Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Poni Superman

8 April 2016   14:23 Diperbarui: 8 April 2016   14:48 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Poni ini begitu menyiksa ku.  Entah  telah berapa jam aku berdiri di depan cermin, menata poni [caption caption="warungkopi.okezone"][/caption]kriwil tak karuan. Barisan poni Superman yang sangat aku risaukan. Yang kadang membuat nafsu makan ku hilang. Sampai badan kurus kering kerontang.

Agar mudah di atur, kadang ku sirami sang poni dengan minyak urang aring milik nenek, dioles Brisk punya kakek, di usap minyak goreng dari dapur ibu dan tak lupa menambahkan minyak nyong nyong hasil nemu, tapi tetap saja poni itu bergeming. Menjuntai malas di dahi lebarku.

Aku muntab.

Aku benci poni ku.

Poni yang sama sekali tidak bisa di atur.

Atau mungkin harus ada perda yang mengatur?

Ada apa dengan kepala ku?

Apakah banyak syaraf yang saling membentur sehingga membuat rambutku bergelombang tak teratur?

Mengapa hanya aku yang berambut seperti ini?

Semua anggota keluarga ku berambut lurus bisa di poni.

Kakek, nenek, ayah, ibu, kakak, adik, oom dan tante, semua berambut sama.

Hanya aku yang berbeda.

Apakah aku anak pungut?

Anak yang ditinggalkan orangtuanya di depan pintu rumah mereka?

Ah, mengapa aku menjadi penuh prasangka?

Aku menjambak jambak poniku lagi dan lagi, dengan harapan bisa lurus nanti. Tapi poni itu kembali seperti semula. Tak ada alasan untuk kembali menjambaknya.

Kadang aku enggan membuka mata ketika ayam jantan berkokok gempita. Karena aku akan mendapati rambut dan poni ku bagai sedia kala.  Aku ngeri untuk memutuskan tak berponi, karena dahi ku terlalu lebar untuk di pandangi.

 

"Setrika saja." teman ku datang dengan ide yang menantang.

Aku pun merengek kepada ibu minta di belikan setrika baru.

Ibu mengangguk setuju, beliau pergi ke dalam dulu.

Tak lama ibu datang sambil menenteng setrika baju.

Aku berteriak histeris menyelamatkan diri.

Teman ku meringis sambil tertawa miris.

 

"Di rebonding saja."  kata teman ku lagi penuh semangat.

Aku merengek lagi kepada ibu, minta di antar ke salon mbak Nilam.

Ibu mengangguk sambil tergopoh masuk ke dalam.

Ibu datang dengan membawa salon yang bisa di dengarkan.

"Ini ibu antarkan salonnya, gak usah pergi ke salon Nilam." Kata ibu tersenyum lebar.

Aku terpana, teman ku tertawa.

 

Aku tidak berhasil meluruskan rambut dan poni ku.  Aku acak acak poni ku penuh nafsu.

Mengapa engkau tega kepada ku? Membuatku risau dan galau di selimuti rasa tak menentu.

Mengintimidasiku dengan salon dan setrika. Kalau begini, mending gak berambut saja.

Tapi semua pikiran buruk ku terhapus sudah. Ketika Tante ku datang dengan rambut baru nya.

Rambut yang senada dengan milik ku. Yang katanya berharga duaratus lima puluh ribu.

 

Akhirnya aku sadar. Bahwa tidak ada yang sempurna di dunia.

Lalu Ibu pun berkata "Syukuri lah apa yang ada."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun