Arai mendelik.
"Ya gak gitu. Pada intinya musik seperti itu sudah tidak sesuai dengan usia dan keadaan ku sekarang ini."
"Ooh gitu, jadi selama ini kamu mendengarkan apa? Atau sama sekali tak mendengarkan apa-apa?”
"Ya, musik-musik ringan lah. Sesuai dengan situasi dan kondisi."
"Misalnya?"
"Misalnya dangdut. Mencintai produk negeri sendiri itu kan lebih bagus."
"Hmm, dangdut dengan beragam goyangnya ya. Goyang itik, goyang gergaji, dan goyang apa tuh yang lagi happening, ah ya goyang dribble?" Shira manggut-manggut.
Arai menyeringai.
"Rai, kamu itu keren loh, sudah seperti nahkoda kapal jempolan, bisa putar haluan secara ekstrim." senyum tipis menghiasi bibir Shira.
20 tahun lalu, Arai masih berteriak-teriak garang di depan corong mikroponnya, mencabik-cabik senar gitarnya dengan penuh perasaan, menekan pedal ampli untuk mendapatkan sound yang ia inginkan, dan mengibas-ngibaskan rambut gondrongnya dengan penuh semangat.
Namun waktu dan keadaan telah melunturkan segalanya. Ternyata berubah itu bukan monopoli Ksatria Baja Hitam semata. Arai pun bisa berubah, ia bukan lah Arai yang dulu dan Shira maklum.