Mohon tunggu...
Ika Oktariani
Ika Oktariani Mohon Tunggu... Bidan - Palembang, Indonesia

Blogger

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ku Kejar Mimpi Itu, Ayah!

20 Juni 2020   21:26 Diperbarui: 20 Juni 2020   21:23 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Aku pulang kerumah. Ibu berdiri di hadapanku, dimeja makan kulihat begitu banyak hidangan, aku terpaku melihatnya, dan terdiam sebentar, di benakku timbul pertanyaan, untuk apa ibu memasak hidangan yang lezat ini?, bukankah uang kemarin yang aku berikan lebih baik di tabung untuk kebutuhan lain, bukankah banyak hal yang lebih penting untuk masa-masa genting ini.
Ibu lalu memelukku, bukan hanya memeluk namun mencium pipiku juga, "Nak, jilbab kita kemarin laku di jual, dan besok kita harus membuat stok lagi karena ada orang yang meminta untuk dibuatkan lagi" ucap ibu kepadaku sambil tersenyum.
Aku terdiam, bagaimana bisa jilbab itu bisa langsung laku di jual, bagaimana ibu menjualnya hingga laku dan di pesan lagi, benakku mulai bertanya.
Namun aku tak mengatakan pertanyaan itu langsung kepada ibu, aku hanya teringat akan kuasa Rabbku, bukankah barusan tadi, aku baru saja bersedekah kepada dua kakak beradik di jalanan, aku hanya mengingat itu, "ohh ya Allah, ternyata engkau secepat itu memberikan balasan kebaikan" ucapku di dalam hati.
....


Suara deringan telfon berbunyi, aku mulai kembali keruang kerjaku, kulihat semua orang sibuk karena mendengar seseorang yang akan datang. iya, bos di kantorku akan datang, itulah pembicaraan para karyawan pagi itu.
Tak lama tampak seseorang bapak dengan memakai jas hitam datang, ia lalu berdiri tegak dihadapan kami, semua orang terdiam, semua karyawan disana langsung berdiri berjejer di depan. Auranya terasa begitu tak bersahabat, semua lalu merundukan kepala, termasuk aku yang baru  beberapa bulan bekerja.
"Ada  apa semua, mengapa diam?" Ucapnya yang kemudian tersenyum.
Aku lalu mengangkat kepalaku, lalu tersenyum kepadanya juga, membalas senyumannya.
"Jangan canggung, bapak cuma mau mengingatkan kalian, untuk setiap hari memimpin doa sebelum dan sesudah bekerja, lalu sempatkan beribadah kepada Tuhan, jangan sampai pekerjaan kita yang kita prioritaskan, karena hasil kerja yang baik di mulai dari kedekatan kita kepada Tuhan " ucapnya.
Keningku mengeryit, aku terkesimah, ternyata masih ada bos yang mempunyai pola pikir seperti ini, mengingatkan setiap karyawannya untuk bermunajat, mengaturkan doa kepada sang Pencipta dan juga memberikan waktu luang untuk beribadah.
Semua ucapannya aku dengarkan dengan baik, ucapan yang isi semuanya mengandung motivasi yang baik di kalbuku. Perlahan aku tersadar, aku teringat dengan seseorang yang berada di belakang buku yang aku beli kemarin, iya, bapak itu bukan hanya bosku tetapi juga profesor hukum yang bukunya juga aku beli, wajahnya sama persis.
"Apakah ada anak tamatan sarjana hukum disini?" Tanya bapak itu kepada kami semua.
Semua orang menggeleng termasuk aku juga. Seandainya aku mahasiswa hukum, setidaknya aku akan mengangkat tanganku dan memberitahu bahwa aku sedang mengambil dan belum bergelar. Seandainya.


"Ada apa memangnya pak?" Tanya seseorang kepada bapak itu yang sebenarnya juga mewakili pertanyaanku.
"Tidak apa-apa" ucap bapak itu lalu tersenyum lagi. "Bapak hanya ingin menitip pesan, jangan jadikan dunia sebagai cita-cita, namun jadikanlah akhirat sebagai tujuan utamanya, jadilah orang yang bisa berlaku adil, dan jangan mempermainkan hukum, karena pertanggung jawabannya nanti di akhirat"
"Iya aku setuju pak!" ucapku spontan
Bapak itu lalu menatapku, "kamu dari sarjana hukum?"
Kepalaku lalu menggeleng "bukan pak, saya hanya tamatan SMA"lisanku bersuara lalu tersenyum,  namun dari dalam hatiku berkata "itu impianku pak!".

...
Aku pulang dari bekerja sore itu, seperti biasa akupun membantu ibu mengantarkan pesanan untuk pelanggannya, aku juga mengantarkan pesanan jilbab yang di pesan oleh beberapa pelanggan ibu. Alhamdulilah walaupun sedikit-sedikit, setidaknya itu bisa menambah keuangan kami yang sempat menurun.

Setelah aku mengantarkan pesanan pelanggan ibu, aku lalu mampir di pinggir jalan lampu merah lagi, tempat aku bertemu dua kakak beradik jalanan itu, aku ingin sekali bertemu mereka dan memberikan makanan kepada mereka.
"Siang kak" ucapku menyapa seorang tukang parkir.
"Iya ada apa dek?"
"Maaf boleh numpang bertanya?"
"Iya silakan"
"Kakak lihat dua anak kecil kakak beradik yang pernah berkeliaran disini?, satunya perempuan dan adiknya seorang anak laki-laki"
"Ohh dua kakak beradik itu, mereka sudah tak berada di sana lagi dek, mereka pergi karena ada  beberapa preman yang selalu memanfaatkan  mereka"
Aku terdiam dan menelan ludah. "Kakak tahu mereka pergi kemana?"
"Tidak tahu dek, semenjak kejadian itu mereka sudah lama tidak kelihatan lagi"
Kepala ku hanya mengangguk mendengar pernyataan kakak itu, aku tak bisa berbuat apa-apa, aku hanya menyesal mengapa aku tidak mengajak mereka untuk tinggal dirumah, aku merasa kasihan sekali, aku hanya bisa mendoakan semoga dimanapun mereka berada, mereka dalam keadaan baik-baik saja.
...


Aku bergegas pulang, segera aku melihat pengumuman hasil ujianku, perlahan aku membuka link kemarin.
Mataku melebar, mulutku mengangah, lalu  bibirku mulai menjerit kencang, "ibuuuuuuuuuuu..." ucapku. Namaku bertengger di urutan nomor satu terdaftar di Universitas Indonesia, aku juga mendapatkan beasiswa selama kuliah. aku berteriak kegirangan, ibu yang mendengar teriakanku langsung masuk kekamarku, aku langsung memeluknya dan menciumnya, ibu hanya bingung, namun bibirnya tersenyum mengembang.


"Aku lulus Bu, aku lulus Bu, cita-cita ayah akan aku jalankan!" ucapku sambil bergelinangan air mata. Ibu terdiam, ia hanya tersenyum kepadaku lalu merangkulku begitu erat. Aku tahu walau ia tidak mengungkapkan ucapan apapun, aku tahu bahwa ia begitu terharu. 

Ibu benar-benar tahu bagaimana kegiatanku untuk bisa masuk ke Perguruan Tinggi, selama aku belum masuk kuliah, dan selama itu pula aku harus bekerja dengan keras, dari pagi hingga sore hari bekerja di kantor, lalu sesampai di rumah aku membantu mengantarkan pesanan jahitan ibu, hingga malamnya aku harus mengulang pelajaran sekolahku sewaktu SMA, aku juga mencoba mempelajari buku-buku yang aku beli dengan uang ku sendiri, buku yang semuanya bertema tentang hukum, kegiatan seperti itu hampir tiap hari aku lakukan, hanya saja hari minggu yang aku sisakan, yang sebenarnya  juga aku gunakan untuk belajar bahasa asing, aku pergi ke tempat para turis banyak berdatangan, aku hanya mencoba mengasah kemampuan bahasa inggrisku yang pas-pasan agar bisa lebih baik.
...


Pagi-pagi sekali aku pergi ke TPU, tempat pemakaman ayah, aku ditemani oleh ibu dengan membawa bunga yang kami beli di pinggiran jalan.
"Ayah, maaf hari ini mbak baru bisa datang, kemarin-kemarin mbak malu karena impian ayah belum bisa mbak  jalankan, namun semalam, mungkin itu adalah jawaban dari doa-doa ayah, mbak lulus di UI dan mendapatkan beasiswa, ayah terima kasih, insyaallah mbak akan menjadi kebanggaan ayah, tetap tersenyum di sana ayah, dan tetap doakan mbak agar bisa sukses dan bisa membantu ibu" ucapku yang kemudian menangis di pusara ayah. Ibu mengelus kepalaku menegarkan. Ibu juga ingin menangis, namun terlihat tertahan.


"Kakak.." tegur seseorang kepadaku, aku terkejut, aku sangat mengenal suara itu, suara yang pernah aku temui di pinggiran jalan, iya, kulihat dua kakak beradik berdiri di hadapanku, aku  lalu berdiri, lalu berlari dan memeluk mereka berdua, ibu bingung melihat kami berpelukan, karena ia tak mengenal dua orang yang aku peluk itu, dua kakak beradik itu lalu menangis, mereka terisak menangis kepadaku, sambil menunjuk kesebelah kiri, memberi isyarat kepada ku.
"Ada apa disana sayang?" Ucapku sambil mengelus wajah mereka yang terlihat sudah bersih tidak seperti awal bertemu kemarin.
"Ayah dan ibu di kuburkan disana" ucap gadis mungil itu.
 Aku terhenyuk dan langsung memeluk mereka erat, menenangkan mereka yang sekarang menangis didepanku, walau sebelumnya aku juga seperti mereka, bergejolak pahit dengan kenyataan, perlahan tangisan merekapun meredah, lalu baru kusadar ada seseorang bapak yang berdiri di belakang mereka, menggiring mereka ke pemakaman, bapak yang sebenarnya juga tak asing bagiku itu, bapak itu sempat mengeryitkan keningnya mencoba mengingat aku. Aku kaget lalu juga tersenyum membala senyum bapak itu, perlahan aku melepas pelukanku kepada adik-adik itu, lalu aku segera mendekat bapak itu, menyalami beliau, 

"Pak, ini putri yang bekerja di kantor bapak" ucapku memperkenalkan namaku kepada bapak itu, bapak itu baru tersadar bahwa aku adalah salah seorang karyawannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun