Beberapa hari yang lalu di lini Twitter saya sempat ramai dengan kasus seorang laki-laki usia 22 tahun yang bunuh diri di kamar kosnya di Surabaya.
Kejadian ini sendiri diawal dari cuitan temannya yang minta tolong di Twitter ke siapa saja yang bisa menghubungi temannya yang ada di kamar kosnya tersebut. Dalam cuitannya, ia menunjukkan sebuah foto sebotol minuman dengan butiran kamper di sebelahnya.
Selain foto itu, ia juga menyertakan keterangan kalau temannya ini sudah 12 jam tidak bisa dihubungi. Dan kepanikannya ternyata beralasan. Saat ditemukan oleh ibu kos dan beberapa orang lainnya, pria yang dikhawatirkan tersebut ternyata sudah meninggal.
Namun dari kasus ini, saya justru merasa tertarik dengan fenomena cuitan balasan yang merespon cuitan kekhawatiran tersebut. Cukup banyak rupanya yang berkomentar tanpa empati.Â
Kebanyakan dari mereka yang tega berkomentar itu mengungkapkan, laki-laki itu sepantasnya tidak cengeng. Tidak mudah terpuruk. Bahkan ada juga beberapa cuitan yang dengan teganya mengatakan silakan saja jika ingin mati.Â
Dalam dunia ini, entah di belahan dunia manapun, memang masih saja kebanyakan orang menganggap laki-laki itu tidak boleh cengeng. Tidak pantas menangis. Harus kuat. Dan berbagai stereotip sejenis lainnya.
Bahkan sejak kecil pun, tak jarang, anak laki-laki sudah dijejali dengan kata-kata tidak boleh menangis. Kalau anak laki-laki menangis, itu namanya cengeng, seperti anak perempuan.
Padahal faktanya, rasa sedih itu tidak mengenal jenis kelamin. Manusia, mau itu laki-laki atau perempuan, ditakdirkan Tuhan untuk punya rasa sedih. Lantas jika perempuan sedih dan boleh menangis, apakah kalau laki-laki sedih tidak boleh melakukan hal yang sama? Apa iya laki-laki tidak boleh bersedih, sementara Tuhan saja menciptakan itu untuk semua jenis manusia?
Belajar dari Bagaimana Choi Taek Diperlakukan Teman-temannya di Reply 1988
Selang beberapa hari setelah kejadian bunuh diri di Surabaya tersebut, saya menyaksikan drama Korea Reply 1988 di televisi. Ada sebuah bagian cerita di episode 4 yang menurut saya cukup menarik.
Di drama tersebut, ada sebuah bagian cerita yang menurut saya berhubungan dengan kejadian yang tadi saya ceritakan. Suatu ketika, Choi Taek yang ahli permainan baduk, kalah dalam sebuah pertandingan. Apalagi, kekalahannya disebabkan oleh pemain pendatang baru.
Choi Taei ini sendiri tipe remaja laki-laki introvert. Kekalahannya tersebut membuat ia sangat sedih, sakit kepala, minum obat, dan menangis. Intinya ia sangat terpuruk atas kekalahannya tersebut.
Para pelatihnya menghiburnya dan berkata, dalam permainan itu tentu ada menang dan kalah. Tak selamanya ia harus menang dalam permainan.
Sementara itu, tetangga-tetangganya yang tahu kekalahan Choi Taek, langsung sigap menghibur ayah Choi Taek. Dan para tetangga saling berpesan untutk tidak mengungkit kekalahan tersebut di depan ayah Choi Taek dan terutama Choi Taek sendiri.
Namun, keempat teman Choi Taek tidak menghiraukan pesan orang tuanya masing-masing. Mereka yang sebetulnya dilarang untuk main ke rumah Choi Taek, tetap kompak mendatangi kamar Choi Taek.Â
Bahkan mereka berempat yang sudah dipesani orang tua masing-masing untuk tidak mengungkit perihal kekalahan tersebut, malah datang mengabaikan pesan orang tua mereka.
Satu persatu dari empat teman Choi Taek masuk kamar Choi Taek sambil mengomeli kekalahan dan menyalahkannya. Padahal saat itu, Choi Taek sedang menangis.
Choi Taek marah, ia merasa itu hanya kesalahan. Tapi temannya tidak setuju. Choi Taek terus membela diri. Tapi teman-temannya tetap membantah jika ia tidak boleh kalah.
Setelah sadar kalau sebetulnya teman-temannya peduli dengannya, Choi Taek malah jadi terhibur karena teman-temannya justru mengajarinya berteriak dan mengumpat untuk melampiaskan kekalahannya.Â
Cara Melankolis-Introvert Menghadapi Keterpurukan
Saya akui, memiliki sisi introvert dan melankolis itu kerap membuat saya seperti sebuah ponsel yang terkadang memiliki saat-saat kehabisan daya beterai. Sebuah ponsel, apalagi yang sedang kehabisan baterai, biasanya membutuhkan waktu untuk diisi dayanya. Lebih bagus lagi jika ponsel tersebut dalam posisi mati atau dinonaktifkan.Â
Jika sudah penuh, sebuah ponsel tidak bisa menghentikan sendiri proses pengisian daya tersebut. Konon kata mereka yang mengerti teknologi, membuat ponsel dalam posisi terlalu diisi daya akan membuat kerusakan pada ponsel. Untuk itu, butuh seseorang yang harus menghentikan proses tersebut.
Saat saya sering bertemu banyak orang, ada waktu di mana saya ingin punya waktu untuk diri sendiri. Hanya sendiri. Dan kebutuhan untuk sendiri itu makin menjadi saat sedang merasa tidak nyaman.
Tapi memang saya akui, orang introvert dan melankolis itu tetap butuh seseorang untuk menariknya keluar dari zona sendirinya. Yang terkadang, itu tidak bisa dilakukannya sendiri.Â
Seperti halnya kejadian kasus bunuh diri di Surabaya, dalam beberapa berita yang beredar, serta beberapa cuitan yang membahas kasus tersebut, cukup banyak orang-orang yang berpesan untuk menghubungi pihak yang tepat saat seseorang sedang dalam kondisi terpuruk.
Pihak yang tepat ini adalah orang yang bisa mengerti, yaitu psikolog. Karena faktanya, tidak semua orang bisa dan berkenan untuk menolong orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan psikis.Â
Andai kita adalah orang yang tahu seseorang terpuruk, namun kita merasa tidak mampu menemaninya, sebaiknya tolonglah dengan mengarahkan si melankolis-introvert ini untuk mendatangi orang yang tepat. Jangan biarkan ia sendirian dan tenggelam dalam keterpurukannya.
Pentingnya Anak Laki-laki Belajar Memahami Perasaannya
Sebagai seorang yang punya sisi introvert dan melankolis, lalu menyadari anak laki-laki saya mewarisi gen yang sama, kejadian bunuh diri di Surabaya dan melihat Choi Taek di drama Reply 1988, cukup membuat saya berpikir banyak.
Sebagai orang tua, apalagi yang anaknya laki-laki dan punya sisi introvert-melankolis, anak tersebut perlu untuk belajar mengenal dan mencerna perasaanya sendiri. Terutama saat ia sedih.
Saya sendiri sering berpesan pada anak laki-laki saya, silakan untuk bersedih dan menangis. Biasanya saya lalu mengajaknya mencari penyebab, apa yang membuatnya bersedih atau penyebab rasa tidak nyaman itu muncul.Â
Dan yang terpenting, anak laki-laki juga perlu belajar untuk bangkit dari kesedihannya. Misalnya dengan ibadah, menarik napas panjang berkali-kali, bernyanyi, atau apapun itu caranya. Orang tua harus mengenalkan cara agar anak laki-laki bisa bangkit dari keterpurukannya.
Sebetulnya hal ini juga berlaku untuk anak perempuan. Namun menurut saya, anak laki-laki perlu lebih sadar bahwa seorang pria punya tuntutan besar untuk bisa lebih kuat mentalnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H