*
Ge menguap lebar, kopi pahit itu rupanya tidak berpengaruh pada rasa kantuknya. Tiba-tiba kantuknya lenyap ketika ia dikagetkan oleh suara-suara yang biasanya tidak pernah ia dengar selama ia berkantor di kawasan ini. Sepertinya ada yang tidak beres, pikirnya. Ge berlari menuju pintu dan membukanya dengan cepat. Ia terbelalak, dua orang pemuda tengah berusaha merebut sesuatu yang berada di tangan seorang wanita, sementara seorang satpam tergeletak di atas aspal. Tanpa pikir panjang Ge melangkah cepat ke arah wanita yang barangnya telah berada di tangan dua pemuda yang kini tertawa terbahak-bahak itu.
"Kembalikan., Ge merangsek, berdiri di antara dua pemuda dan wanita yang terlihat cemas itu.
"Oh, ada yang mau jadi pahlawan rupanya," pemuda yang mengenakan anting di hidungnya berteriak tepat di wajah Ge. Aroma alkohol menyeruak seketika.
"Hajar aja, Cel," sahut pemuda satunya yang berjaket kulit.
Ge langsung waspada.
Fe menghembuskan napas lega, ternyata masih ada orang yang mau menolongnya di antara orang-orang lain yang hanya berani melihat dari balik pintu ataupun jendela. Fe bersimpuh di samping tubuh Agus yang tergolek. Saat itu Fe tidak tahu harus berbuat apa. Ponselnya masih ada di tangan pemuda berandal itu. Kini perkelahian tengah terjadi tak jauh darinya. Pria yang menolongnya terlihat tak mengalami kesulitan dalam melumpuhkan dua pemuda yang kini kesakitan mencium aspal. Teman-teman berandal mereka rupanya masih agak waras tak mau mengambil risiko. Setelah menjarah minimarket, mereka membawa dua temannya yang babak belur tadi lalu melesat pergi mengenderai motor meninggalkan suara bising dan asap knalpot yang memuakkan disertai sumpah serapah yang tak henti keluar dari mulut mereka.
"Ini ponsel kamu," Ge mengulurkan tangannya.
Fe menengadah lalu berdiri. Tatapan mereka bertemu.
Perasaan hangat tiba-tiba mengaliri pembuluh darahnya. Semerbak aroma bunga membawa Ge melayang sejenak. Kakinya seakan tak menyentuh bumi.
Sementara itu Fe menatap jauh ke dalam mata itu. Teduh, lembut, dan menyejukkan.