Mohon tunggu...
Ikang Maulana
Ikang Maulana Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Mahasiswa FISIP Undip Semarang yang tengah berusaha membangun budaya literasi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ribut RUU Cipta Kerja yang Berpotensi Cilaka

6 Maret 2020   18:38 Diperbarui: 6 Maret 2020   18:46 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa bulan terakhir ini sepertinya tidak ada yang lebih bikin meresahkan dibandingkan dengan apa yang telah dikerjakan pemerintah. Setelah sekitar akhir Bulan September 2019 sudah bikin resah masyarakat dengan pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK dan KUHP hingga membuat demonstrasi besar-besaran yang merembet hampir di setiap wilayah di Indonesia pada bulan yang sama. Meskipun yang berhasil menjadi undang-undang hanya RUU KPK namun dampaknya terasa seperti kasus Harun Masiku.

Belum juga reda amarah masyarakat akibat dua RUU ternyata pemerintah belum mau juga insyaf dengan membuat kekagetan baru dan potensi gejolak yang lain dengan membuat omnibus law. 

Bisa dikatakan omnibus law ini merupakan yang melingkupi lintas sektor sehingga dengan disahkannya aturan ini dapat mengamandemen beberapa UU sekaligus. Omnibus Law yang saat ini sedang dirancang memuat tiga hal yang disasar pemerintah, yaitu UU perpajakan, cipta lapangan kerja dan Pengembangan UMKM (Kompas, 18/02/2020).

Dari tiga sasaran itu saya hanya akan membahas soal cipta lapangan kerja (cilaka) yang saat ini benar-benar menjadi sorotan dan berpotensi menimbulkan keresahan baru. 

Apa yang dapat diresahkan dalam RUU cilaka ini ? Pertama, upah minimum kabupaten atau kota terancam hilang, Kedua, besaran pesangon PHK berkurang, Ketiga, Hapus cuti haid bagi perempuan, Keempat, Nasib out0sourcing semakin tidak jelas, Kelima, pegawai bisa dikontrak seumur hidup (Tempo, 15/02/2020.

Dari masalah tersebut hanya akan ada beberapa masalah yang dibahas. Pertama dengan hilangnya UMK tersebut praktis penetapan upah akan dilakukan oleh gubernur sesuai pasal 88C draft tersebut. 

Tentu hal ini akan sangat merugikan pekerja karena setiap wilayah memiliki biaya hidup yang beragam. Apabila diberlakukan bisa saja dalam satu provinsi memiliki jumlah upah yang sama, padahal biaya hidup di Karawang dengan UMK sebesar Rp 4.594.324,54 berbeda dengan Kota Banjar dengan UMK Rp1.831.884,83 (Liputan6, 19/11/2019).

Kedua nasib outsourcing akan semakin tidak jelas. Draft ini jelas akan menghapus pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan yang akan membuat jaminan hukum, perlindungan dan keamanan antara pekerja dengan pengusaha tidak dapat dipenuhi. Ketiga yang tidak kalah parah dengan adanya draft UU ini jelas akan membuat pengusaha bertindak dengan semena-mena dengan memberikan kontrak seumur hidup kepada pekerja. 

Hal ini lagi-lagi dampak apabila Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan digantikan oleh draft tersebut. Padahal pada pasal 59 UU Ketenagakerjaan tersebut mengatur tentang aturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Di antaranya berisi ketentuan PKWT hanya boleh dilakukan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.

Tidak Jauh dari Dalih Pemerintah

Meskipun sudah banyak ditolak baik oleh beberapa serikat buruh, protes dari gerakan mahasiswa serta entitas lainnya yang disebut akan membuat cilaka sesuai namanya, nyatanya pemerintah masih tetap berdalih draft ini penting dan diharapkan bisa diselesaikan dalam 100 hari (Mojok, 20/01/2020).

Tentu saja pemerintah bisa bersilat lidah bagaimanapun caranya agar draft ini goal dengan alasan utama investasi dan menaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen-yaelah. 

Alasan pemerintah sebenarnya banyak dan cukup bahkan lebih dari segudang terhadap draft tersebut. Alasan tersebut antara lain: Pertama, Penciptaan lapangan kerja berkualitas (sebanyak 2,7-3 juta) beserta peningkatan kompetensi, Kedua, Peningkatan produktivitas, Ketiga, peningkatan investasi untuk peningkatan daya beli dan mendorong peningkatan konsumsi (Kompas, 19/02/2020).

Sepertinya apabila alasan investasi menjadi salah satu alasan utama dalam penyusunan draft ini, hampir dapat dipastikan pemerintah masih terjebak pada suatu ideologi pembangunan yang dinamakan developmentalisme. 

Dimana pembangunan negara seperti Indonesia ini dapat dicapai dengan sepenuhnya bergantung pada pemanfaatan sumber daya oleh negara luar terutama negara yang kapitalistis. Bahkan pemanfaatan sumber daya alam ini juga seringkali melupakan aspek lingkungan (Fakih, 2011).

Apabila melihat terminologi developmentalisme tersebut tidak heran draft omnibus juga dikatakan melupakan aspek lingkungan. Kekhawatiran soal aspek lingkungan tersebut bukan tanpa alasan. 

Pasalnya, ada tanda-tanda pemerintah membuka keran investasi dan menyederhanakan berbagai izin tanpa mempertimbangkan lingkungan. Kecurigaan lainnya terlihat dari rencana penghapusan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari syarat sebuah proyek (Asumsi, 16/01/2020).

Diluar kekhawatiran terhadap aspek lingkungan tersebut, kita kembali lagi pada alasan yang dikemukakan terkait pengesahan draft omnibus law ini. Sebelumnya dengan alasan harapan pertumbuhan ekonomi sebesar enam persen tersebut bagi saya adalah hal yang mengada-ngada. 

Karena masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tanpa adanya omnibus tersebut pun mampu mencapai enam persen dalam beberapa waktu sebelum digantikan oleh masa pemerintahan Joko Widodo.

Kemudian apabila ingin menaikkan pertumbuhan ekonomi sementara upah buruh ditentukan oleh gubernur dengan besaran yang sama bisa jadi adalah sebuah paradoks, karena gubernur bisa saja mematok jumlah upah terendah sehingga berakibat pada kesejahteraan di daerah dengan upah yang sudah tinggi.

Daripada pemerintah mengurusi omnibus law yang juntrungannya akan tidak jelas itu lebih baik fokus pada penambahan aturan lama dimana pengusaha diharuskan secara berkala meningkatkan kompetensi karyawannya. Hal tersebut lebih dari sekedar peningkatan kemampuan tetapi agar karyawan tersebut setelah tidak bekerja bisa membuka usaha sendiri.

Lebih aneh lagi apabila pemerintah ingin menambah produktivitas dengan disahkannya draft tersebut. Seharusnya pemerintah berkaca apabila ingin meningkatkan produktivitas ya kurangi bahkan kalau bisa hentikan ekspor bahan mentah. 

Dengan banyaknya ekspor bahan mentah tersebut Indonesia sebenarnya telah kehilangan potensi nilai tambah dari bahan tersebut apabila diolah terlebih dahulu. Seperti contohnya untuk sawit saja data terakhir tahun 2019 Indonesia melakukan ekspor sebanyak 42, 9 juta ton dan angka tersebut bertambah dari tahun ke tahun.

Sumber Buku

Fakih, Mansour. 2011. Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik. Pustaka Pelajar: Yogyakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun