Tentu saja pemerintah bisa bersilat lidah bagaimanapun caranya agar draft ini goal dengan alasan utama investasi dan menaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen-yaelah.Â
Alasan pemerintah sebenarnya banyak dan cukup bahkan lebih dari segudang terhadap draft tersebut. Alasan tersebut antara lain: Pertama, Penciptaan lapangan kerja berkualitas (sebanyak 2,7-3 juta) beserta peningkatan kompetensi, Kedua, Peningkatan produktivitas, Ketiga, peningkatan investasi untuk peningkatan daya beli dan mendorong peningkatan konsumsi (Kompas, 19/02/2020).
Sepertinya apabila alasan investasi menjadi salah satu alasan utama dalam penyusunan draft ini, hampir dapat dipastikan pemerintah masih terjebak pada suatu ideologi pembangunan yang dinamakan developmentalisme.Â
Dimana pembangunan negara seperti Indonesia ini dapat dicapai dengan sepenuhnya bergantung pada pemanfaatan sumber daya oleh negara luar terutama negara yang kapitalistis. Bahkan pemanfaatan sumber daya alam ini juga seringkali melupakan aspek lingkungan (Fakih, 2011).
Apabila melihat terminologi developmentalisme tersebut tidak heran draft omnibus juga dikatakan melupakan aspek lingkungan. Kekhawatiran soal aspek lingkungan tersebut bukan tanpa alasan.Â
Pasalnya, ada tanda-tanda pemerintah membuka keran investasi dan menyederhanakan berbagai izin tanpa mempertimbangkan lingkungan. Kecurigaan lainnya terlihat dari rencana penghapusan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari syarat sebuah proyek (Asumsi, 16/01/2020).
Diluar kekhawatiran terhadap aspek lingkungan tersebut, kita kembali lagi pada alasan yang dikemukakan terkait pengesahan draft omnibus law ini. Sebelumnya dengan alasan harapan pertumbuhan ekonomi sebesar enam persen tersebut bagi saya adalah hal yang mengada-ngada.Â
Karena masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tanpa adanya omnibus tersebut pun mampu mencapai enam persen dalam beberapa waktu sebelum digantikan oleh masa pemerintahan Joko Widodo.
Kemudian apabila ingin menaikkan pertumbuhan ekonomi sementara upah buruh ditentukan oleh gubernur dengan besaran yang sama bisa jadi adalah sebuah paradoks, karena gubernur bisa saja mematok jumlah upah terendah sehingga berakibat pada kesejahteraan di daerah dengan upah yang sudah tinggi.
Daripada pemerintah mengurusi omnibus law yang juntrungannya akan tidak jelas itu lebih baik fokus pada penambahan aturan lama dimana pengusaha diharuskan secara berkala meningkatkan kompetensi karyawannya. Hal tersebut lebih dari sekedar peningkatan kemampuan tetapi agar karyawan tersebut setelah tidak bekerja bisa membuka usaha sendiri.
Lebih aneh lagi apabila pemerintah ingin menambah produktivitas dengan disahkannya draft tersebut. Seharusnya pemerintah berkaca apabila ingin meningkatkan produktivitas ya kurangi bahkan kalau bisa hentikan ekspor bahan mentah.Â