Mohon tunggu...
Ika Oktariani
Ika Oktariani Mohon Tunggu... Bidan - Palembang, Indonesia

Blogger

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ku Kejar Mimpi Itu, Ayah!

20 Juni 2020   21:26 Diperbarui: 20 Juni 2020   21:23 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cahaya pagi telah terbit, sinarnya begitu hangat menyentuh kulitku, diatas tanah kakiku menopang, kedua bola mata masih tak lepas menatap lembaran-lembaran kertas putih yang terpampang menempel di hadapan mataku.

Aku yakin, pasti aku terpilih, pasti, ucapku membatin, Aku begitu yakin karena aku sudah melakukan hal-hal terbaikku, dan yakinku karena doa ibu dan ayah yang selalu terpanjat setiap harinya. Mataku melebar, takkala memperhatikan nama-nama yang tertulis disana. Tak puas sekali, aku mencoba mengulang kedua kali mengulik nama-nama disana. Mataku pun semakin melebar, melebar, dan melebar.

Namaku tidak tercatat di papan pengumuman, pengumuman masuk ke Perguruan Tinggi Fakultas Hukum di Universitas Favorit ku itu, airmataku mulai berlinangan, ada rasa pukulan di dada sebelah kiriku, rasanya begitu sakit, hancur sudah rasanya, harapan  besar itu tidak aku dapatkan tahun ini. Dunia sejenak terasa berhenti berputar, pikiranku mulai berterbangan, kata-kata apa yang aku harus ucapkan kepada mereka, ayah dan ibu, apalagi aku adalah anak tunggal mereka, harapan mereka, tumpuan mereka.

Pagi itu aku melihat wajah-wajah dengan rona bahagia, mereka tersenyum lalu berpelukan, lalu di sisi lain, banyak  rona wajah sama sepertiku, aku bisa menebak hal apa yang terjadi, pasti perasaan mereka sama dengan yang kurasakan. Di dadaku kembali seperti terasa ada desakan, desakan hati yang penuh gelisah, entah mengapa akupun tak tahu kapan air mata di pipiku terjatuh, segera aku beristifar, menyebut nama Rabbku, berucap untuk mendinginkan hati yang kecewa.

Kakiku pun berputar berbalik arah, pikiranku terus saja mengingat pengumuman itu, "Ya Allah, apa yang harus aku lakukan...". Kata-kata rintihanku di dalam hati.

Sambil masih beristifar, akupun mulai pulang kerumah, aku mengambil motorku yang terparkir di parkiran motor kampus, aku lalu mulai menghidupkan stater motor.

Motorku yang aku bawa mulai melaju keluar kampus, tak lama tiba-tiba aku melihat wajah yang begitu aku kenal, wajah yang selalu menjadi penyemangat ku, wajah yang selalu memberi motivasiku, dan wajah yang selalu mengajarkan kepadaku, mengajarkan bagaimana berjuang.


Aku terkejut melihat wajah-wajah itu, karena sebelumnya mereka berkata tak akan datang. Motorku aku pakirkan di depan mereka, segera akupun menghadap mereka, ayah dan ibu. Iya, mereka berada di depanku. Mata mereka menatap diriku, menatap dengan penuh harap.

Tubuhku langsung menerobos mereka, memeluk mereka berdua. Air mataku terjatuh lagi, di dalam hatiku berkata "maaf, mbak belum bisa lulus masuk ke Perguruan Tinggi, mbak belum bisa mendapatkan beasiswa untuk menjadi pengacara seperti janji mbak".

Iya, janjiku waktu kecil saat aku melihat ketidakadilan hukum kepada kakekku yang tak bersalah, yang sebenarnya adalah korban. Aku masih mengingat ayah yang  selalu berkata "kamu harus menjadi pengacara saat besar nanti!". Kata-kata itu terus saja terngiang di telingaku.


