Freya mengangguk, "Tentu."
"Aku memang tak salah pilih." Enda membelai kepala Freya seperti yang sering ia lakukan.
Gadis itu merasa melambung ke udara.
"Jadi?" Freya tak sabar untuk mendengarkan ungkapan perasaan Enda.
"Jadi, dia adalah teman satu jurusanku."
"Dia?" Freya tidak mengerti dengan kata "dia" yang baru saja Enda ucapkan.
"Namanya Ardina.”
Mendadak perasaan Freya bagaikan terhisap sebuah lubang hitam. Berputar dan tenggelam semakin dalam. Semuanya berubah menjadi hitam, kelam, dan suram. Ia tak lagi mendengarkan perkataan Enda selanjutnya. Ia hanya ingin segera pulang, berdiam di kamarnya yang damai, lalu membasahi bantal dengan air matanya. Semuanya telah berakhir. Tak ada lagi yang harus dipertanyakan. Tak ada lagi rasa yang dapat ia genggam. Semuanya hilang seiring dengan menghilangnya sinar mentari di titik nol kilometer Jogja.
***