Bagai hari hari lainnya, pagi itu Maira telah duduk rapi di belakang meja kerjanya. Aroma vanilla latte dari cangkir bergaya klasik di hadapannya memberikan suasana pagi yang penuh semangat. Seperti biasa, Maira segera membuka laptopnya dan memeriksa email masuk.
Pagi itu hanya ada dua email yang masuk. Satu dari koleganya dan satu lagi dari nama yang tidak di kenalnya. Tanpa firasat apapun, Maira membuka email yang terakhir.
Begitu melihat isinya, mendadak jantung Maira berhenti berdetak. Sebuah foto terpampang jelas di sana. Foto yang membuat cangkir di tangannya bergetar. Vanilla latte itu hampir saja menumpahi laptopnya, bila cangkirnya tidak ia turunkan ke meja dengan segera.
Tidak ada kalimat apapun yang menyertainya, tapi foto itu telah mengatakan segalanya. Seharian itu pikiran Maira melanglangbuana ke mana-mana. Ia bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan dirinya? Apakah ia terlalu sibuk sampai ia tidak bisa melihat pertanda? Ia menutup email itu dengan mata yang berkaca kaca.
Maira berdiri di ambang pintu, rasa sepi menyergapnya. Putri semata wayangnya telah tertidur lelap. Ia menatap wajah mungil itu, membelai kepalanya lalu mengecup keningnya lembut. Entah telah berapa banyak waktu yang ia sia sia kan tanpa ada di sisinya. Maira belum juga beranjak dari tempat itu, ketika ART nya menghampiri.
"Bu, tadi bapak pulang, tapi hanya sebentar, terus pergi lagi."
Maira tidak berkata apa apa ia hanya mengangguk lemah.
Hari ini genap satu tahun Egi bekerja di luar kota. Bulan bulan awal Egi selalu pulang ketika week end tiba. Tapi telah dua bulan ini jadwal kepulangan Egi menjadi sangat tidak menentu. Pekerjaan proyek nya telah menuntut ia untuk stay di site tanpa banyak waktu libur yang tersisa.
Foto itu kembali berkelebat dalam pikirannya. Maira mendesah. Mungkin ini semua memang salahnya karena ia terlalu sibuk bekerja. Sebenarnya Egi telah meminta Maira untuk berhenti bekerja, namun ia menampiknya. Maira sangat menyukai pekerjaan ini. Pekerjaan yang telah membuat banyak mimpi nya menjadi nyata. Maira bergeming.
Di kota tempat mereka tinggal, Egi tidak cukup beruntung untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai, baik secara penghasilan maupun keahlian. Ketika seorang temannya datang dengan tawaran pekerjaan yang menarik, tanpa pikir panjang Egi pun menyanggupinya. Sebagai istri Maira tidak dapat berkata apa apa. Memang ada rasa khawatir yang datang tiba tiba tapi ia enyahkan dengan segera.
***
Jantung Maira berdegub kencang, ia pandangi suaminya yang tengah menekuri sebuah majalah otomotif dwi mingguan. Punggung ayah dari putrinya itu mendadak bagaikan tebing krast yang mengancam. Maira mematung lalu memandangi laptop yang ada di tangannya..
Raut wajah Egi terlihat datar ketika Maira memperlihatkan sebuah foto yang tersimpan dalam hardisk laptopnya.
"Kamu memata-matai aku?" Egi bertanya dengan intonasi yang datar, namun di sambut dengan nada tinggi oleh wanita berusia pertengahan 30 an itu.
"Jadi itu semua benar?"
"Iya. Apa ada yang salah?"
"Mengapa kamu setega ini Gi?"
"Maksud kamu?"
"Jangan pura pura bodoh Gi."
"Aah, kamu mengira aku mencurangi kamu dengan duduk satu meja bersama Nila."
"Ohh dia punya nama?." sambar Maira tak sabar.
Egi tersenyum melihat wajah istrinya yang sekusut rambut tak tersentuh sisir.
"Dapat dari mana kamu foto itu? Iseng banget yang jepretnya. Kayak artis aja di paparazi in." Egi tergelak.
"Kamu... "
"Ma, itu Nila, Marketing dari salah satu vendor perusahaan dimana aku bekerja. Kebetulan ada hal yang harus di bicarakan sedangkan jam kantor telah usai. Jadi kami sepakat bertemu di sebuah cafe. Lagi pula ada Rahmat bersama ku."
Maira diam.
"Ma, kamu boleh tidak percaya padaku. Tapi aku mengatakan yang sebenarnya." Egi membelai lembut punggung wanita yang telah ia nikahi selama 3 tahun itu.
***
Maira menyandarkan punggung lelah nya di kursi kerjanya. Matanya berair, jemarinya pegal. Pekerjaan Akhir bulan yang menumpuk membuatnya tak dapat beranjak dari mejanya. Sebuah email masuk membuat ia harus menegak kan punggungnya kembali menghadapi layar laptop yang berpendar di hadapannya.
Nama tak di kenal itu kembali mengirimkan foto, tidak hanya satu melainkan lima. Tiba tiba hati Maira seakan di hujam oleh belati berkali kali. Apa yang di katakan Egi semuanya dusta. Foto foto ini menunjuk kan kebenaran yang kasat mata.
***
Minggu ini Egi tak pulang, sementara perasaan Maira makin tak menentu. Ia menginginkan penjelasan yang masuk akal dari Egi. Apa yang terjadi sebenarnya. Pekerjaan memang lah alasan yang bisa di andalkan, tapi apakah pekerjaan menuntut Egi untuk membawakan belanjaan dan berdiam satu kendaraan dengan perempuan itu ?
"Ma, kamu sudah makan?" Sebuah suara membuyarkan lamunan Maira.
"Aku belum melihat kamu keluar ruangan sejak tadi." lanjut suara itu.
Maira tersentak, ia menegakkan punggungnya lagi dengan cepat. "Belum, tanggung."
"Hmm, istirahat lah dulu. Aku gak mau melihat kamu sakit. Kebetulan aku juga belum makan, keluar yuk." ajak pria bernama Sean itu ramah.
"Tapi pak, saya..."
"Ayolah, kamu tega menolak ajakan ku?"
Setelah beralasan kesana kemari dan selalu di patahkan oleh atasan nya itu, Maira pun akhirnya mengangguk setuju.
Empat tahun sudah Maira bekerja di perusahaan keluarga milik Sean. Maira merasa nyaman bekerja disana. Disamping semua hak nya sebagai karyawan di penuhi oleh perusahaan, Sean, atasan nya adalah bos yang sangat menyenangkan. Ketika jam Kantor usai, mereka pun menjadi teman baik bukan atasan dan bawahan. Terkadang tanpa sadar Maira menceritakan tentang apa yang terjadi dengan hidupnya. Ya, mengalir begitu saja. Seperti hal nya hari ini. Maira menceritakan tentang kegundahan hatinya terhadap Egi, Sean pun mendengarkannya dengan bersungguh sungguh lalu mengucapkan kata kata yang menenangkan hati. Setelah bercerita, beban pikiran Maira pun terasa sedikit ringan.
***
Egi mengerutkan keningnya.
"Ada lagi? Siapa sih orang ini? Mau apa dia?"
"Mau apa? Aku gak peduli siapa yang mengirimkan itu yang pasti dia ingin memberitahu ku tentang kelakuan kamu di luar sana."
Lalu Maira pun mulai berbicara panjang pendek mengeluarkan semua unek uneknya yang ia pendam selama satu minggu ini.
Egi yang biasanya menghadapi segala sesuatu dengan tenang, kini mulai sedikit naik darah karena tuduhan Maira yang bertubi tubi. Egi merasa Maira tidak lagi mempercayai nya. Sedangkan Maira merasa Egi telah mengkhianatinya.
Mereka berdua sibuk dengan perasaan masing masing yang membuat mereka menjadi enggan untuk saling bicara. Setiap minggu Egi memang pulang, tapi waktunya banyak di habiskan dengan menjalani hobi nya bersepeda. Sedangkan Maira menyibukan diri dengan bisnis baru yang sedang ia rintis bersama teman teman lamanya. Bagi mereka bertemu hanyalah sebuah formalitas belaka.
***
Maira menengok jam yang melingkar di pergelangan tangannya lalu bergegas menuju ruangan Sean. Pintunya sedikit terbuka. Baru saja ia akan mengetuk, ketika tanpa sengaja ia mendengar bentakan keras dari dalam.
Maira tertegun, Sean tidak pernah bersuara sekeras itu. Bos nya itu selalu berkata lembut di hadapannya, bahkan ketika Maira melakukan sebuah kesalahan.
Maira masih berdiri di balik pintu, ia menunggu Sean menutup sambungan telpon nya. Tapi hal itu ternyata tidak terjadi karena Sean masih terus bicara.
"Nila, dengar, kamu harus bisa melakukannya."
Nila? Jantung Maira mendadak berdegub kencang.
"Aku gak mau tahu bagaimana kamu melakukannya, yang aku mau kamu harus bisa membuat dia terlihat seperti apa yang Maira tidak ingin lihat. Faham kamu?"
Maira terkejut ketika namanya di sebutkan oleh Sean dalam percakapan telponnya.
"Ingat, kamu tidak akan seperti sekarang bila tidak ada aku. Jadi bekerja lah sebaik baiknya. Aku tidak ingin kehilangan Maira."
"Aku ingin Maira dan Egi berpisah secepatnya."
Tiba tiba kepala Maira berdenyut kencang.
Jadi semua ini adalah pekerjaan Sean?
Maira bergegas mengetuk pintu dan masuk tanpa menunggu persetujuan dari Sean.
"Hari ini saya akan bereskan semua pekerjaan saya. Surat pengunduran diri saya menyusul." Maira mencoba menguatkan diri diantara kenyataan yang sama sekali tak ia duga.
Sean mengeryit."Ma? Ada apa?"
"Maaf kan saya. Saya telah mendengar semuanya. Permisi."
Sean terperanjat, dengan tangkas ia menangkap lengan Maira. Tapi Maira mengibaskan nya segera.
"Ma, apa yang kamu dengar itu salah."
Maira menatap Sean tajam.
“Ternyata bapak tidaklah seperti yang saya pikirkan selama ini.”
“Ma, apakah salah bila aku mencintai kamu?”
“Tidak ada yang salah dengan yang namanya cinta. Namun semua yang bapak lakukan ini tidak masuk akal. Dan terlebih telah menodai kepercayaan saya terhadap bapak.”
“Terima kasih telah menjadi atasan yang sangat baik untuk saya selama ini.” Lanjut Maira sambil berlalu menuju pintu.
***
Maira meletak kan surat pengunduran dirinya di atas meja Sean.
Semestinya sejak dulu aku melakukan hal ini.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H