Mohon tunggu...
Ika Maya Susanti
Ika Maya Susanti Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas dan pemilik blog https://www.blogimsusanti.com

Lulusan Pendidikan Ekonomi. Pernah menjadi reporter, dosen, dan guru untuk tingkat PAUD, SD, dan SMA. Saat ini menekuni dunia kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Cerita tentang Anak Kecil yang Sudah Paham Jual Beli Akademik

26 Februari 2023   07:54 Diperbarui: 26 Februari 2023   14:20 1237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mencontek saat ujian (Sumber: shutterstock)

Pagi itu saat sedang menunggu anak saya keluar dari kelas ekstra kulikuler bahasa Arab, saya menyapa wali murid lain yang juga menunggu anaknya di kelas yang sama. Karena dulu sewaktu kelas 1, anak kami sama-sama satu kelas, kami pun saling bertukar cerita tentang kelas anak kami di kelas 2 sekarang yang kini sudah berbeda.

Lantas keluarlah cerita darinya, tentang seorang anak di kelas anaknya yang sangat pintar. Anak ini tidak hanya pintar akademik. Namun dari cerita yang saya tangkap, anak ini rupanya juga punya kecerdasan di luar rata-rata anak seumurannya.

Sebut saja namanya Rini. Rini ini sudah mampu diberi tanggung jawab saat guru kelasnya sedang tidak bisa mengajar dan hanya bisa meninggalkan tugas. 

Usai dititipi tugas dari guru, ia sudah mampu mengarahkan teman-temannya untuk mengerjakan, berikut menerangkan dengan detail maksud dari tugas tersebut. 

Yang membuat saya terkejut adalah bagian cerita tentang Rini yang sudah jago menawarkan jasa jual beli akademik. 

"Jadi dia itu sudah berani bilang ke temannya seperti ini, Ma, kamu berani bayar aku berapa buat jawabannya? Dan dia beneran jualan, lho Ma!" seperti itu wali murid teman anak saya bercerita.

Padahal menurutnya, uang sakunya Rini ini ya sudah lumayan besar nominalnya. Katanya dalam sehari, Rini bisa memegang uang 20 ribu untuk jajan di sekolah. Sementara jika menyimak cerita tadi, berarti Rini bisa mengantongi uang lebih banyak dari itu. Apalagi jika 'jualannya' laris dibeli teman-temannya.

Dalam hati saya tersenyum sambil menyimak cerita tentang Rini tersebut. Sebagai orang tua, ada sedikit rasa setuju tapi juga sangat tidak setuju dengan sikap yang dilakukan Rini tersebut.

Berawal dari Keinginan Memberi Pelajaran ke Si Curang

Saat mendengar cerita tentang Rini, saya sebetulnya tidak terlalu menyalahkan sikap anak tersebut. Mungkin, entah itu dari kondisi yang sudah dibolehkan orang tuanya, atau karena memang kecerdasan anaknya yang di atas rata-rata, sikap jual beli akademik ini bermula dari keinginan untuk memberi pelajaran pada anak yang suka menyontek.

Anak yang suka menyontek memang kerap begitu mengganggu bagi anak lain yang jadi sasarannya. Entah karena anaknya malas berpikir, atau karena aslinya memang tidak mampu, seorang anak bisa memilih untuk menyontek sebagai jalan pintas menyelesaikan masalahnya.

Ilustrasi mencontek (Sumber: grid.id)
Ilustrasi mencontek (Sumber: grid.id)

Untuk tataran anak kecil, Rini ini termasuk yang tidak suka jika ada anak yang seenaknya menyontek hasil pekerjaannya. Dan ia nampaknya sudah paham, kalau yang namanya hasil pikiran itu bisa punya harga atau nilai uang. 

Jadi dari pada kesal karena kerjaanya dicontek, lebih baik diberi harga saja. Kondisinya kemudian sama-sama untung. Yang nggak bisa mengerjakan jadi dapat nilai bagus, yang disontek jadi dapat uang.

Namun siapapun tentu paham, bahwa sikap ini tidak bisa dikatakan benar. Meski sama-sama untung dan tidak ada yang dirugikan, nyatanya, ini adalah bentuk kecurangan yang sebetulnya tidak bisa dbiarkan terus menerus.