"Bagaimana nak hasilnya?" Tanya ayah dengan suaranya yang pelan kepadaku. Aku terdiam, mataku sudah berlinangan, kepalaku perlahan menggeleng, memberikan jawaban atas pertanyaannya. Ayah lalu terdiam juga, wajah ayah terlihat lesu, namun senyum masih ia lontarkan kepadaku.

Kepalaku mulai tertunduk, aku bisa merasakan kekecewaan ayah kepadaku, "Tidak apa-apa nak, semua cara terbaik sudah kamu lakukan, selanjutnya terserah kepada yang maha kuasa, karena memang apa yang kita harapkan belum tentu terbaik baginya" ucapnya, yang kemudian disusul dengan tangannya yang mengelus kepalaku. Akupun menangis.

Aku terbatuk-batuk dan beranjak bangun dari tidur, nafasku terasa sesak, mataku berair dan basah, lalu kulihat di cermin, mataku sembab, aku telah bermimpi, bermimpi bertemu almarhum ayah, iya, kejadian itu persis seperti kejadian hampir satu tahun yang lalu, aku menangis lagi, aku rindu kepada sosok ayah, sosok ayah yang bijak dan tak pernah mengeluh kepadaku, aku menangis  karena  impiannya ingin menjadikan aku seorang Pengacara belum bisa aku laksanakan.
...
Pagi harinya akupun mulai bekerja lagi, aku bekerja di salah satu Perusahaan swasta sebagai tenaga administrasi karena aku hanya mempunyai ijazah SMA, beruntung di tempatku bekerja dapat menerimaku, karena kebetulan ada salah satu pegawai administrasi yang berhenti.

Hari itu, saat aku pulang dari bekerja dan tiba di rumah, aku masuk kedalam kamar, aku membuka tasku dan mengeluarkan sebuah buku lagi, buku yang baru saja aku beli, buku itu aku tumpuk di buku jejeran lain, ya, bertumpukan. Buku yang biasa di pakai untuk anak mahasiswa-mahasiswi hukum. Aku sadar bahwa aku bukan seorang mahasiswi hukum, namun impian ayah masih akan aku kejar. Iya, sebisa mungkin uang penghasilan perbulanku aku gunakan seefisien mungkin, untuk bekalku bila nanti aku diterima masuk ke Fakultas Hukum. Selain membeli buku, sebagian gajiku juga aku serahkan kepada ibu untuk keperluan kami berdua. 

Penghasilanku memang tidak banyak, namun aku masih bisa bersyukur karena  Rabbku mencukupkan kebutuhan kami.
Kebiasaan rutinku, selesai sholat ashar aku membantu ibu menjahit dan mengantarkan pesanan jahitannya kepada pelanggannya, lalu saat setelah selesai sholat magrib, aku dan ibu mencoba membuat jilbab sebagai dagangan kami yang baru mulai ingin merintis.
Sebagai promosi pertama, aku memakai jilbab itu untuk di perkenalkan ke teman kerjaku. Hari pertama tidak ada yang membeli, dan tak ada yang tertarik, hanya ada yang bertanya saja lalu setelah itu tak jadi membeli, aku masih tak menyerah, aku berusaha menawarkan kepada orang-orang hingga membuat harga promosi, namun ternyata Rabb ku juga berkata lain, ternyata sampai hari-hari seterusnya dagangan jilbab kami tak ada yang laku, entah apa yang salah, yang aku tahu, rezeki belum sampai kepada kami.

Selepas beberapa minggu, aku pulang dari bekerja lagi. Sore itu, aku melihat dua anak jalanan berdiri di pinggiran lampu merah, yang satu gadis perempuan berhidung mancung memakai kuncir rambut, umurnya mungkin sekitar dua belas tahunan, dan satunya lagi anak laki-laki berumur sekitar enam tahunan, wajah anak laki-laki itu mirip seperti anak gadis perempuan yang berdiri di sampingnya itu, tebakanku pastilah mereka berdua adalah dua kakak beradik. Anak gadis itu lalu menadahkan telapak tangannya kepadaku, "kak, mohon bantuannya, dari pagi aku dan adikku belum makan" ucap gadis itu  kepadaku. Aku terdiam menelan ludah, sontak dalam hatikupun ada perasaan sedih, tapi mau berkata apa lagi, di sakuku hanya tersisa uang lima puluh ribu, dan itupun aku targetkan untuk jatah lima hari, yang artinya uang jajan perhariku sebesar sepuluh ribu rupiah, tanganku tetap tak beranjak, enggan untuk mengambil uang itu dari saku dan memberikannya kepada anak jalanan itu, lampu  jalanan pun berubah hijau, aku tak memperdulikan anak jalanan itu, akupun mulai menarik gas motor, dan motorku pun mulai melaju.


Sejenak tiba-tiba perasaanku mulai gundah, lubuk hati kecilku berontak, entah mengapa aku langsung memutar arah jalan yang aku tempuh, lalu berhenti di pinggiran jalan itu lagi, aku kembali lagi ke jalan tadi. Mataku memperhatikan kekiri dan kekanan, aku tak menemukan anak-anak jalanan tadi, hampir lima menit lamanya dan akhirnya karena terlalu lama menunggu, aku memutuskan untuk pulang, sesaat saat aku hendak menancap  gas motor, aku melihat anak-anak itu, mereka berlarian, mereka berdua bergandengan tangan,  mereka dikejar oleh seseorang yang sepertinya hendak marah kepada mereka berdua, hingga tak lama merekapun terjatuh dan tersungkur ketanah, kejadian itu tak jauh dari hadapanku.


"Hei dasar maling!, ayo kembalikan mie yang kalian ambil dari tokoku!!!" Ucap seorang bapak, beringasan
Mereka berdua terdiam, perlahan mata mereka memerah, dan kulihat di tangan mereka memang ada beberapa bungkus mie instan.
"Kami hanya kelaparan, kami hanya meminta hak kami" ucap gadis kecil itu yang kemudian perlahan-lahan menyerahkan mie instan yang mereka ambil itu kepada orang yang mengejar mereka.
"Kalau lapar,  jangan maling!" ucap bapak itu lagi yang lalu menempeleng kepala mereka berdua bergantian dan mengambil mie instan yang di berikan oleh anak-anak tadi.
Aku terdiam lalu hendak beranjak kearah mereka karena tak tahan melihat perlakuan bapak itu, namun niatku aku urungkan karena bapak itu sepintas melihat kearahku dengan wajahnya yang sangar. Setelah bapak itu menjauh, mereka berdua berpelukan, berpelukan sambil menangis di hadapanku, aku bisa melihat bahwa mereka memang kelaparan, bagiku sungguh perih melihat kejadian ini, kejadian yang lebih perih dari pada cerita kehidupanku.

Aku berjalan mendekati mereka berdua, aku merogoh kocekku, lalu kuberikan uang lima puluh ribu itu kepada mereka, mata mereka menatap kepadaku,  menatap dengan tatapan heran.
"Maaf kak tidak perlu" ucap anak gadis perempuan itu kepadaku.
"Tidak.. tidak apa-apa, kalian belilah makan, aku tahu kalian lapar"
"Kalau kakak memberi uang hanya karena merasa kasihan melihat kami di bentak bapak itu, lebih baik kakak ambil saja".
"Tidak, tidak begitu" ucapku yang kemudian memegang kepala mereka sambil mata yang berlinangan menahan tangis.
"Kami kelaparan kak, sebenarnya kami hanya meminta hak kami atas imbalan membantu mencuci piring seperti yang bapak itu suruh, lalu setelah kami menyelesaikan tugas kami, kami hanya meminta imbalan makan, namun bapak itu tidak mau memberikan, dan mengatakan kami mencuri, ya mungkin benar, karena kami mengambil dengan cara merampas, tapi tindakan dia apa juga di benarkan? Kami hanya meminta makan untuk adikku, aku hanya kasian kalau dia tidak makan".
"Kalau kakak tidak makan, aku juga tidak mau makan" sahut anak laki-laki itu yang berdiri disampingnya.
"Seandainya ayah dan ibu masih hidup pasti kita tidak akan seperti ini, rumah kita pasti tetap menjadi milik kita, kita pasti sekarang  bisa makan yang enak" ucap adiknya lagi.

Akupun langsung terhenyuk, drama apakah yang ada didepan mataku ini, tidak, ini bukan drama, ini sungguhan. Cerita yang penuh luka karena ketidakadilan, Perlahan akupun paham, ternyata mereka telah kehilangan kedua orang tua mereka. Merekapun juga akhirnya bercerita bahwa mereka di kirim ke panti asuhan oleh adik dari ayah mereka, lalu  harta mereka di rampas begitu saja tanpa menyisakan sisa. Namun mereka  keluar dari panti karena takut kalau salah satu dari mereka akan di adopsi. Tragis sungguh! Lagi-lagi hatiku berkata, dimanakah hukum yang adil itu?.


Kulihat Mereka berdua makan dengan lahapnya dengan uang yang aku berikan, tidak, bukan mereka berdua saja, namun kami bertiga, karena akhirnya aku menemani mereka makan dan mendengarkan cerita mereka lagi. Mendengar cerita mereka, aku benar-benar merasa gerah dengan ketidakadilan, aku ingin membantu, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa, karena aku bukan siapa-siapa.


Hampir satu jam kami bercerita, aku lalu berpamitan kepada mereka, tak lupa aku juga memberikan semangat kepada mereka agar tegar melawan kerasnya dunia, karena dunia memang seperti ini, begitu keras dan kejam, dan siapa yang yang mampu bertahan, dialah pemenangnya.
Aku melambaikan tangan kepada mereka berdua, mereka lalu berlari dan memelukku.
"Semoga rezeki kakak mengalir deras, dan semoga nanti kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan dan dalam kondisi yang lebih baik" ucap anak gadis itu.
Kepalaku mengangguk dan bibirku mengaminkan, mengaminkan setiap doa baik dari bibir mereka yang telah terdzolimi.
...


Aku pulang kerumah. Ibu berdiri di hadapanku, dimeja makan kulihat begitu banyak hidangan, aku terpaku melihatnya, dan terdiam sebentar, di benakku timbul pertanyaan, untuk apa ibu memasak hidangan yang lezat ini?, bukankah uang kemarin yang aku berikan lebih baik di tabung untuk kebutuhan lain, bukankah banyak hal yang lebih penting untuk masa-masa genting ini.
Ibu lalu memelukku, bukan hanya memeluk namun mencium pipiku juga, "Nak, jilbab kita kemarin laku di jual, dan besok kita harus membuat stok lagi karena ada orang yang meminta untuk dibuatkan lagi" ucap ibu kepadaku sambil tersenyum.
Aku terdiam, bagaimana bisa jilbab itu bisa langsung laku di jual, bagaimana ibu menjualnya hingga laku dan di pesan lagi, benakku mulai bertanya.
Namun aku tak mengatakan pertanyaan itu langsung kepada ibu, aku hanya teringat akan kuasa Rabbku, bukankah barusan tadi, aku baru saja bersedekah kepada dua kakak beradik di jalanan, aku hanya mengingat itu, "ohh ya Allah, ternyata engkau secepat itu memberikan balasan kebaikan" ucapku di dalam hati.
....


Suara deringan telfon berbunyi, aku mulai kembali keruang kerjaku, kulihat semua orang sibuk karena mendengar seseorang yang akan datang. iya, bos di kantorku akan datang, itulah pembicaraan para karyawan pagi itu.
Tak lama tampak seseorang bapak dengan memakai jas hitam datang, ia lalu berdiri tegak dihadapan kami, semua orang terdiam, semua karyawan disana langsung berdiri berjejer di depan. Auranya terasa begitu tak bersahabat, semua lalu merundukan kepala, termasuk aku yang baru  beberapa bulan bekerja.
"Ada  apa semua, mengapa diam?" Ucapnya yang kemudian tersenyum.
Aku lalu mengangkat kepalaku, lalu tersenyum kepadanya juga, membalas senyumannya.
"Jangan canggung, bapak cuma mau mengingatkan kalian, untuk setiap hari memimpin doa sebelum dan sesudah bekerja, lalu sempatkan beribadah kepada Tuhan, jangan sampai pekerjaan kita yang kita prioritaskan, karena hasil kerja yang baik di mulai dari kedekatan kita kepada Tuhan " ucapnya.
Keningku mengeryit, aku terkesimah, ternyata masih ada bos yang mempunyai pola pikir seperti ini, mengingatkan setiap karyawannya untuk bermunajat, mengaturkan doa kepada sang Pencipta dan juga memberikan waktu luang untuk beribadah.
Semua ucapannya aku dengarkan dengan baik, ucapan yang isi semuanya mengandung motivasi yang baik di kalbuku. Perlahan aku tersadar, aku teringat dengan seseorang yang berada di belakang buku yang aku beli kemarin, iya, bapak itu bukan hanya bosku tetapi juga profesor hukum yang bukunya juga aku beli, wajahnya sama persis.
"Apakah ada anak tamatan sarjana hukum disini?" Tanya bapak itu kepada kami semua.
Semua orang menggeleng termasuk aku juga. Seandainya aku mahasiswa hukum, setidaknya aku akan mengangkat tanganku dan memberitahu bahwa aku sedang mengambil dan belum bergelar. Seandainya.


"Ada apa memangnya pak?" Tanya seseorang kepada bapak itu yang sebenarnya juga mewakili pertanyaanku.
"Tidak apa-apa" ucap bapak itu lalu tersenyum lagi. "Bapak hanya ingin menitip pesan, jangan jadikan dunia sebagai cita-cita, namun jadikanlah akhirat sebagai tujuan utamanya, jadilah orang yang bisa berlaku adil, dan jangan mempermainkan hukum, karena pertanggung jawabannya nanti di akhirat"
"Iya aku setuju pak!" ucapku spontan
Bapak itu lalu menatapku, "kamu dari sarjana hukum?"
Kepalaku lalu menggeleng "bukan pak, saya hanya tamatan SMA"lisanku bersuara lalu tersenyum,  namun dari dalam hatiku berkata "itu impianku pak!".

...
Aku pulang dari bekerja sore itu, seperti biasa akupun membantu ibu mengantarkan pesanan untuk pelanggannya, aku juga mengantarkan pesanan jilbab yang di pesan oleh beberapa pelanggan ibu. Alhamdulilah walaupun sedikit-sedikit, setidaknya itu bisa menambah keuangan kami yang sempat menurun.

Setelah aku mengantarkan pesanan pelanggan ibu, aku lalu mampir di pinggir jalan lampu merah lagi, tempat aku bertemu dua kakak beradik jalanan itu, aku ingin sekali bertemu mereka dan memberikan makanan kepada mereka.
"Siang kak" ucapku menyapa seorang tukang parkir.
"Iya ada apa dek?"
"Maaf boleh numpang bertanya?"
"Iya silakan"
"Kakak lihat dua anak kecil kakak beradik yang pernah berkeliaran disini?, satunya perempuan dan adiknya seorang anak laki-laki"
"Ohh dua kakak beradik itu, mereka sudah tak berada di sana lagi dek, mereka pergi karena ada  beberapa preman yang selalu memanfaatkan  mereka"
Aku terdiam dan menelan ludah. "Kakak tahu mereka pergi kemana?"
"Tidak tahu dek, semenjak kejadian itu mereka sudah lama tidak kelihatan lagi"
Kepala ku hanya mengangguk mendengar pernyataan kakak itu, aku tak bisa berbuat apa-apa, aku hanya menyesal mengapa aku tidak mengajak mereka untuk tinggal dirumah, aku merasa kasihan sekali, aku hanya bisa mendoakan semoga dimanapun mereka berada, mereka dalam keadaan baik-baik saja.
...


Aku bergegas pulang, segera aku melihat pengumuman hasil ujianku, perlahan aku membuka link kemarin.
Mataku melebar, mulutku mengangah, lalu  bibirku mulai menjerit kencang, "ibuuuuuuuuuuu..." ucapku. Namaku bertengger di urutan nomor satu terdaftar di Universitas Indonesia, aku juga mendapatkan beasiswa selama kuliah. aku berteriak kegirangan, ibu yang mendengar teriakanku langsung masuk kekamarku, aku langsung memeluknya dan menciumnya, ibu hanya bingung, namun bibirnya tersenyum mengembang.


"Aku lulus Bu, aku lulus Bu, cita-cita ayah akan aku jalankan!" ucapku sambil bergelinangan air mata. Ibu terdiam, ia hanya tersenyum kepadaku lalu merangkulku begitu erat. Aku tahu walau ia tidak mengungkapkan ucapan apapun, aku tahu bahwa ia begitu terharu. 

Ibu benar-benar tahu bagaimana kegiatanku untuk bisa masuk ke Perguruan Tinggi, selama aku belum masuk kuliah, dan selama itu pula aku harus bekerja dengan keras, dari pagi hingga sore hari bekerja di kantor, lalu sesampai di rumah aku membantu mengantarkan pesanan jahitan ibu, hingga malamnya aku harus mengulang pelajaran sekolahku sewaktu SMA, aku juga mencoba mempelajari buku-buku yang aku beli dengan uang ku sendiri, buku yang semuanya bertema tentang hukum, kegiatan seperti itu hampir tiap hari aku lakukan, hanya saja hari minggu yang aku sisakan, yang sebenarnya  juga aku gunakan untuk belajar bahasa asing, aku pergi ke tempat para turis banyak berdatangan, aku hanya mencoba mengasah kemampuan bahasa inggrisku yang pas-pasan agar bisa lebih baik.
...


Pagi-pagi sekali aku pergi ke TPU, tempat pemakaman ayah, aku ditemani oleh ibu dengan membawa bunga yang kami beli di pinggiran jalan.
"Ayah, maaf hari ini mbak baru bisa datang, kemarin-kemarin mbak malu karena impian ayah belum bisa mbak  jalankan, namun semalam, mungkin itu adalah jawaban dari doa-doa ayah, mbak lulus di UI dan mendapatkan beasiswa, ayah terima kasih, insyaallah mbak akan menjadi kebanggaan ayah, tetap tersenyum di sana ayah, dan tetap doakan mbak agar bisa sukses dan bisa membantu ibu" ucapku yang kemudian menangis di pusara ayah. Ibu mengelus kepalaku menegarkan. Ibu juga ingin menangis, namun terlihat tertahan.


"Kakak.." tegur seseorang kepadaku, aku terkejut, aku sangat mengenal suara itu, suara yang pernah aku temui di pinggiran jalan, iya, kulihat dua kakak beradik berdiri di hadapanku, aku  lalu berdiri, lalu berlari dan memeluk mereka berdua, ibu bingung melihat kami berpelukan, karena ia tak mengenal dua orang yang aku peluk itu, dua kakak beradik itu lalu menangis, mereka terisak menangis kepadaku, sambil menunjuk kesebelah kiri, memberi isyarat kepada ku.
"Ada apa disana sayang?" Ucapku sambil mengelus wajah mereka yang terlihat sudah bersih tidak seperti awal bertemu kemarin.
"Ayah dan ibu di kuburkan disana" ucap gadis mungil itu.
 Aku terhenyuk dan langsung memeluk mereka erat, menenangkan mereka yang sekarang menangis didepanku, walau sebelumnya aku juga seperti mereka, bergejolak pahit dengan kenyataan, perlahan tangisan merekapun meredah, lalu baru kusadar ada seseorang bapak yang berdiri di belakang mereka, menggiring mereka ke pemakaman, bapak yang sebenarnya juga tak asing bagiku itu, bapak itu sempat mengeryitkan keningnya mencoba mengingat aku. Aku kaget lalu juga tersenyum membala senyum bapak itu, perlahan aku melepas pelukanku kepada adik-adik itu, lalu aku segera mendekat bapak itu, menyalami beliau, 

"Pak, ini putri yang bekerja di kantor bapak" ucapku memperkenalkan namaku kepada bapak itu, bapak itu baru tersadar bahwa aku adalah salah seorang karyawannya.

"Oh iya" bapak itu menjabat tangannya kepadaku
"Om, kakak ini yang memberi makan kepada kami beberapa hari yang lalu" ucap adik itu kepada bosku yang berdiri didepan ku. Iya, dia adalah bosku.
"Kamu?" Tanyanya heran yang kemudian tersenyum.
Akupun mengangguk
 "Terima kasih nak, ini adalah anak dari teman bapak, kedua orang tua mereka telah meninggal karena kecelakaan beberapa bulan yang lalu, namun beliau pernah berpesan dan membuat wasiat kepada bapak agar bapak dapat menjaga kedua anaknya bila seandainya terjadi sesuatu terhadap mereka".


"Allahuakbar!" ucapku yang lalu memegang tangan dua kakak beradik itu,  aku begitu senang ternyata masih ada orang yang berhati baik dan jujur seperti bapak yang berdiri di depanku ini. Dia bukan hanya bosku tapi juga panutanku yang layak di jadikan contoh.
"Kak, om ini juga yang membantu kami mendapatkan warisan ayah kembali" ucap anak gadis perempuan itu lagi  yang tersenyum menyeringai.
"MasyaAllah" ucapku, Aku terkejut mendengarnya, ternyata kuasa Allah begitu dekat. Aku baru tersadar, teringat dengan doa mereka kemarin.
"Semoga bila kita bertemu, kita berada dalam keadaan yang lebih baik"
Ya, aku mengingat kata-kata itu, aku menitikkan air mataku lagi, aku percaya dengan kekuatan doa, juga usaha keras. Aku juga percaya semua ada campur tangan Rabb.
Aku lalu memeluk mereka lagi, aku juga menangis haru untuk mereka, benar-benar kuasa Allah itu dekat. Kami memang bertemu dalam keadaan yang lebih baik, aku diterima di universitas UI,  ibu dan aku juga mulai merintis bisnis jilbab dan pakaian, lalu dua kakak beradik yang aku temui di jalan itupun telah mendapatkan haknya, haknya yang di bantu oleh seorang pengacara yang juga bosku, ya bapak panutanku juga, bapak yang juga menjadi inspirasiku untuk terus mengukir kebaikan dan prestasi.

Aku tersenyum bahagia, antara mimpi dan doa itu begitu dekat, seperti halnya doa anak-anak ini yang di ijabah oleh Allah. Dan sebentar lagi mimpiku itu juga sudah berada di pelupuk mata, mimpiku untuk menjadi seorang penegak keadilan, aku akan tetap semangat, semangat untuk menimbah ilmu,  jiwakupun makin menggelora, seiring ingatanku kepada ayah, akan aku buat ia bangga, akan aku buat ia tersenyum disana, dengan bekal ilmuku nanti, bekal ilmu yang semoga bukan berguna di dunia saja, namun di alam selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun