Berjalan Bersama Anak untuk Menyembuhkan Inner Child
Membaca hasil wawancara Gitasav serta beberapa alasan orang-orang yang memilih childfree karena alasan inner child membuat saya malah bertanya pada diri sendiri, "Akankah saya menurunkan inner child yang malah nanti membuat anak saya memutuskan childfree?'
Ya, sebagai seorang ibu, jujur, saya akan merasa sangat bersalah jikalau anak saya kelak sampai memilih untuk memutuskan childfree karena alasan inner child yang didapatkan dari saya.
Meski saya akui hingga sekarang masih memiliki inner child, namun ada beberapa hal yang menjadi proses psikis hingga metode pengasuhan yang saya berikut suami lakukan pada anak-anak. Terutama, jika itu menyangkut antisipasi kelak agar anak terhindar dari keputusan childfree.
1. Penguatan pemahaman agama
Bagaimanapun zamannya, sebetulnya tak akan ada yang berubah jika itu menyangkut keyakinan atau agama.Â
Bagi keluarga saya sendiri yang menganut Islam, memiliki keturunan adalah sebuah proses yang memang sewajarnya ada. Bukan berupa keputusan memilih punya atau tidak punya anak.
Mengarahkan keputusan memiliki anak agar nanti menjadi keputusan anak di masa depan tentunya tidak diturunkan dalam bentuk dogma. Ada pemahaman yang menyertainya.
2. Kesadaran untuk tidak menyalahkan orang tua
Saya akui, saya pernah ada di titik menyalahkan sikap orang tua atas inner child yang saya miliki. Namun di kemudian hari saya sadar, bahkan kasihan saat melihat orang tua jadi harus mewariskan inner childnya pada saya.
Saat merasa inner child saya sedang keluar, sekuat mungkin saya menyadari, ini salah saya yang belum bisa mengontrol diri sendiri. Bukan salah warisan dari orang tua.