Seza urung menutup jendela laman Facebook-nya, dan menatap lelaki itu dengan segera.
   "Kamu telah membuat hidupku tidak bahagia," lanjut Elang gusar.
   "Tidak bahagia? Lalu ini apa?" Seza memutar laptopnya ke arah lelaki yang pernah ada dalam hidupnya itu. "Aku telah memberi kamu sebentuk kebahagiaan. Istri yang cantik, anak-anak yang lucu dan pekerjaan yang hebat." Seza memalingkan pandangannya ke arah gerombolan anak muda yang baru saja memasuki kedai kopi itu.
   "Itu hanya foto, Sez. Foto bisa berarti apa saja,"
   "Kamu tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan hidupku," lanjut Elang, lemah.
   "Yang aku tahu bahwa hidup kamu lebih baik daripada hidupku."
   Lelaki bernama Elang. Itu menggelengkan kepalanya. "Aku mengalami banyak hal buruk dalam hidupku. Pernikahan pertamaku kandas di tengah jalan. Dan ini adalah pernikahan keduaku. Semua aku jalani dengan rasa hampa karena aku tahu bahwa selama ini cintaku hanyalah untuk kamu."
   "Untuk apa kamu dulu meninggalkan aku bila sampai detik ini kamu masih saja sendiri?" Elang memutar kembali laptop itu ke hadapan Seza. "Bila dulu kita terus bersama, saat ini kita pasti telah mempunyai keluarga yang bahagia."
   "Lang, kita tidak akan pernah tahu kebahagiaan macam apa yang akan kita dapati dalam hidup kita. Kita juga tidak akan pernah tahu apakah dengan kita bersama, kebahagiaan itu akan ada."
   "Aku yakin kita akan bahagia, Sez, karena ada cinta. Rasa cinta akan selalu membuat kita bahagia."
   "Ya, cinta yang sama dari dua orang manusia, bukan salah satunya."
   Elang mengerutkan dahinya.
   "Aku tahu apa yang kamu lakukan dulu, Lang. Aku tahu semuanya. Kamu telah... Ah, sudahlah aku tidak ingin membahasnya, itu sudah berlalu," lanjut Seza, ia matikan laptopnya dengan segera.
   "Ooh jadi itu alasan kamu? Alasan yang sangat tidak bermutu. Meninggalkan aku karena akhirnya kamu sadar bahwa kamu tidak mencintaiku, tapi mencintai orang seperti...." Kalimat Elang terputus ketika ada seseorang yang tiba-tiba duduk di sampingnya dan menepuk pundaknya.
   "Weiss, Elang. Apa kabar, masih kerja di off shore?"
   "Dia?" Elang menatap tajam Seza dengan raut wajah yang terkejut.
   "Aku? Kenapa dengan Aku?" Lelaki bernama Rega itu mengerutkan dahinya lalu tersenyum.
   Elang terlihat kikuk. "Ehm, enggak apa-apa. Iya aku masih di off shore. Kok bisa ada di sini?" Elang bertanya dengan nada suara yang menuduh.
   "Bisa dong kan sudah besar, sudah mengerti ke mana kaki harus melangkah. Sudah tidak bisa di bohong-bohongin lagi kayak dulu. Yang terpenting sudah bisa mengontrol emosi." Rega tertawa tanpa beban yang membuat Elang gusar.Â
   "Gimana keluarga, baik baik aja kan?" Rega bertanya dengan semringah.
   "Eh iya, baik. Ya sudah, aku gak mau ganggu kalian. Senang bertemu kamu lagi." Elang meninggalkan meja itu dengan terburu-buru dan wajah ditekuk diikuti oleh tatapan Rega. Elang terlihat jengah dengan teman satu jurusannya ketika kuliah dulu. Teman yang dulu pernah ia fitnah demi sebuah rasa.
   "Kenapa dia? Begitu aku datang dia pergi, apa masih alergi dengan aku?" Rega memandang Elang sampai menghilang di kerumunan orang.
   Seza tersenyum. "Aku gak tahu, karena aku gak pernah ngerti dengan dia."
   "Pernah pacaran dengan dia, gak bikin kamu ngerti juga? Ke mana aja kamu selama itu?" Rega tersenyum lalu menghirup espresso-nya.
   "Ke mana? Ada. Dulu aku masih menjadi remaja yang terlalu mengagungkan emosi bukan akal sehat."
   Rega manggut-manggut. "Ya, sama," Rega tertawa. "Tapi sebenarnya, aku harus berterimakasih kepada dia." Rega memainkan cangkir yang telah kosong setengahnya.
   "Kenapa?"
   "Karena dia telah memberiku pelajaran akan pahitnya cinta yang tak sampai." Lagi lagi Rega tertawa lepas. "Tanpa campur tangan dia, aku gak akan pernah tahu arti sebuah cinta sejati. Dia telah menjauhkan aku dari kamu, tapi dia juga yang telah mempertemukan aku dengan kamu lagi."
   "Maafkan aku, dulu aku tidak mempercayai kata hatiku sendiri." Seza menghembuskan napasnya pelan.
   "Masa lalu bukan milik kita lagi Sez, masa depan masih belum terlihat. Yang kita punya adalah hari ini. Saatnya untuk kita nikmati dan syukuri."
   "Rasa yang aku punya masih seperti dulu, delapan tahun tidak melemahkannya. Aku berharap bahwa apa yang aku rasakan, kamu rasakan juga."
   "Aku... Aku gak tahu Ga, semuanya datang begitu cepat."
   "Sez, aku telah menantikan momen ini, dulu aku pernah ragu, tapi waktu telah menghapuskan keraguanku."
   "Bersediakah kamu untuk memulai kembali apa yang ingin kita mulai di delapan tahun yang lalu?"
   Seza menghembuskan napasnya perlahan. "Dulu aku pernah membuat kesalahan yang hanya membuatku merasa tersiksa. Saat ini aku gak ingin membuat kesalahan yang sama lagi."
   Rega mengerutkan dahinya, raut wajahnya berubah. "Jadi?"
   "Kamu tahu jawabnya Ga, mengapa sampai detik ini aku masih sendiri."
   Rega menatap Seza, tatapan yang sama seperti yang selalu ia lakukan di delapan tahun yang lalu.
   Seza tersenyum kepada Rega. Wajah yang selalu mengusik tidurnya itu kini benar-benar ada di hadapannya. Malam-malam selanjutnya tak ada lagi mimpi-mimpi tentangnya, karena mimpi hanyalah bunga tidur. Sedangkan kini bunga itu telah menebarkan harum di kehidupan nyata Seza.
Akhirnya aku menemukanmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H