Saya pernah mengajar di sebuah sekolah di mana urusan keuangan sekolah sepenuhnya ada di tangan bagian keuangan. Bahkan untuk menghimbau ke wali murid siapa agar harus membayar pun tidak pernah saya alami.
Namun nyatanya, ada sebuah sekolah yang sampai meminta guru wali kelas menagih uang SPP ke rumah wali murid secara langsung. Ini tidak bisa dilakukan cukup melalui ponsel saja.Â
Laporan siswa siapa sudah membayar atau belum, menjadi laporan rutin yang akan diterima guru di sekolah tersebut setiap akan ada pekan ujian. Baik itu ujian tengah semester apalagi ujian akhir.
Tak hanya sampai di laporan. Guru juga diminta aktif menghubungi wali murid untuk urusan SPP yang belum dibayar. Sebisa mungkin, sampai ada kabar jika wali murid tersebut akhirnya melunasi pembayaran.Â
Harus memberi nilai bagus dan mengabaikan proses
Kalau untuk yang satu ini, sepertinya banyak guru mengalaminya. Sejak ada KKM, hidup seorang guru ada dalam posisi harus mengusahakan nilai siswa ada di titik KKM. Entah bagaimanapun caranya.
Guru yang mengikuti proses penilaian yang seharusnya, akan mencoba mendorong siswa untuk bisa mengejar nilainya sesuai KKM. Mengejar siswa untuk ikut remedial, memburu siswa yang tak kunjung mengumpulkan tugas, dan sebagainya.
Namun dengan banyaknya tugas guru yang saat ini kebanyakan tidak hanya berurusan dengan proses belajar mengajar, ditambah waktu yang cukup singkat untuk mengolah nilai, langkah simsalabim pun jadi andalan para guru untuk langsung mengangkat nilai siswa.
Segala berkas perangkat pembelajaran atau tingkatan taksonomi untuk proses pembelajaran, semuanya sekejap tidak ada artinya. Yang penting semuanya tersenyum bahagia saat pembagian raport yang sudah ditentukan harinya.
Meminta sumbangan
Sekolah swasta kerap dihadapkan pada urusan finansial dengan tuntutan kemandirian. Meski ada bantuan dari pemerintah, yang terkadang 'lagu potong bebek angsanya' cukup banyak, tetap saja, sekolah swasta harus dituntut mapan kondisi finansialnya.