Akhirnya aku menemukanmu.
   Kalimat yang sangat pendek untuk mengisi kolom pesan yang disediakan untuk banyak karakter oleh Mark Elliot Zuckerberg. Seza memandangi huruf-huruf yang membentuk sebuah kalimat itu, lalu ia pun menutup laptopnya dengan segera.
***
   Mimpi itu masih saja mendatanginya, yang membuat Seza selalu terbangun dengan rasa lelah yang mendera. Mungkin apa yang dikatakan Rani benar adanya bahwa ini semua dikarenakan adanya unfinished business yang harus diselesaikan dengan segera. Seza menimbang nimbang, lalu diraihnya laptop yang tergeletak tak berdaya dan segera membukanya.
***
   "Sez, kamu belum juga buka akun Facebook kamu?" tanya Rani penuh selidik.
   Seza hanya menaikkan alisnya, lalu memandangi latte art berbentuk daun pakis yang indah di permukaan minuman coklat Belgia-nya.
   "Tahu gak dia mencecarku dengan semua pertanyaan tentang kamu."
   "Sepertinya dia ingin sekali bertemu dengan kamu," lanjut Rani menggebu.
   Seza menggeleng.
   "Untuk apa? Memperlihatkan semua kebahagiaannya?"
   "Wiih sinis, ya mungkin kangen sama kamu. Sudah lama sekali kan kalian tidak bertemu."
   Seza hanya menggeleng dan mulai menyeruput isi cangkir bergaya abad pertengahan itu dengan serius.
   "Eh itu Mas Arya sudah sampai, aku duluan ya." Rani melambaikan tangannya ke arah seseorang yang berada di luar kedai kopi.
   Seza mengangguk.
   "Baik baik di sini ya, kalau ada yang godain, hajar aja. Kalau malam minggu mulai terasa sepi, main ke rumah, nanti aku masakin deh." Rani terkikik sambil melangkah pergi, sementara Seza tersenyum kecut.
***
   Tak lama berselang, seorang pramusaji datang untuk menghidangkan zuppa soup yang Seza pesan. Sebentuk makanan asal negara yang mempunyai landmark menara miring Pisa itu menggapai-gapai untuk disantap. Dengan lembut, Seza meremukkan kulit pastry yang berwarna keemasan dengan sendoknya. Satu sendok sup kental hangat melaju pelan dari mulut ke arah lambungnya. Ketika sendokan ketiga, tiba-tiba ada seseorang yang duduk di hadapannya tanpa permisi. Mendadak tubuh Seza terasa kaku bagaikan patung yang kerap dipahat oleh Arya, suami Rani.
   "Hai, Sez, apa kabar?" Seorang lelaki berkemeja rapi tersenyum dan mengulurkan tangannya. Seza terkejut sekali tapi dengan cepat  ia dapat menguasai dirinya.
   "Kok kamu bisa ada di sini?" Seza kikuk, ada rasa aneh yang menjalari pikirannya.
   "Gak usah kaget gitu lah. Memangnya Rani gak kasih tahu kalau aku akan menemui kamu di sini?"
   Haduh, Rani.
   "Kamu masih seperti dulu, gak ada yang berubah."
   Seza tidak mengindahkan apa yang dikatakan lelaki yang bernama Elang itu.
   "Mana keluarga kamu?" Seza melemparkan pandangamnya ke segala penjuru ruangan.
   "Keluargaku? Aku menemui kamu di sini karena aku ingin bertemu dengan kamu sendiri."
   "Aku lebih baik pergi, sebelum ada yang melihat kita sedang berdua di sini dan menjadi ajang fitnah."
   "Seza, Inikah yang selalu kamu lakukan, pergi begitu saja? Kamu belum puas dengan apa yang telah kamu lakukan kepadaku? Pergi dariku karena alasan jarak itu sangat kekanakan."