Perlunya Orang Tua Memberi Pemahaman Berikut Penjelasan Konsekuensi

Jika mencoba berpikir dari sudut pandang orang tua, rasanya bisa jadi saya mungkin akan mengatakan hal tersebut pada anak saya. Namun konteksnya sebagai guyonan atau bahan bercanda.

"Apa, temanmu nyontek? Enak saja. Suruh bayar. Kok enak gratisan!" Mungkin seperti itu model guyonan saya.

Tapi faktanya, anak seumuran kelas 2 SD yang usianya sekitar 8 tahun, bisa jadi tidak paham mana itu bentuk guyonan atau serius. 

Dan akan lebih parah lagi jika nyatanya itu bukanlah bentuk bercandaan dari orang tuanya, atau orang tuanya membolehkan itu dilakukan oleh anaknya. 

Sebagai orang yang pernah mengajar di jenjang pendidikan SD hingga kuliah, saya amati, memang ada tipe anak yang belum bisa memahami mana benar dan mana salah saat ia belum melihat seperti apa konsekuensi panjang ke depannya.

Apalagi sekali lagi, ini terjadi pada anak usia sekitar 8 tahun. Anak seusia ini masih perlu untuk diberi penjelasan dan pemahaman berikut konsekuensi apa yang bisa terjadi ke depannya.

Misalkan pada fenomena yang terjadi pada Rini. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan orang tua saat anak mengadukan masalahnya di sekolah.

1. Memberi solusi

Sebetulnya orang tua yang mendapat aduan dari anak yang sering kesal dengan temannya yang suka menyontek, perlu menjelaskan apa yang bisa dilakukan anak untuk menyelesaikan masalahnya.

Anak saya sendiri pun pernah mengadukan hal tersebut. Setelahnya, saya sarankan ia untuk meminta bantuan guru kelasnya membantu masalahnya. Bahkan sampai urusan detail redaksional apa yang perlu dilakukan anak saya ke gurunya pun saya beri tahu.

Cara ini saya gunakan agar anak saya belajar berani menyelesaikan masalahnya di sekolah, juga memiliki kemampuan komunikasi asertif. Anak jadi belajar mengungkapkan ketidaknyamanannya berikut tahu bahwa masalah itu perlu ada solusi dan penyelesaian.

2. Memberi alternatif solusi

Tak hanya itu, orang tua juga bisa memberikan beberapa alternatif solusi dari masalah anaknya. Misalnya, dengan mengarahkan anak untuk memilih mengajari temannya yang meminta jawaban dibandingkan langsung memberikan begitu saja sontekan ke temannya.

3. Memberi pemahaman tentang konsekuensi

Ajak anak untuk berpikir, apa yang bisa terjadi ke depannya jika anak kurang tepat menyelesaikan masalahnya. Misalnya, jika ada temannya menyontek dan tetap tidak paham, coba ajak anak untuk berpikir, apa yang akan terjadi jika temannya bersikap seperti itu terus. Temannya akan terus menyontek. Anak saya akan terus jadi sasaran tempat meminta sontekan. 

Lantas jika suatu ketika anak yang terus menyontek itu nilainya jadi lebih bagus, anak saya pun rugi sendiri. Inti masalahnya, anak yang menyontek inilah yang perlu dihentikan.

Jadi untuk kasus Rini, sebetulnya baik orang tua, guru, atau pun orang lain, seharusnya perlu menyelesaikan masalah ini. Masalah sikap Rini dan anak yang menyontek perlu sama-sama diselesaikan. 

Anak seperti Rini ini juga perlu disadarkan bahwa sikapnya sebetulnya tidak benar, dan juga termasuk dari bagian kecurangan. Jangan sampai anak-anak seperti Rini yang sejak kecil terbiasa menganggap itu hal wajar dan dibolehkan, lantas terus melakukannya hingga ia besar.

Dan terjadilah yang namanya praktik joki ujian, jual beli skripsi, dan masalah kecurangan lain dalam sistem pendidikan. Semua itu bisa jadi bermula dari anak-anak seperti Rini yang dengan kecerdasan di atas rata-rata, sudah tahu bahwa ada harga untuk setiap kebutuhan yang bisa ditarik keuntungannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun