Mohon tunggu...
Ika nur setiyawati
Ika nur setiyawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis amatiran merangkap sebagai job seeker

Hanya ingin berbagi pengalaman ketika berjuang untuk kuliah di Jepang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Perjuangan Kuliah di Jepang (1): Hidup Nomaden di Tokyo

26 Mei 2022   07:05 Diperbarui: 27 Mei 2022   03:00 1190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jepang - Area bernama Sawara di Prefektur Chiba yang menawarkan suasana khas periode Edo.(SHUTTERSTOCK/PixHound)

Kuliah di luar negeri adalah salah satu impian saya. Sebetulnya, mimpi saya itu tinggi, dulu saya ingin kuliah di Eropa. Tapi, karena saya sadar kalau saya lemah dalam penguasaan bahasa Inggris, akhirnya saya downgrade mimpi saya itu. Tujuannya bukan lagi Eropa tapi jadi negeri sakura.

Jalur pertama yang saya pilih tentunya jalur beasiswa yang  mengharuskan kita melampirkan hasil score TOEFL dan semacamnya. 

Setelah dua kali mengikuti tes bahasa Inggris, score saya masih juga rendah. Tentu membuat saya kecewa dan kecil hati. 

Di tengah kekecewaan itu, saya browsing dan baca berbagai artikel tentang bagaimana tips untuk survive dan kuliah di luar negeri. 

Ada satu artikel yang menarik perhatian saya, diceritakan bahwa ada satu mahasiswa Indonesia yang berhasil kuliah S2 sampai dengan S3 di Jepang hanya bermodalkan biaya mandiri. Maksudnya, tanpa beasiswa juga tanpa support dari orangtua. 

Setelah membaca artikel tersebut, saya seperti diberi suntikan energi untuk berani kuliah di Jepang dengan biaya mandiri. Juga, dengan membawa sedikit pengharapan untuk bisa mendapatkan beasiswa setelah nanti saya berada di Jepang.

Kesempatan kuliah di Jepang

Singkat cerita, pada tahun 2016 saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program Research Student di Kokushikan University selama satu tahun. 

Ketika itu, saya pergi dengan membawa uang  kurang lebih 25 juta rupiah. Itupun hasil dari pinjaman sana-sini: sanak saudara, kerabat, hingga dosen ketika di S1 dulu.

Dengan jumlah uang saku tersebut, saya sangat kesulitan untuk bisa hidup di negeri orang. Karena berdasarkan informasi yang saya dapat dari beberapa senior, paling tidak kita harus membawa uang saku sebesar 60 juta rupiah sebagai modal awal hidup di Jepang. 

Dengan modal tersebut, kita nantinya bisa menyewa apaato (kosan) di baik di kota Tokyo ataupun dipinggiran, juga sebagai modal awal ketika kita belum mendapatkan pekerjaan di periode awal kedatangan.

Lalu, di mana saya akan tinggal selama satu tahun ke depan?

Rooftop 

Beruntungnya, saya mendapat tumpangan untuk tinggal bersama senior saya. Ketika itu, kita belum pernah ketemu satu sama lain sebelumnya. 

Ketika saya baru sampai Jepang, di situ pula kita baru pertama kali bertemu. Pengenalan yang sangat singkat, tapi beliau dengan besar hati menerima saya, meskipun keberadaan saya di apaato beliau bisa disebut ilegal.

Pada umumnya, apaato di Tokyo menerapkan kebijakan di mana satu apaato hanya bisa dihuni oleh satu orang. Jadi jangan heran jika bangunannya tidak luas, karena memang di design untuk satu orang. 

Namun, ada beberapa jenis apaato yang menyediakan ruang kecil seperti rooftop di dalamnya. Fungsinya, sebagai gudang atau tempat menyimpan perabotan. 

Tingginya kurang dari 1 meter. Sehingga, untuk berdiri pun tidak bisa. Paling mentok, kita hanya bisa rebahan ataupun duduk. Di tempat inilah saya harus tinggal.

Pada saat itu, cuaca sedang tidak begitu dingin. Suhu rata-rata kurang lebih 10 derajat celcius. Ketika itu Jepang sedang mengalami musim semi (perpindahan dari musim dingin ke musim panas). 

Bagi saya yang baru pertama kali merasakan empat musim, cuaca ketika itu sungguh terasa dingin. Apalagi, di rooftop terdapat ventilasi yang cukup panjang. Panjangnya melebihi satu badan saya (lebih dari 150 cm). Pas sekali udara dingin langsung menjalar masuk ke seluruh tubuh. Padahal, saya sudah memakai baju double dan dilapisi selimut. 

Asisten Rumah Tangga

Kurang lebih tiga bulan saya tinggal di apaato beliau, sampai akhirnya saya harus pindah ke rumah salah satu pejabat BUMN di pusat kota Tokyo. Sangat senang sebenarnya karena dapat tempat baru, tapi berpindah-pindah di Jepang sangat melelahkan. 

Pertama, karena jarak dari apaato sampai ke tempat tinggal baru cukup jauh, saya harus berkali-kali ganti kereta. 

Kedua, kondisi jalanan dari apaato menuju stasiun terdekat berbukit-bukit. Mau gak mau, saya harus menggeret-geret koper yang beratnya lebih dari 60 kg bahkan saya juga harus berulang kali menggotong-gotong koper yang berat itu karena harus naik turun tangga. Benar-benar saya merasakan kelelahan.  

Di tempat tinggal yang baru, akhirnya saya bisa mendapatkan kamar sendiri. Kamarnya sangat luas, dengan kasur yang besar dan dilengkapi penghangat ruangan. Rumahnya juga besar bahkan terkesan lebih besar daripada rumah orang Jepang pada umumnya.

Di rumah baru ini, saya bertugas mencuci, mengepel, memasak, dan menyetrika. Sama seperti aktivitas asisten rumah tangga pada umumnya, tapi yang jadi pembeda itu saya bisa melakukan semua aktivitas tersebut disela-sela waktu perkuliahan saya, misalnya sekitar subuh sebelum berangkat ke kampus atau malam hari sebelum tidur.

Rent for free

Saya sangat beruntung bisa jadi bagian dari keluarga beliau. Sampai ketika, beliau harus kembali ke Indonesia. Dan saya harus segera mencari tempat tinggal baru (lagi). 

Namun kali ini, saya sudah mempunyai modal yang cukup untuk tinggal di shared house. Setelah beberapa bulan mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dari hasil kerja sebagai asisten rumah tangga dan kerja part time lainnya.

Akhirnya, dapatlah shared house yang lokasinya jauh dari pusat kota Tokyo. Memerlukan waktu sekitar hampir satu jam. Beruntungnya, saya adalah tipe orang yang sederhana. Tidak banyak baju yang saya bawa, bahkan tidak ada satu pun skin care yang saya gunakan kecuali facial wash. Sehingga, dari awal saya datang ke Jepang saya hanya membawa satu koper. Paling yang membuatnya menjadi lebih berat itu karena ada laptop dan juga buku-buku didalamnya.

Total dua kali saya pindah tempat tinggal. Tapi, saya masih juga belum bisa bersahabat dengan itu, tangan saya masih pegal meskipun hanya mendorong satu koper.

Kali ini, teman serumah saya adalah wanita muda yang umurnya beberapa tahun lebih tua diatas saya. Beliau bekerja di sektor pelayanan dan sudah lebih dari lima tahun menetap di Tokyo. 

Sebelum saya memutuskan untuk pindah, sebetulnya kami telah membuat perjanjian dan peraturan, salah satunya mengenai biaya sewa. Namanya juga shared house, biaya apapun kita bagi dua. Dan saya pun menyanggupinya, melihat ketika itu kondisi saya sudah lebih settle. Saya mempunyai beberapa pekerjaan part-time yang nyaman dengan penghasilan yang cukup tinggi.

Setelah satu bulan berlalu, saya mengalami keberuntungan (lagi), biaya sewa yang kita sepakati diawal, beliau gratiskan. Entah apa motivasi beliau sebenarnya, tapi pada intinya saya dibebaskan dari pembayaran biaya sewa. Namun karena saya malu dan tidak ingin menjadi beban beliau, sebagai gantinya, saya pun terkadang membayar biaya listrik, gas (kalau tidak keduluan beliau atau struk tagihan beliau sembunyikan), dan membeli beberapa kebutuhan sehari-hari yang sering kita gunakan untuk memasak.

Aktivitas saya di fase-fase ini sangat padat. Baik weekdays ataupun weekend, saya harus berangkat bekerja dari jam 4 subuh karena harus mengejar kereta pagi dan sampai di rumah lagi sekitar jam 12 malam. 

Lagi-lagi, di momen ini saya merasa beruntung karena beliau tidak merasa terganggu dengan aktivitas yang saya lakukan di mana terkadang sekitar jam 3.30 dini hari dan jam 12 malam saya seringkali membuat kebisingan di dapur karena saya harus menyiapkan sarapan dan  lunch, bahkan makan malam.

Pengalaman satu tahun saya di Jepang ini sangat begitu berharga. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh saya bahwa saya harus mengalami berbagai banyak peristiwa yang menguras air mata. Tapi juga tak jarang banyak sekali keberuntungan yang saya rasakan dalam perjalanan ini.

Bagi teman-teman yang sedang mencari informasi tentang bagaimana rasanya kuliah di luar negeri dengan biaya mandiri, pengalaman saya ini mungkin bisa kalian jadikan salah satu bahan renungan bahwa inilah potret yang sebenarnya terjadi ketika kita memilih jalur ini. Double struggle harus, mental baja sangat perlu. Intinya harus percaya, kalau "sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan". Dan yang terpenting lagi, teman-teman juga harus kuatkan niat dan ikhlas menjalani apapun yang akan terjadi selama dirantau.

Pada tulisan selanjutnya, saya akan berbagi cerita tentang bagaimana cara saya mendapatkan pekerjaan part-time dan pekerjaan apa saja yang pernah saya lakukan selama di Jepang. 

Salam semangat!

*Kisah ini juga telah saya bagikan di kanal YouTube "Ika Nur setiyawati"


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun