Dulu sekali, saat saya pernah tak kunjung menikah di usia yang sudah di atas kepala tiga, saya pernah memiliki sebuah mimpi.Â
Kata saya waktu itu, kelak, saya ingin punya anak, lalu saya memilih bekerja di rumah, anak-anak akan home schooling dengan saya di rumah, dan seterusnya, dan sebagainya.
Saat saya melihat anak orang lain bersikap ini itu yang kurang baik, melihat orang tua yang menurut saya kurang bagus gaya parentingnya, saya pun berjanji dalam hati, kelak saya akan lebih baik mendidik anak saya. Cap gaya parenting yang bagus atau tidak begitu mudah keluar di kepala saya.Â
Namun saat waktu itu datang, nyatanya semua cita-cita saya pupus seketika. Di usia 33 tahun, saya akhirnya menikah. Lalu punya anak. Dan hingga kini di saat saya punya dua anak dengan anak yang paling besar berusia delapan tahun, nyatanya saya masih memiliki inner child.
Komunikasi saya dengan anak dan suami terkadang dalam kondisi buruk. Saat sadar, saya menangis dan menyesalinya. Namun di kemudian hari, hal itu berulang kembali ritmenya.
Gaya komunikasi yang buruk itu kerap spontan muncul. Rasanya seperti ada sebuah film yang langsung berputar di kepala dan sikap saya pun auto menirunya. Film itu sendiri adalah pengalaman masa kecil yang kerap keluar dengan sendirinya tanpa saya tahu apa pemicunya.
Sampai-sampai, saya pernah ada di titik lelah punya anak. Berharap mereka segera besar dan hidup mandiri. Lalu saya jadi punya banyak waktu untuk sendiri.
Namun pikiran liar tersebut seperti membeku manakala saya diam sejenak, benar-benar dalam posisi diam dan melihat kedua anak saya asyik bermain bersama.Â
Sesekali mereka menoleh ke saya, tersenyum, menghampiri untuk menyapa, lalu kembali beranjak untuk kembali bermain.Â
Saya berujar dalam hati, apapun dan bagaimanapun yang telah, sedang, dan akan terjadi, seharusnya saya tak perlu menyesal karena telah melahirkan kedua anak tersebut. Saya harus hidup di masa sekarang.