Panggung ini. Ya, Senja terpaku berdiri di atas panggung gedung pertunjukan yang gelap ini. Panggung yang memagis sukmanya yang tercekat tiba-tiba. Betapa sunyi dan gelap panggung ini, membatin Senja yang berdiri dalam gigil dan sempoyongan meski ia berkutat untuk tetap berdiri. Ia mengenali setiap sudut panggung itu, gedung itu. Sebab dulu, di sinilah ia kerap menari.
Lantai panggung dari kayu yang demikian halus dan licin, border-border hitam, tormentor, wing di kanan kiri panggung yang juga berwarna hitam dan lampu lampu yang tergantung. Tempat pemusik, kamar ganti yang merangkap ruang rias juga bangku-bangku penonton yang samar-samar sebab gelap hampir pekat.
Senja merasa jiwanya makin tercekat. Ia gemetar. Melangkah ke tengah panggung sedangkan matanya merayap mengitari segenap sudut gedung pertunjukan itu. Dan kakinya tak lagi kuat melangkah menahan gemetar semakin mendebur di dadanya. Ia terjelapak di tengah panggung. Hati dan benaknya berkecamuk semakin riuh menderu-deru. Meski kilat di matanya tak sirna.
“Di sini... harus kumulai malam ini. Saat ini...” Hatinya mengeras mengambil keputusan.
Lalu dengan tubuh yang basah kuyup dia mengatur duduknya, bersila. Setelah menarik nafas panjang yang dalam, Senja memejamkan matanya. Ruang masih gelap. Ia seolah menghening cipta.
Perlahan, Senja memainkan musik dalam kepalanya. Dan dengan perlahan pula tangannya bergerak. Terus bergerak diiringi musik yang mengalun dalam kepalanya. Ia menari. Tanpa sadar tanpa berpikir. Tubuhnya bergerak, terus bergerak. Meliuk dengan gemulai. Demikian ritmis dan magis. Dalam duande.
***
Bertahun-tahun ia melewatkan hari dengan luapan cintanya pada tari. Rasa cinta yang lebih kuat ketimbang harus meluapkan serapah pada rasa sakit yang menimpanya. Senja tidak ingin terus-terusan mengeluh dengan derita di kakinya itu, sedikit banyak juga pastilah terapi-terapi itu memberi reaksi pada titik sakitnya, dan satu dari sekian yang nyata bahwa Tuhan masih ingin melihat bunga itu menebar wangi.
Absurd memang, hanya dengan menyaksikan semangat seorang peserta paralympic yang telah menggugah hatinya, seketika sembuhkan lukanya. Tetapi itulah keajaiban dari Tuhan, terjawablah sudah doa-doa yang tak pernah henti ia panjatkan. Interaksi antara doa, semangat, keinginan, cinta, kekuatan dan keberanian yang telah membawanya kini berada di gedung ini.
Sebuah gedung tua peninggalan Belanda, yang sejak 3 tahun terakhir kurang terawat karena statusnya yang segera akan direnovasi menjadi museum kesenian. Gedung yang pernah membesarkan Senja. Tempat di mana ia dan teman-teman seniman sering berkumpul. Entah sudah berapa lama ia menari. Satu jam, dua jam, tiga jam telah berlalu... Senja semakin meliuk, jiwanya dirasuk terombang-ambing, mabuk. Kisah-kisah mengalun dalam pusaran raganya tanpa batasan ruang gerak, luwes, dinamis dan begitu merdeka.
Malam yang sempurna baginya, bernafaskan nada musik yang mengiring setiap alun tingkahnya, tubuhnya yang basah semakin basah oleh keringat, menyiram dan menumbuhkan tunas-tunas gemulainya yang lama terkubur. Tubuhnya terus bergerak... bergerak... bergerak... Senja hanyut dalam tarian, jiwanya melayang... dan ia menjadi makin meliar dalam gerak di batas ambang kesadarannya. Seolah sesuatu yang gaib menggerakan tubuhnya tanpa dapat di tahan-tahankannya lagi. Ruang panggung menjadi penuh dengan aroma magis dalam gelapnya seperti sesuatu yang demikian dingin menggetarkan hati jika ada yang melihatnya.