Tak berapa lama angkot berwarna hijau berstrip biru itu pun mulai melaju kembali.
“Gila nih angkot berisik banget mesinnya.” Jed menggerutu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang membuat beberapa helai rambut keluar dari ikatannya.
“Ah ini mah kebetulan aja, banyak angkot yang gak berisik kok untuk jurusan ini. Malah kemarin aku nemuin angkot jurusan ini yang bersih banget, punya tempat sampah, bergorden, wangi semerbak, sopirnya ramah, ada tulisan no smoking-nya, yang gak ada cuma keset welcome aja.” Rein becerita dengan wajah gembira.
“Wah masa?”
“Iya, beneran, aku juga sampai aneh lihatnya, masih ada mamang sopir yang keren kayak gitu jaman sekarang.”
“Berarti mamang sopirnya penganut aliran antimainstream kali ya.” Jed menyeringai.
“Mungkin, eh tahu gak naik angkot itu ada seninya loh?”
“Wah masa, memangnya ada yang kayak gitu?”
“Ada dong, naik angkot itu adalah sebuah pengalaman indah bagi yang bisa menikmatinya. Seni itu kan indah, makanya untuk tahu seninya naik angkot kita harus bisa menikmatinya dulu.” Rein membenahi posisi duduknya.
“Ini bahasa kamu yang ketinggian, atau aku yang rada oon ya? Kalimatnya kayak muter-muter gak karuan.” Jed tertawa, Rein merengut. “Ya tapi kalau ada yang muntah kayak tadi mah boro-boro indah atuh.” Lanjut Jed protes.
“Ya anggep aja muntahannya sebagai karya seni tiga dimensi.”