Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Mimpi

1 April 2016   16:31 Diperbarui: 29 Juli 2016   15:39 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi - sepasang kekasih (Shutterstock)"][/caption]Mimpi itu datang berulang tanpa diundang. Bagaikan bayangan yang mengejar ke mana pun langkah diayun. Waktu tidak sepenuhnya menghapuskan sesuatu. Waktu hanya membuat sesuatu pudar dengan tetap meninggalkan goresan.

     Seza menghapus keringat yang membasahi bagian atas bibir dengan punggung tangannya. Ini adalah hari ketujuh di mana ia terbangun dengan napas yang memburu. Wajah itu kembali menari-nari di pikirannya. Delapan tahun telah berlalu, dan baru kali ini dia muncul kembali walau hanya dalam mimpi. Awalnya Seza tidak menghiraukan mimpinya, toh mimpi hanyalah bunga tidur. Tapi tujuh hari adalah waktu yang cukup lama untuk sekuntum bunga tetap mekar. Bunga itu pasti ingin menunjukkan sesuatu kepadanya, tapi entah apa.

***

     Hujan belum juga reda, telah satu jam Seza duduk di kedai kopi itu. Ia menghirup mug yang berisi cinammon hot chocolate-nya perlahan. Aroma kayu manis yang khas menemani lamunannya. Sementara sahabatnya Rani, tengah berkutat dengan netbook-nya. Rani berpendapat bahwa apa yang dialami Seza adalah sebuah fenomena psikologis. Bermimpi tentang seseorang secara terus-menerus adalah sebuah tanda bahwa ada suatu hal yang belum terselesaikan, begitu katanya.

     "Sez...." Rani menyodorkan netbooknya ke hadapan Seza.
     "Hmm." Seza menaikkan alisnya, pandangannya menerawang jauh ke luar jendela yang berkaca lebar.
     "Lihat nih."
     Seza mengerutkan dahinya, tatapannya langsung menghujam ke layar netbook yang berpendar di hadapannya. Di lini masa Rani, terlihat sebuah foto yang menunjukkan sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak menggemaskan yang tengah tersenyum bahagia.
     "Dia baru saja nge-add aku, what a surprise kan?"
     "Coba buka Facebook kamu." lanjut Rani dengan wajah penuh harap.
     "Lupa password." Seza menjawab asal.
     "Masih sakit hati?"
     Seza mengendikkan bahunya.

     Sebagai lajang di usianya yang telah menginjak angka kepala tiga membuat banyak pasangan dari teman lamanya mencurigainya. Para istri yang cantik dan menawan itu ketakutan bila para suaminya tenggelam dengan perbincangan panjang dengan wanita single sepertinya. Dan kasus yang terakhirlah yang membuat Seza enggan membuka lagi akun sosial medianya. Karena di media tempat bersosialisasi secara maya itu Seza telah dimaki-maki secara terbuka oleh seorang perempuan yang kebakaran jenggot karena curiga kepada pasangannya yang sering terlihat berbincang di kolom status Seza. Padahal tidak ada perbincangan yang istimewa antara Seza dan lelaki yang notabene adalah teman kuliahnya dahulu itu. Mereka hanya sering berbincang tentang event reuni yang akan digelar beberapa waktu ke depan. Seza jera.

***

     Jarum jam di dindingnya telah bergerak ke angka 12, tapi tidak membuat kantuk menghampirinya. Seza berguling di ranjangnya yang lebar. Mengapa mendadak pikirannya melayang kepada sebentuk wajah itu. Wajah yang kembali muncul tiba-tiba. Delapan tahun bukanlah waktu yang singkat bagi seseorang untuk menjalani hidupnya. Dia mungkin telah menemukan apa yang dicarinya, sebuah keluarga yang hangat dan penuh kasih.

     Seza masih ingat benar bagaimana rasa cinta yang berujung pahit itu merobek-robek hatinya. Rasa yang masih ia bawa hingga kini. Rasa yang pernah tersembuhkan tapi akhirnya selalu datang lagi dan lagi.

