Dulu, bahagia adalah bagian dari hidupnya. Dalam setiap hembusan nafas dan derap langkah, bahagia selalu setia menemaninya. Namun rupanya kebahagiaan telah jemu menemuinya dan pergi tanpa kata kata. Senja merasa dikhianati.
***
Ratusan sesi terapi telah Senja lewati, tapi semangatnya tak kunjung menyeruak.
"Semuanya telah berakhir, untuk apa aku mengikuti terapi yang hanya membuatku merasa semakin tak berdaya." Lalu dengan gontai Senja membuka kembali laptop merahnya untuk sekedar memeriksa email masuk.
Sebuah file video yang dikirim terapisnya menunggu untuk dibuka. Senja memainkan telunjuknya di touchpad laptopnya. Sesosok pemuda berkursi roda muncul di hadapannya. Dengan lincah pemuda itu memainkan bola bundar yang ada di tangannya dan memasukannya ke dalam ring berkali kali. Gerakannya sangat lincah, seakan ia tak sedang berada di atas kursi roda. Senja terus memperhatikan sosok itu, matanya berlarian kian kemari mengikuti irama gerakan dari pemuda yang ia ketahui tidak akan pernah bisa berjalan lagi. Pemuda itu adalah salah seorang peserta Paralympic yang sangat disegani. Di ujung tayangan video itu ada huruf huruf yang berbaris membentuk sebuah kalimat yang berbunyi "Carpe diem".
Senja menggoyangkan kedua kakinya. "Aku tidak lumpuh. Aku hanya malas berjalan karena kecewa." Lalu dengan hati hati ia mulai menapakkan kakinya dengan pasti. Sedikit demi sedikit. Lagi dan lagi.
***
Malam semakin senyap saja dan hujan berderap memecut jendela, Senja memejam dan menghela nafas sederu angin. Matanya berkilat seperti bintang baru terbit dan perlahan senyum termanis terlukis di wajahnya. Dengan tangan terkepal menggenggam tekad dan semangat yang tersengal ia kumpulkan dalam sebentuk keyakinan. Carpe Diem, ya kata itu yang telah tiba-tiba menyelubung benaknya.
Dengan tertatih dan sempoyongan ia keluar rumah, tersaruk-saruk menembus hujan yang menghunjami tubuhnya. Ia terus berjalan meski semakin kuyup saja. Terus berjalan melewati deretan toko yang tertutup. Melewati para gelandangan yang meringkuk bernaung di emperan sepanjang trotoar. Ia terus berjalan.
Sampai pada gerbang sebuah gedung yang nampak legam menyeramkan. Hanya remang saja lampu di teras depan gedung itu. Ia berhenti. Menatap tajam dan makin berkilat-kilat matanya. Perlahan ia mendorong mencoba membuka gerbang besi yang mulai berkarat itu namun terkunci.
Senja berpaling, mencari-cari seseorang. Mungkin ada seorang penjaga gedung itu... pikirnya. Tapi ia tak mendapatkan bayangan siapapun dalam cahaya remang yang dipendarkan hujan. Sejenak ia kembali memperhatikan gerbang itu dan tanpa piker panjang, ia melompat, memanjat dalam dingin tubuhnya yang basah kuyup. Segera Senja meloncat ke halaman dan terus berlari ke arah gedung tua itu. Dan masuk lewat pintu samping yang ia tahu tak pernah dikunci. Ia terhenyak. Tubuhnya menggigil. Dingin malam hujan dan kuyup tubuhnya baru ia rasakan sebab dorongan dingin dari jiwanya yang berdebar demikian gelora semakin menyesak kerongkongannya.