Sebetulnya, saya sendiri sih lebih sering menyebutnya dengan Es Dung-dung. Karena sejak saya kecil yang hidup di tahun 80-an hingga sekarang, penjual es ini selalu saya dapati berkeliling ke pemukiman masyarakat sambil membunyikan gong kecil. Bunyinya, "Dung... dung..." Dan pastinya, banyak dari Kompasianer yang membaca tulisan ini, juga sering menjumpai hal tersebut, kan?
Sementara itu, ada juga yang menyebutnya dengan Es Puter karena proses pembuatannya yang melakukan kegiatan memutar wadah es. Jadilah, es krim jadul ini juga disebut dengan Es Puter.
Biasanya, ada dua cara asyik untuk menikmati es ini. Jika membeli ke penjualnya, kita bisa memesan es puter dengan menggunakan cone berbentuk kerucut atau bisa menggunakan roti tawar.
Cita rasa es puter biasanya identik dengan santan. Sedangkan, es krim lainnya biasanya identik dengan susu. Karena itulah, harga es puter pun bisa lebih murah dibandingkan dengan es krim berbahan dasar susu.
Nah, kali ini saya punya cerita tentang pengalaman yang dialami suami saya saat dulu mengajak siswa-siswanya belajar membuat Es Puter. Jadi jauh sebelum ada kurikulum merdeka, kurikulum yang mengajak anak belajar tentang life skill, sekolah madrasah tempat suami saya mengajar di MI Muhammadiyah 1 Lopang, Lamongan ini sudah lebih dulu sering mengajak anak belajar tentang life skill.
Temanya bisa berbeda setiap tahunnya. Terkadang anak diajak belajar membuat cobek, batik ikat, dan pernah juga diajak membuat es puter. Sayangnya saat membuat es puter ini, suami saya tidak punya sama sekali dokumentasinya.
Cara yang Bisa Dilakukan Siswa untuk Membuat Es PuterÂ
Banyak orang yang mungkin tidak tahu, termasuk para siswa suami saya saat itu kalau ternyata, siapa pun bisa membuat es krim tanpa kulkas, lho! Bahkan alat membuatnya bisa membutuhkan es batu, garam, dan kaleng bekas biskuit.Â
Kebetulan, suami saya ini guru wali kelas 5, yang saat itu memang harus mengajarkan materi IPA tentang proses perubahan wujud benda. Jadilah, anak-anak didiknya ia ajak membuat es puter.