     Kantuk tak jua menyapanya, Seza berdiam diri dalam gelap. Ia berpikir, mungkin segelas susu hangat akan mengobati insomnianya. Tak berapa lama, susu bercita rasa plain itu telah memenuhi lambungnya, tapi matanya masih enggan terpejam. Seza melirik laptopnya yang tergeletak di atas meja, ada rasa gatal untuk membuka benda itu. Akhirnya di malam menjelang dini hari, dengan jari gemetar, ia ketikkan password akun medsosnya yang tidak pernah ia lupakan.

     Halaman di layar laptopnya menunjukkan banyak sekali notifikasi. Permintaan pertemanan, undangan bermain game, event, menyukai halaman, dan pesan yang berderet-deret. Seza memeriksa pesan yang masuk, tak lama matanya terbelalak ketika melihat sebuah nama muncul di sana. Ia menghela napasnya panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Jarinya kembali bergetar ketika ia menyentuh touchpad laptopnya. Awalnya Seza ragu untuk membuka pesan itu, tapi rasa penasaran mengalahkan semuanya. Ia pun mengeklik pesan dengan nama yang telah hilang dari hidupnya selama 8 tahun ini.

     Akhirnya aku menemukanmu.

     Kalimat yang sangat pendek untuk mengisi kolom pesan yang disediakan untuk banyak karakter oleh Mark Elliot Zuckerberg. Seza memandangi huruf-huruf yang membentuk sebuah kalimat itu, lalu ia pun menutup laptopnya dengan segera.

***

     Mimpi itu masih saja mendatanginya, yang membuat Seza selalu terbangun dengan rasa lelah yang mendera. Mungkin apa yang dikatakan Rani benar adanya bahwa ini semua dikarenakan adanya unfinished business yang harus diselesaikan dengan segera. Seza menimbang nimbang, lalu diraihnya laptop yang tergeletak tak berdaya dan segera membukanya.

***

     "Sez, kamu belum juga buka akun Facebook kamu?" tanya Rani penuh selidik.
     Seza hanya menaikkan alisnya, lalu memandangi latte art berbentuk daun pakis yang indah di permukaan minuman coklat Belgia-nya.
     "Tahu gak dia mencecarku dengan semua pertanyaan tentang kamu."
     "Sepertinya dia ingin sekali bertemu dengan kamu," lanjut Rani menggebu.
     Seza menggeleng.
     "Untuk apa? Memperlihatkan semua kebahagiaannya?"
     "Wiih sinis, ya mungkin kangen sama kamu. Sudah lama sekali kan kalian tidak bertemu."
     Seza hanya menggeleng dan mulai menyeruput isi cangkir bergaya abad pertengahan itu dengan serius.
     "Eh itu Mas Arya sudah sampai, aku duluan ya." Rani melambaikan tangannya ke arah seseorang yang berada di luar kedai kopi.
     Seza mengangguk.
     "Baik baik di sini ya, kalau ada yang godain, hajar aja. Kalau malam minggu mulai terasa sepi, main ke rumah, nanti aku masakin deh." Rani terkikik sambil melangkah pergi, sementara Seza tersenyum kecut.

***

     Tak lama berselang, seorang pramusaji datang untuk menghidangkan zuppa soup yang Seza pesan. Sebentuk makanan asal negara yang mempunyai landmark menara miring Pisa itu menggapai-gapai untuk disantap. Dengan lembut, Seza meremukkan kulit pastry yang berwarna keemasan dengan sendoknya. Satu sendok sup kental hangat melaju pelan dari mulut ke arah lambungnya. Ketika sendokan ketiga, tiba-tiba ada seseorang yang duduk di hadapannya tanpa permisi. Mendadak tubuh Seza terasa kaku bagaikan patung yang kerap dipahat oleh Arya, suami Rani.

     "Hai, Sez, apa kabar?" Seorang lelaki berkemeja rapi tersenyum dan mengulurkan tangannya. Seza terkejut sekali tapi dengan cepat  ia dapat menguasai dirinya.
     "Kok kamu bisa ada di sini?" Seza kikuk, ada rasa aneh yang menjalari pikirannya.
     "Gak usah kaget gitu lah. Memangnya Rani gak kasih tahu kalau aku akan menemui kamu di sini?"

     Haduh, Rani.

     "Kamu masih seperti dulu, gak ada yang berubah."
     Seza tidak mengindahkan apa yang dikatakan lelaki yang bernama Elang itu.
     "Mana keluarga kamu?" Seza melemparkan pandangamnya ke segala penjuru ruangan.
     "Keluargaku? Aku menemui kamu di sini karena aku ingin bertemu dengan kamu sendiri."
     "Aku lebih baik pergi, sebelum ada yang melihat kita sedang berdua di sini dan menjadi ajang fitnah."
     "Seza, Inikah yang selalu kamu lakukan, pergi begitu saja? Kamu belum puas dengan apa yang telah kamu lakukan kepadaku? Pergi dariku karena alasan jarak itu sangat kekanakan."

     Seza urung menutup jendela laman Facebook-nya, dan menatap lelaki itu dengan segera.

     "Kamu telah membuat hidupku tidak bahagia," lanjut Elang gusar.
     "Tidak bahagia? Lalu ini apa?" Seza memutar laptopnya ke arah lelaki yang pernah ada dalam hidupnya itu. "Aku telah memberi kamu sebentuk kebahagiaan. Istri yang cantik, anak-anak yang lucu dan pekerjaan yang hebat." Seza memalingkan pandangannya ke arah gerombolan anak muda yang baru saja memasuki kedai kopi itu.
     "Itu hanya foto, Sez. Foto bisa berarti apa saja,"
     "Kamu tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan hidupku," lanjut Elang, lemah.
     "Yang aku tahu bahwa hidup kamu lebih baik daripada hidupku."
     Lelaki bernama Elang. Itu menggelengkan kepalanya. "Aku mengalami banyak hal buruk dalam hidupku. Pernikahan pertamaku kandas di tengah jalan. Dan ini adalah pernikahan keduaku. Semua aku jalani dengan rasa hampa karena aku tahu bahwa selama ini cintaku hanyalah untuk kamu."
     "Untuk apa kamu dulu meninggalkan aku bila sampai detik ini kamu masih saja sendiri?" Elang memutar kembali laptop itu ke hadapan Seza. "Bila dulu kita terus bersama, saat ini kita pasti telah mempunyai keluarga yang bahagia."
     "Lang, kita tidak akan pernah tahu kebahagiaan macam apa yang akan kita dapati dalam hidup kita. Kita juga tidak akan pernah tahu apakah dengan kita bersama, kebahagiaan itu akan ada."
     "Aku yakin kita akan bahagia, Sez, karena ada cinta. Rasa cinta akan selalu membuat kita bahagia."
     "Ya, cinta yang sama dari dua orang manusia, bukan salah satunya."
     Elang mengerutkan dahinya.
     "Aku tahu apa yang kamu lakukan dulu, Lang. Aku tahu semuanya. Kamu telah... Ah, sudahlah aku tidak ingin membahasnya, itu sudah berlalu," lanjut Seza, ia matikan laptopnya dengan segera.
     "Ooh jadi itu alasan kamu? Alasan yang sangat tidak bermutu. Meninggalkan aku karena akhirnya kamu sadar bahwa kamu tidak mencintaiku, tapi mencintai orang seperti...." Kalimat Elang terputus ketika ada seseorang yang tiba-tiba duduk di sampingnya dan menepuk pundaknya.
     "Weiss, Elang. Apa kabar, masih kerja di off shore?"
     "Dia?" Elang menatap tajam Seza dengan raut wajah yang terkejut.
     "Aku? Kenapa dengan Aku?" Lelaki bernama Rega itu mengerutkan dahinya lalu tersenyum.
     Elang terlihat kikuk. "Ehm, enggak apa-apa. Iya aku masih di off shore. Kok bisa ada di sini?" Elang bertanya dengan nada suara yang menuduh.
     "Bisa dong kan sudah besar, sudah mengerti ke mana kaki harus melangkah. Sudah tidak bisa di bohong-bohongin lagi kayak dulu. Yang terpenting sudah bisa mengontrol emosi." Rega tertawa tanpa beban yang membuat Elang gusar. 

     "Gimana keluarga, baik baik aja kan?" Rega bertanya dengan semringah.
     "Eh iya, baik. Ya sudah, aku gak mau ganggu kalian. Senang bertemu kamu lagi." Elang meninggalkan meja itu dengan terburu-buru dan wajah ditekuk diikuti oleh tatapan Rega. Elang terlihat jengah dengan teman satu jurusannya ketika kuliah dulu. Teman yang dulu pernah ia fitnah demi sebuah rasa.

     "Kenapa dia? Begitu aku datang dia pergi, apa masih alergi dengan aku?" Rega memandang Elang sampai menghilang di kerumunan orang.
     Seza tersenyum. "Aku gak tahu, karena aku gak pernah ngerti dengan dia."
     "Pernah pacaran dengan dia, gak bikin kamu ngerti juga? Ke mana aja kamu selama itu?" Rega tersenyum lalu menghirup espresso-nya.
     "Ke mana? Ada. Dulu aku masih menjadi remaja yang terlalu mengagungkan emosi bukan akal sehat."
     Rega manggut-manggut. "Ya, sama," Rega tertawa. "Tapi sebenarnya, aku harus berterimakasih kepada dia." Rega memainkan cangkir yang telah kosong setengahnya.
     "Kenapa?"
     "Karena dia telah memberiku pelajaran akan pahitnya cinta yang tak sampai." Lagi lagi Rega tertawa lepas. "Tanpa campur tangan dia, aku gak akan pernah tahu arti sebuah cinta sejati. Dia telah menjauhkan aku dari kamu, tapi dia juga yang telah mempertemukan aku dengan kamu lagi."

     "Maafkan aku, dulu aku tidak mempercayai kata hatiku sendiri." Seza menghembuskan napasnya pelan.
     "Masa lalu bukan milik kita lagi Sez, masa depan masih belum terlihat. Yang kita punya adalah hari ini. Saatnya untuk kita nikmati dan syukuri."
     "Rasa yang aku punya masih seperti dulu, delapan tahun tidak melemahkannya. Aku berharap bahwa apa yang aku rasakan, kamu rasakan juga."
     "Aku... Aku gak tahu Ga, semuanya datang begitu cepat."
     "Sez, aku telah menantikan momen ini, dulu aku pernah ragu, tapi waktu telah menghapuskan keraguanku."
     "Bersediakah kamu untuk memulai kembali apa yang ingin kita mulai di delapan tahun yang lalu?"

     Seza menghembuskan napasnya perlahan. "Dulu aku pernah membuat kesalahan yang hanya membuatku merasa tersiksa. Saat ini aku gak ingin membuat kesalahan yang sama lagi."
     Rega mengerutkan dahinya, raut wajahnya berubah. "Jadi?"
     "Kamu tahu jawabnya Ga, mengapa sampai detik ini aku masih sendiri."
     Rega menatap Seza, tatapan yang sama seperti yang selalu ia lakukan di delapan tahun yang lalu.

     Seza tersenyum kepada Rega. Wajah yang selalu mengusik tidurnya itu kini benar-benar ada di hadapannya. Malam-malam selanjutnya tak ada lagi mimpi-mimpi tentangnya, karena mimpi hanyalah bunga tidur. Sedangkan kini bunga itu telah menebarkan harum di kehidupan nyata Seza.

Akhirnya aku menemukanmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun