Mohon tunggu...
Ika Maya Susanti
Ika Maya Susanti Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas dan pemilik blog https://www.blogimsusanti.com

Lulusan Pendidikan Ekonomi. Pernah menjadi reporter, dosen, dan guru untuk tingkat PAUD, SD, dan SMA. Saat ini menekuni dunia kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kebijakan Aneh Ini (Pernah) Menimpa Mereka yang Berprofesi Sebagai Guru

7 Februari 2023   09:13 Diperbarui: 7 Februari 2023   09:22 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay

Seumur-umur kerja, saya pernah merasakan bekerja hingga di lima tempat. Dan jika membicarakan tentang kebijakan aneh, rasanya saat kerja menjadi guru lah fenomena tersebut saya ketahui dan atau rasakan.

Tak dapat disangkal, guru itu adalah sebuah profesi yang terkadang tidak bisa masuk dalam bahasan tema karir atau bekerja. Padahal guru itu adalah sebentuk profesi, sebuah pekerjaan, juga memiliki jenjang karir.

Contohnya saja bahasan upah minimum. Selain guru, orang yang statusnya bekerja pada orang lain biasanya bisa mendapatkan upah minimum. Sementara guru selalu diagung-agungkan dengan pahlawan tanpa tanda jasa, kerja dengan ikhlas, atau pengabdian. 

Lupakan isitilah upah minimum untuk guru. Lupakan juga istilah jam kerja yang menjadi hak dan kewajiban para pekerja. 

Padahal sekali lagi, orang yang berstatus guru itu adalah orang yang bekerja, mencari uang demi menghidupi diri sendiri dan atau beserta keluarganya. Jika sampai ada guru yang menggugat seperti itu, kemungkinan besar orang lain akan berkata, "Seharusnya Anda sadar sebelum memilih profesi menjadi guru, seperti itulah kenyataannya."

Sungguh hal yang miris! Namun, jikalau urusan penghasilan itu dianggap hal wajar, nyatanya saya pernah tahu dan merasakan kebijakan di sekolah yang terbilang aneh. Beberapa kebijakan tersebut antara lain sebagai berikut.

Tidak menerima guru yang terlalu tampan

Saya punya seorang teman yang sangat tampan. Bisa dibilang, wajahnya seperti artis drama Korea. Kulitnya bersih dan putih. Wajahnya seperti khas oriental meski ia bukan keturunan Tionghoa.

Suatu ketika, ia melamar kerja di sebuah sekolah. Saya pun memberinya semangat dan yakin, ia pasti lolos karena saya tahu kemampuannya.

Tapi nyatanya, orang yang diterima di kemudian hari bukanlah teman saya ini. Saat saya cari tahu, bahkan posisi yang dilamar teman saya ini diisi oleh orang yang kemampuannya di bawah teman saya.

Karena penasaran, saya pun mencoba mencari tahu ke teman yang memang memegang bagian seleksi dari posisi tersebut. Jawaban mencengangkan pun saya dapatkan.

Ternyata alasan teman saya tidak diterima adalah, karena ia terlalu tampan! Meski kemampuannya cukup bagus dan sangat memenuhi kualifikasi, tapi ia tidak bisa lolos karena dikhawatirkan bisa memicu keributan di kalangan para siswi di sekolah tersebut.

Dan, kebijakan ini pun terus berlanjut. Guru-guru pria yang diterima di sekolah tersebut bisa jadi berpenampilan baik. Tapi kalau terlalu tampan, alamat kemungkinan besar tidak diterima.

Kebijakan ini akhirnya mematahkan anggapan, terlahir dengan wajah rupawan adalah sebuah keberuntungan!

Ditarget mendapatkan murid seperti halnya tim marketing penjualan produk

Saat seorang guru harus turun ke lapangan untuk mempromosikan sekolah tempatnya mengajar, saya masih menganggap hal tersebut sebagai bentuk kewajaran. Karena guru adalah orang yang paling tahu bagaimana proses di sekolah tempatnya mengajar, maka masih hal yang wajar apabila guru melakukan tugas ini.

Ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan guru dalam tugas promosi sekolah. Yang pertama, guru bisa mengenalkan sekolah ke para siswa yang ada di jenjang sekolah sebelumnya. Yang ke dua, guru bisa sekalian menjaring siswa berprestasi yang diharapkan bisa masuk ke sekolah tempatnya mengajar.

Siswa berprestasi ini memang bisa jadi rebutan sekolah manapun. Alasannya, ia bisa membuat terkenal sekolah tempatnya belajar, meski dasarnya memang anaknya sudah pintar dari sananya.

Namun, kebijakan ini bisa jadi aneh menurut saya, saat guru ditarget mengejar kuantitas murid seperti halnya tim marketing produk tertentu. Setiap hari di WA grup, guru dikejar-kejar dengan pertanyaan "Bagaimana perkembangan hari ini? Apakah ada pertambahan murid yang berminat mendaftar? Bagaimana strategi pendekatan ke calon murid yang sudah dilakukan? Sudah ke mana saja hari ini untuk mencari murid?" dan seterusnya, dan seterusnya. Setiap minggu, selalu haru ada rapat untuk membahas ini.

Dan jika kuantitas murid yang mendaftar sedikit, guru akan disalahkan habis-habisan. Dipojokkan dengan sedikit ancaman akan adanya pengurangan guru. Bahasa kasarnya, akan ada guru yang dikeluarkan jika murid sedikit.

Menagih uang SPP ke rumah wali murid

Saya pernah mengajar di sebuah sekolah di mana urusan keuangan sekolah sepenuhnya ada di tangan bagian keuangan. Bahkan untuk menghimbau ke wali murid siapa agar harus membayar pun tidak pernah saya alami.

Namun nyatanya, ada sebuah sekolah yang sampai meminta guru wali kelas menagih uang SPP ke rumah wali murid secara langsung. Ini tidak bisa dilakukan cukup melalui ponsel saja. 

Laporan siswa siapa sudah membayar atau belum, menjadi laporan rutin yang akan diterima guru di sekolah tersebut setiap akan ada pekan ujian. Baik itu ujian tengah semester apalagi ujian akhir.

Tak hanya sampai di laporan. Guru juga diminta aktif menghubungi wali murid untuk urusan SPP yang belum dibayar. Sebisa mungkin, sampai ada kabar jika wali murid tersebut akhirnya melunasi pembayaran. 

Harus memberi nilai bagus dan mengabaikan proses

Kalau untuk yang satu ini, sepertinya banyak guru mengalaminya. Sejak ada KKM, hidup seorang guru ada dalam posisi harus mengusahakan nilai siswa ada di titik KKM. Entah bagaimanapun caranya.

Guru yang mengikuti proses penilaian yang seharusnya, akan mencoba mendorong siswa untuk bisa mengejar nilainya sesuai KKM. Mengejar siswa untuk ikut remedial, memburu siswa yang tak kunjung mengumpulkan tugas, dan sebagainya.

Namun dengan banyaknya tugas guru yang saat ini kebanyakan tidak hanya berurusan dengan proses belajar mengajar, ditambah waktu yang cukup singkat untuk mengolah nilai, langkah simsalabim pun jadi andalan para guru untuk langsung mengangkat nilai siswa.

Segala berkas perangkat pembelajaran atau tingkatan taksonomi untuk proses pembelajaran, semuanya sekejap tidak ada artinya. Yang penting semuanya tersenyum bahagia saat pembagian raport yang sudah ditentukan harinya.

Meminta sumbangan

Sekolah swasta kerap dihadapkan pada urusan finansial dengan tuntutan kemandirian. Meski ada bantuan dari pemerintah, yang terkadang 'lagu potong bebek angsanya' cukup banyak, tetap saja, sekolah swasta harus dituntut mapan kondisi finansialnya.

Salah satu cara yang pernah saya ketahui untuk meningkatkan ketahanan finansial sekolah ini adalah penyebaran guru untuk meminta sumbangan. Momen yang dipilih adalah bulan Ramadan, dengan alasan sebagai bulan di mana sedekah dihitung berkali lipat ganjarannya.

Permintaan sumbangan ini bisa membuat para guru mendatangi toko-toko atau pengusaha yang sekiranya bisa dimintai sumbangan. 

Dari cerita ini, pesan saya bagi adik-adik mahasiswa keguruan adalah, jika memang ingin menekuni profesi guru, nyatanya, ada banyak kebijakan sekolah di luar sana yang cukup unik dan kecil dibahas dalam bangku kuliah. 

Para calon guru yang ingin melamar kerja ke sekolah internasional atau sekolah swasta biasa, umumnya akan dites seputar pengetahuan dasar terkait mata pelajaran yang dikuasainya, micro teaching, atau psikotes, hingga kemampuan berbahasa asing.

Jika lolos semua itu, selamat. Namun segala proses sejak bangku kuliah hingga tes masuk menjadi guru, terkadang tidak akan menjelaskan sejelas apa ruang lingkup kerja guru yang nantinya akan dijalani. Contohnya, ya kebijakan-kebijakan unik itu tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun