Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Bulan Motivasi RTC] Senja Menari

21 Mei 2016   20:37 Diperbarui: 21 Mei 2016   22:38 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karya Kolaborasi dari Tim Malam Anginan.

Lima tahun sudah Senja menekuri kehampaan ketika langkahnya meninggalkanpanggung dan menutup hatinya. Kini ia dalam seribu menung nanar menatap foto foto pementasan nya beberapa tahun lalu. Bercerita banyak dan menampar-nampar jantungnya dari degup menjadi getar. Hingga linangan bening diam-diam memenuhi matanya. “Masihkah akan mampu aku menari?” Demikian bisiknya dengan bibir bergetar.

Senja merapatkan kelopak matanya kuat-kuat, menggigit bibirnya menahan getir yang tiba-tiba menyeruak. Dengan tangan sedikit bergetar, ia mengalihkan cursor, beranjak dari folder foto ke folder video. Ia membuka sebuah file kenangan__tayangan pagelaran terakhirnya__, sesaat kemudian kepalanya direbahkan ke sandaran kursi. Posisinya kini menatap langit-langit kamar, lalu kembali ia mengatupkan matanya, ia bahkan tidak menonton aksi mempesonanya di laptop merah kesayangannya itu. Tetapi justru dengan keadaan seperti itu, ia seolah nyata menikmati film itu.

Alunan seruling Sunda dan suara gendang berharmoni dengan petik dawai kecapi, membawanya melesat jauh ke sebuah panggung sederhana di sebuah pagelaran budaya di kota Bandung. Ia menari, ritme geraknya mengimbangi irama musik. Tubuhnya meliuk-liuk, jemarinya melentik diayunkan gemulai. Kepalanya dianggukanggukkan, digoyang-goyangkan. Bola matanya bermain-main, melarak lirik seakan menghipnotis hadirin. Ia tersenyum, penonton bertepuk tangan.

Dengan tarinya ia bercerita, menyampaikan pesan budaya, menyajikan keindahan dan memberikan kesan betapa kesenian ini telah merasuk jiwanya. Penampilan si cantik Senja yang memukau sudah sepantasnya mendapat sambutan yang meriah dari penonton.

Bunyi seperangkat alat kesenian Sunda itu sudah lama berhenti, penampilan Senja yang semula bergemerlap warna seketika menjadi kelabu. Ratusan hadirin yang memadati alun-alun sudah pergi entah ke mana. Alur cerita berubah, tidak lagi ada gegap gempita riuh tepuk tangan. Kini, ia tertatih terseok-seok menuruni anak tangga panggung, kakinya terluka dan nyaris saja ia terpental ke belakang andai kursinya tidak tertahan dinding kamarnya. Nanar ia menatap langit-langit kamar, sadar ia telah dihantui peristiwa naas itu lagi. Setelah menguasai keadaan, sejurus kemudian ia mematikan laptopnya. Ia menghirup napas dalam-dalam. Untuk sesaat lamanya ia meredam luapan emosi yang menenggelamkannya kembali ke dalam keputusasaan.

“Mengapa Engkau menguji hamba sedemikian rupa ya Tuhan? Engkau yang telah membentuk kelopak ini menjadi bunga yang harum, namun kini menjadi layu tak terpetik lagi?” Senja membathin kehilangan semangat.

***

Senja menatap sendu jemarinya yang tak selentik dulu lagi. Gemulai tubuhnya mulai lapuk ditelan asa yang meluruh. Lima tahun yang sangat panjang. Ia hanya bisa merindu di balik tirai-tirai tebal yang ia ciptakan sendiri. Perempuan bermata sayu itu menyibak kelambu yang menyelubungi pembaringannya. Selubung tipis yang selama ini selalu melindungi tidurnya. Namun matanya tak pernah terpejam, ia enggan dipeluk mimpi.

Kecelakaan itu telah membuyarkan semua mimpi dan hasratnya. Senja tak mau tahu tentang kode yang disematkan untuk traumanya, entah C, L atau T. Yang ia tahu bahwa kini semuanya seakan berjalan dengan lamban. Satu, dua, tiga dan puluhan pementasan pernah ia lewati. Panggung pertunjukan yang selalu membuatnya bagaikan seorang ratu. Tapi semuanya lenyap begitu saja. Kebahagiaan yang sebelumnya ia pikir akan selalu menghinggapinya ternyata menghilang ditelan ketakberdayaan. Perempuan berparas ayu itu meraung, kakinya tak bisa ia gerakkan lagi. Ia menangis tanpa henti, sampai akhirnya air mata tak sudi menghampirinya lagi.

“Kemanakah kebahagiaanku pergi?” Senja mencari.

Dulu, bahagia adalah bagian dari hidupnya. Dalam setiap hembusan nafas dan derap langkah, bahagia selalu setia menemaninya. Namun rupanya kebahagiaan telah jemu menemuinya dan pergi tanpa kata kata. Senja merasa dikhianati.

***

Ratusan sesi terapi telah Senja lewati, tapi semangatnya tak kunjung menyeruak.

"Semuanya telah berakhir, untuk apa aku mengikuti terapi yang hanya membuatku merasa semakin tak berdaya." Lalu dengan gontai Senja membuka kembali laptop merahnya untuk sekedar memeriksa email masuk.

Sebuah file video yang dikirim terapisnya menunggu untuk dibuka. Senja memainkan telunjuknya di touchpad laptopnya. Sesosok pemuda berkursi roda muncul di hadapannya. Dengan lincah pemuda itu memainkan bola bundar yang ada di tangannya dan memasukannya ke dalam ring berkali kali. Gerakannya sangat lincah, seakan ia tak sedang berada di atas kursi roda. Senja terus memperhatikan sosok itu, matanya berlarian kian kemari mengikuti irama gerakan dari pemuda yang ia ketahui tidak akan pernah bisa berjalan lagi. Pemuda itu adalah salah seorang peserta Paralympic yang sangat disegani. Di ujung tayangan video itu ada huruf huruf yang berbaris membentuk sebuah kalimat yang berbunyi "Carpe diem".

Senja menggoyangkan kedua kakinya. "Aku tidak lumpuh. Aku hanya malas berjalan karena kecewa." Lalu dengan hati hati ia mulai menapakkan kakinya dengan pasti. Sedikit demi sedikit. Lagi dan lagi.

***

Malam semakin senyap saja dan hujan berderap memecut jendela, Senja memejam dan menghela nafas sederu angin. Matanya berkilat seperti bintang baru terbit dan perlahan senyum termanis terlukis di wajahnya. Dengan tangan terkepal menggenggam tekad dan semangat yang tersengal ia kumpulkan dalam sebentuk keyakinan. Carpe Diem, ya kata itu yang telah tiba-tiba menyelubung benaknya.

Dengan tertatih dan sempoyongan ia keluar rumah, tersaruk-saruk menembus hujan yang menghunjami tubuhnya. Ia terus berjalan meski semakin kuyup saja. Terus berjalan melewati deretan toko yang tertutup. Melewati para gelandangan yang meringkuk bernaung di emperan sepanjang trotoar. Ia terus berjalan.

Sampai pada gerbang sebuah gedung yang nampak legam menyeramkan. Hanya remang saja lampu di teras depan gedung itu. Ia berhenti. Menatap tajam dan makin berkilat-kilat matanya. Perlahan ia mendorong mencoba membuka gerbang besi yang mulai berkarat itu namun terkunci.

Senja berpaling, mencari-cari seseorang. Mungkin ada seorang penjaga gedung itu... pikirnya. Tapi ia tak mendapatkan bayangan siapapun dalam cahaya remang yang dipendarkan hujan. Sejenak ia kembali memperhatikan gerbang itu dan tanpa piker panjang, ia melompat, memanjat dalam dingin tubuhnya yang basah kuyup. Segera Senja meloncat ke halaman dan terus berlari ke arah gedung tua itu. Dan masuk lewat pintu samping yang ia tahu tak pernah dikunci. Ia terhenyak. Tubuhnya menggigil. Dingin malam hujan dan kuyup tubuhnya baru ia rasakan sebab dorongan dingin dari jiwanya yang berdebar demikian gelora semakin menyesak kerongkongannya.

Panggung ini. Ya, Senja terpaku berdiri di atas panggung gedung pertunjukan yang gelap ini. Panggung yang memagis sukmanya yang tercekat tiba-tiba. Betapa sunyi dan gelap panggung ini, membatin Senja yang berdiri dalam gigil dan sempoyongan meski ia berkutat untuk tetap berdiri. Ia mengenali setiap sudut panggung itu, gedung itu. Sebab dulu, di sinilah ia kerap menari.

Lantai panggung dari kayu yang demikian halus dan licin, border-border hitam, tormentor, wing di kanan kiri panggung yang juga berwarna hitam dan lampu lampu yang tergantung. Tempat pemusik, kamar ganti yang merangkap ruang rias juga bangku-bangku penonton yang samar-samar sebab gelap hampir pekat.

Senja merasa jiwanya makin tercekat. Ia gemetar. Melangkah ke tengah panggung sedangkan matanya merayap mengitari segenap sudut gedung pertunjukan itu. Dan kakinya tak lagi kuat melangkah menahan gemetar semakin mendebur di dadanya. Ia terjelapak di tengah panggung. Hati dan benaknya berkecamuk semakin riuh menderu-deru. Meski kilat di matanya tak sirna.

“Di sini... harus kumulai malam ini. Saat ini...” Hatinya mengeras mengambil keputusan.

Lalu dengan tubuh yang basah kuyup dia mengatur duduknya, bersila. Setelah menarik nafas panjang yang dalam, Senja memejamkan matanya. Ruang masih gelap. Ia seolah menghening cipta.

Perlahan, Senja memainkan musik dalam kepalanya. Dan dengan perlahan pula tangannya bergerak. Terus bergerak diiringi musik yang mengalun dalam kepalanya. Ia menari. Tanpa sadar tanpa berpikir. Tubuhnya bergerak, terus bergerak. Meliuk dengan gemulai. Demikian ritmis dan magis. Dalam duande.

***

Bertahun-tahun ia melewatkan hari dengan luapan cintanya pada tari. Rasa cinta yang lebih kuat ketimbang harus meluapkan serapah pada rasa sakit yang menimpanya. Senja tidak ingin terus-terusan mengeluh dengan derita di kakinya itu, sedikit banyak juga pastilah terapi-terapi itu memberi reaksi pada titik sakitnya, dan satu dari sekian yang nyata bahwa Tuhan masih ingin melihat bunga itu menebar wangi.

Absurd memang, hanya dengan menyaksikan semangat seorang peserta paralympic yang telah menggugah hatinya, seketika sembuhkan lukanya. Tetapi itulah keajaiban dari Tuhan, terjawablah sudah doa-doa yang tak pernah henti ia panjatkan. Interaksi antara doa, semangat, keinginan, cinta, kekuatan dan keberanian yang telah membawanya kini berada di gedung ini.

Sebuah gedung tua peninggalan Belanda, yang sejak 3 tahun terakhir kurang terawat karena statusnya yang segera akan direnovasi menjadi museum kesenian. Gedung yang pernah membesarkan Senja. Tempat di mana ia dan teman-teman seniman sering berkumpul. Entah sudah berapa lama ia menari. Satu jam, dua jam, tiga jam telah berlalu... Senja semakin meliuk, jiwanya dirasuk terombang-ambing, mabuk. Kisah-kisah mengalun dalam pusaran raganya tanpa batasan ruang gerak, luwes, dinamis dan begitu merdeka.

Malam yang sempurna baginya, bernafaskan nada musik yang mengiring setiap alun tingkahnya, tubuhnya yang basah semakin basah oleh keringat, menyiram dan menumbuhkan tunas-tunas gemulainya yang lama terkubur. Tubuhnya terus bergerak... bergerak... bergerak... Senja hanyut dalam tarian, jiwanya melayang... dan ia menjadi makin meliar dalam gerak di batas ambang kesadarannya. Seolah sesuatu yang gaib menggerakan tubuhnya tanpa dapat di tahan-tahankannya lagi. Ruang panggung menjadi penuh dengan aroma magis dalam gelapnya seperti sesuatu yang demikian dingin menggetarkan hati jika ada yang melihatnya.

Sementara di luar hujan masih saja mencurah dengan sesekali diselingi petir dan guntur yang menggelegar, angin pun semakin keras menampar-nampar dan kemudian dengan suara berderak keras, pohon Flamboyan di sudut depan halaman gedung itu berderak tumbang. Semakin lama tubuh Senja bergerak tak beraturan ia jelas mengalami trans, terlihat geraknya mulai berisi getaran-getaran kecil. Semakin bergetar. Senja semakin mabuk, gila dan binasa. Senja tersenyum menghembuskan nafas terakhirnya. Di atas panggung yang masih pekat dan hening.

Di luar, hujan menjadi gerimis yang demikian manis dalam pendar cahaya lampu yang temaram. Prahara telah reda. Senja telah mengarungi gelap malam dan ia telah menggenggam bintangnya.

***

Tim Malam Anginan adalah :

Nugi OS

Prahara Hujan

Ika Septi

Rumpies the club
Rumpies the club

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun