Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terlalu Tua

21 Juli 2016   15:58 Diperbarui: 25 Februari 2023   15:01 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : www.pinterest.com

"Kamu masih mendengarkan lagu-lagu seperti ini?"  Arai memainkan jemarinya di atas layar gawai milik Shira yang baru saja ia ambil paksa dari genggaman wanita yang tengah duduk santai di sisinya.

Shira menatap Arai sekilas, lalu menaikan alisnya.

"Kalau aku sih enggak. Aku sudah terlalu tua untuk mendengarkan musik-musik seperti itu." Arai meletakan benda berlayar 7 inchi itu di atas pangkuan wanita yang tampak kasual dengan jeans dan T-shirt hitamnya. 

Mendadak Shira tertarik untuk mendengarkan Arai berbicara. Ia pun melepas earphone yang menyumpal telinganya.

"Terlalu tua?"

"Iya, aku malu dengan istri dan anak-anak ku."

"Malu? Sejak kapan mendengarkan musik itu menjadi hal yang memalukan?"

"Ya, coba kamu bayangkan, apa yang akan dikatakan anak-anakku bila aku masih mendengarkan Metallica, Skidrow, Panthera, Judas Priest, AC/DC, Manowar atau lagu-lagu yang ada di playlist kamu itu?"

"Memangnya ada apa dengan lagu-lagu ini?" Shira mengacungkan gawainya acuh.

"Menurut istriku musik metal, hardcore, grindcore, hardrock, dan kawan-kawannya itu adalah musik dari neraka." Arai tersenyum samar.

"Istri kamu pulang melancong dari neraka ya, bertemu Hades?" Shira mengulum senyum.

Arai mendelik.

"Ya gak gitu. Pada intinya musik seperti itu sudah tidak sesuai dengan usia dan keadaan ku sekarang ini."

"Ooh gitu, jadi selama ini kamu mendengarkan apa? Atau sama sekali tak mendengarkan apa-apa?”

"Ya, musik-musik ringan lah. Sesuai dengan situasi dan kondisi."

"Misalnya?"

"Misalnya dangdut. Mencintai produk negeri sendiri itu kan lebih bagus."

"Hmm, dangdut dengan beragam goyangnya ya. Goyang itik, goyang gergaji, dan goyang apa tuh yang lagi happening, ah ya goyang dribble?" Shira manggut-manggut.

Arai menyeringai.

"Rai, kamu itu keren loh, sudah seperti nahkoda kapal jempolan, bisa putar haluan secara ekstrim." senyum tipis menghiasi bibir Shira.

20 tahun lalu, Arai masih berteriak-teriak garang di depan corong mikroponnya, mencabik-cabik senar gitarnya dengan penuh perasaan, menekan pedal ampli untuk mendapatkan sound yang ia inginkan, dan mengibas-ngibaskan rambut gondrongnya dengan penuh semangat. 

Namun waktu dan keadaan telah melunturkan segalanya. Ternyata berubah itu bukan monopoli Ksatria Baja Hitam semata. Arai pun bisa berubah, ia bukan lah Arai yang dulu dan Shira maklum.

"Bagaimana dengan kamu? Ryan gak protes? Setahu ku dia gak suka dengan segala hal yang berbau kehingar-bingaran."

"Bagi kami kegemaran akan musik itu bersifat pribadi,"

"Kami saling menghargai, belajar mengerti satu sama lain, itu aja sih." Shira tersenyum manis.

***

"Rai, naik yuk, kita nostalgilaan." 

Rido datang dengan senyum mengembang.

Arai menggaruk kepala tak gatalnya. Ia terlihat kikuk.

"Arai sudah pensiun, Do. Dia sudah lupa dengan chord-chord musik yang sering kalian mainkan dulu."

Rido tertawa, "Karena usia senja? Pikun?"

"Ganti aliran." Seru Shira.

"Arai? Ganti aliran? Beneran? Aliran sungai atau aliran listrik?" Rido kembali terbahak.

Arai tersenyum kecut.

"Mumpung formasi lengkap nih. Beberapa kali reuni, Rhenald dan Andre kan gak datang. Aku gak peduli lah vokalis ku ganti aliran, kita pasti bisa ngikutin kok." Lanjut Rido bersemangat.

"Yakin?" Shira tersenyum.

"Yakin sekali!" Rido terlihat serius.

"Berangkat, Rai." Shira menyemangati.

"Apaan sih Ra, bisanya jadi provokator aja." Arai gusar.

"Siapa juga yang memprovokasi, aku tuh mendukung kamu."

Lalu terjadilah percakapan yang ramai antara Shira dan Arai, yang membuat bola mata Rido lelah harus bolak-balik melihat wajah kedua temannya itu secara bergantian.

"Halah, pantesan kalian gak berjodoh, kerjaannya bertengkar melulu kayak gini sih." Rido protes di sela-sela adu mulut antara Arai dan Shira.

"Gimana Rai, kamu gak mau membuat kami kecewa kan?"

Arai diam.

"Hmm Do, sebaiknya gitar bass kamu itu disimpan saja ganti dengan suling, Renald pegang tam-tam, Andre pegang keyboard. Nah itu baru cocok." Shira memberi instruksi yang membuat Rido terdiam sejenak sambil mengerutkan keningnya.

"Widiiih, mantap, Arai yang nyanyi sambil goyang, Andre yang nge-dribble, Rhenald yang nyawer, giliran aku yang bengong. Dahsyat!" Rido bertepuk-tangan meriah.

"Mainkan!" Shira berseru.

"Ah ya lupakan saja. Kami kayaknya gak sanggup Ra. Too heavy." Rido tersenyum lalu meninggalkan Shira dan Arai.

"Kamu itu gak ada kerjaan banget sih Ra. Ngomong gitu segala ke Rido."

Shira terperanjat dengan teguran Arai "Loh memangnya kenapa? Kamu malu?"

*** 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun