berdiri di sampingnya itu saat terpingkal.
Siang ini Jed mengajak Rein untuk pergi jalan-jalan ke sebuah mal yang dulu sering Rein kunjungi dengan teman-teman lesnya.
Mal yang di gadang-gadang sebagai mal pertama di kota dimana mereka berada sekarang ini merupakan tempat nongkrong yang nyaman untuk kawula muda seperti mereka.
Dari tempat makan, toko buku, arena permainan dingdong sampai gedung bioskop berdiri berdesakan. Untuk menuju lokasi itu, dari kampus, mereka membutuhkan waktu sekitar setengah jam-an dengan menaiki dua rute angkot yang berbeda. Namun ada saatnya dimana kebiasaan berapa kali naik angkot itu bubar jalan, karena kini Rein dan Jed tengah menaiki angkot yang ketiga.
Angkot kedua yang berjanji mengantarkan mereka ke depan mal dengan nyaman dan selamat telah ingkar karena seonggok kengerian yang membuat Jed merasa tidak nyaman dan terpaksa turun dengan wajah pucat pasi.
Dan kini angkot ketiga yang mereka tumpangi tiba-tiba melambat dan berhenti di kawasan areal pertokoan yang terkenal dengan aneka rupa produk jeans, untuk mencari penumpang.
“Kalau pulang, kamu pakai angkot jurusan ini ya?” Jed menggeser kaca jendela untuk membiarkan oksigen tambahan menyerbu ke dalam angkot yang kini mulai terasa pengap.
“Aha, aku naik ini sampai terminal, terus naik lagi ke terminal satunya lalu naik satu kali lagi, terus jalan, nyampe deh.”
“Waduh gak kira-kira jauh nya, kamu gak bosen naik angkot terus tiap hari.”
“Ya kalau bosen, terus aku mau naik apa? Kuda? Onta? gak lah. Kadang aku naik bis kota sih, kadang nebeng Senny juga kalo papinya sedang baik minjemin dia kendaraan. Ya kalau kata Ebiet G Ade mah perjalanan ini terasa sangat menyedihkan, sayang engkau tak duduk di sampingku kawan.“ Rein menyeringai.
“Fans Ebiet?” Jed mengernyit, senyum menawannya terkembang.
“Fans terpaut gen.”
“Maksudnya?”
“Orang tua ku ngefans ke dia. Dulu hampir tiap hari telingaku disergap suaranya om Ebiet, jadi secara gak langsung aku jadi hafal lagu lagunya dan akhirnya suka.”
“Terpaut gen.“ Ulang Jed sambil tertawa memperlihatkan dua gigi kelincinya yang memesona.
Tak berapa lama angkot berwarna hijau berstrip biru itu pun mulai melaju kembali.
“Gila nih angkot berisik banget mesinnya.” Jed menggerutu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang membuat beberapa helai rambut keluar dari ikatannya.
“Ah ini mah kebetulan aja, banyak angkot yang gak berisik kok untuk jurusan ini. Malah kemarin aku nemuin angkot jurusan ini yang bersih banget, punya tempat sampah, bergorden, wangi semerbak, sopirnya ramah, ada tulisan no smoking-nya, yang gak ada cuma keset welcome aja.” Rein becerita dengan wajah gembira.
“Wah masa?”
“Iya, beneran, aku juga sampai aneh lihatnya, masih ada mamang sopir yang keren kayak gitu jaman sekarang.”
“Berarti mamang sopirnya penganut aliran antimainstream kali ya.” Jed menyeringai.
“Mungkin, eh tahu gak naik angkot itu ada seninya loh?”
“Wah masa, memangnya ada yang kayak gitu?”
“Ada dong, naik angkot itu adalah sebuah pengalaman indah bagi yang bisa menikmatinya. Seni itu kan indah, makanya untuk tahu seninya naik angkot kita harus bisa menikmatinya dulu.” Rein membenahi posisi duduknya.
“Ini bahasa kamu yang ketinggian, atau aku yang rada oon ya? Kalimatnya kayak muter-muter gak karuan.” Jed tertawa, Rein merengut. “Ya tapi kalau ada yang muntah kayak tadi mah boro-boro indah atuh.” Lanjut Jed protes.
“Ya anggep aja muntahannya sebagai karya seni tiga dimensi.”
“Yuck mual.” Jed menepuk perutnya, Rein tertawa.
Angkot yang mereka tumpangi kini mulai bergerak kembali dengan kernet yang masih berteriak-teriak dengan suaranya yang sama cemprengnya dengan suara armadanya.
Setelah bertahan dari polusi suara yang membuat mereka sedikit muntab, akhirnya mereka sampai juga di tempat yang mereka tuju.
Mal itu berdiri gagah, gerbangnya yang terbuka lebar mengisyaratkan bahwa semua orang di terima di sana. Tidak banyak orang yang terlihat berkunjung ke mal yang memiliki beberapa lantai itu, mungkin karena tanggal tua tengah melanda para manusia dewasa.
Bila ke mal itu Rein biasanya mengunjungi counter T Shirt favoritnya, walau hanya untuk melihat-lihat, karena mereka mempunyai koleksi T Shirt hitam bergambar menarik yang sangat Rein sukai.
Kini mereka telah berada di sebuah restoran fastfood favorit Aksan dan Lea. Restoran dengan menu ayam super garing ini adalah salah satu restoran siap saji yang selalu ramai di kunjungi orang.
Kursi-kursi simple memenuhi ruangan, celoteh anak anak kecil terdengar bersahutan dengan suara vokalis wanita yang grup bandnya tengah menjadi buah bibir dimana-mana.
Rein menghirup jus jeruknya sambil memandangi Jed yang tengah asik menikmati sebongkah nasi putih hangat lengkap bersama ayam goreng krispy yang terkenal itu.
Tangan kirinya sibuk memisahkan daging ayam dengan bagian kulitnya yang terlihat garing dan berwarna keemasan.
“Kenapa? Aneh?” Jed mengacungkan tangan kirinya yang penuh dengan remah remah nasi, begitu sadar bila ia tengah dipandangi oleh gadis yang berada di hadapannya.
Rein menggeleng. “Temanku ada yang kidal juga kayak kamu.”
“Oh, papi ku kidal, kalau yang ini benar benar terpaut gen ya, bukan kayak kamu dengan Ebiet G. Ade mu itu.” Jed tertawa.
“Kamu gak ditegur guru ngaji kamu? Kan katanya tangan kanan lebih bagus dari tangan kiri.”
“Aku sempat di paksa juga sih memakai tangan kanan untuk makan dan menulis, tapi gak berhasil, malah bikin aku stres sampai mami harus konsultasi dengan dokter. Tapi kalau papi sih cuek aja. Papi bisa menulis pakai tangan kanannya tapi dia gak paksa aku buat seperti dia.”
“Kayak Kurt Cobain ya, dia bisa menulis pakai tangan kanannya walaupun dia kidal.”
“Kurt Donald Cobain, aku suka dia.” Jed memasukan gumpalan nasi terakhir ke dalam mulutnya.
“Fans berat?” tanya Rein.
Jed mengangguk, mulutnya sibuk menghisap sedotan yang muncul dari botol tehnya.
Rein manggut-manggut.
“Oh iya aku pernah baca, kalau orang kidal dipaksa buat mengubah orientasinya jadi righthanded maka bisa membuat mereka jadi gagap kayak Raja Inggris dulu, King George ke VI.”
“Iya, aku juga pernah baca itu.”
“Tebak-tebak buah Manggis, kamu pasti suka musik ya?”
“Kok tahu?”
“Karena kamu tuh dominan memakai otak kanan, seni, imajinasi, dan kreatifitas. Kalau otak kiri kan lebih condong ke matematika, analisa, dan logika. Tapi ada juga sih orang orang yang bisa nyeimbangin dua belahan otak ini, kanan dan kiri, contohnya Bruce Dickinson vokalisnya Iron Maiden itu."
“Iya aku sih inginnya bisa seimbang kayak Dickinson gitu, tapi gimana ya, gak berhasil aja.” Jed tersenyum, senyuman yang membuat mata Rein enggan berkedip untuk sejenak.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H