Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[FITO] Dermaga yang Lain

24 Agustus 2016   13:49 Diperbarui: 24 Agustus 2016   14:01 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku akan selalu menantimu disini, diantara kerlip lampu dan deburan ombak. Di sela desiran angin dan hentakan papan dermaga yang berderak. Karena aku tahu engkau pasti akan kembali.

***

"Kamu mau kemana Kin?" Ibu bertanya, pertanyaan serupa yang selalu ia lancarkan setiap aku melilitkan syal rajutan buatannya dileherku.

"Ke dermaga, Bu." jawabku pendek.

Ibu menatapku, ada gurat khawatir di wajahnya. "Cepat pulang begitu matahari terbenam ya."

Aku mengangguk walau itu tak pernah kulakukan.

***

Matahari jingga bulat sempurna di ufuk barat. Sinarnya menyelusup ke dalam hati yang tersayat. Entah kali keberapa aku berdiri di sini, menantikan kapal yang merapat di dermaga.

"Temui aku di sini tiga tahun lagi." bisik mu lembut.

Aku mengangguk, tersenyum, tak menghiraukan bulir bulir air mata yang merangkak di pipiku. Lalu mulailah aku berhitung, detik, menit, jam, hari, minggu, bulan sampai tahun.  Waktu merambat dengan lambat. Tiga tahun adalah waktu yang sangat panjang namun harus kulalui dengan hati yang lapang. Karena aku tahu, engkau pasti akan datang. Berdiri di dermaga, melambaikan tangan, dan tersenyum lebar di bawah temaram sinar rembulan.

Namun, tiga tahun bukanlah angka yang tepat, kapal merapat namun engkau tak jua terlihat.

***

Matahari telah pergi. Kerlip lampu sebuah kapal mulai terlihat di kejauhan.  Aku menajamkan panglihatanku, menatap penuh harap. Dermaga kini di penuhi jejak bahagia. Satu persatu manusia manusia yang di penuhi rasa sukacita itu pergi bersama orang orang yang dikasihi. Aku menatap pintu kapal yang masih terbuka lebar, berharap ada seseorang yang tertinggal. Namun rupanya sukacita telah pergi tanpa kata kata. Hanya kerlip lampu kapal lah yang masih sudi menemaniku untuk menatap asa yang tak kunjung sirna.

 "Nak, matahari telah lama tenggelam, saatnya kita pulang." seperti biasa ibu mememuiku di tempat ini.

Aku tak menghiraukan ajakan ibu.

"Suatu saat nanti, kamu pasti akan bertemu kembali dengannya, namun bukan di dermaga ini melainkan di dermaga lainnya." Ibu merapikan syal di leherku.

Sementara aku menatap nanar mata ibu yang mulai berkaca kaca.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun