Mulai hari ini sampai tanggal 30 November mendatang, saya ingin mengikuti tantangan menulis dari Om Jay di Kompasiana ini.Â
Nah, karena katanya lebih bagus kalau satu bulan satu tema, jadilah saya ingin menceritakan pengalaman saya selama menjadi pengajar.Â
Apalagi setiap tanggal 25 November diperingati sebagai hari guru nasional. Pas deh!
Hingga kini, sudah ada empat tempat yang memberikan saya pengalaman mengajar. Seumur-seumur, saya pernah menjadi dosen, guru PAUD di taman penitipan anak, guru SMA berasrama, hingga guru Madrasah Ibtidaiyah.Â
Baiklah, mari saya ceritakan satu persatu. Kali ini di tulisan hari ini, saya ingin menceritakan cerita pengalaman saya menjadi dosen.Â
Kesempatan menjadi dosen saat itu berawal ketika saya membaca lowongan di surat kabar tempat saya bekerja di tahun 2007. Ada sebuah politeknik di Batam yang membutuhkan dosen bahasa Indonesia.
Saat saya cari tahu, ternyata yang sudah menjadi pengajar di sana adalah seorang jurnalis senior dari surat kabar lain serta seorang senior FLP yaitu alm. Nurul F Huda.
Kebetulan untuk menjadi dosen di saat itu masih bisa dengan modal ijazah S1 untuk mengajar jenjang D3.
Karena yakin dengan pengalaman saya di bidang jurnalistik, saya pun maju mencoba melamar. Pikir saya, ya siapa tahu, bisa ada peningkatan pendapatan. Hehehe, ini alasan jujur sekali!
Singkat cerita, saya bisa diterima di sana dengan posisi sebagai pengajar. Bahkan beberapa bulan kemudian mendapat tanggung jawab sekaligus menjadi pengampu mata kuliah bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, dan Agama. Agama ini termasuk Islam, Budha, dan Kristen.
Yang awalnya menjadi reporter, lalu harus menggeluti dunia akademis memang membuat saya jadi harus belajar banyak. Untungnya, S1 saya adalah Pendidikan Ekonomi. Jadi saya pun tidak terlalu kikuk saat diminta untuk mengajar.
Berbagai cerita unik dan berkesan yang saya alami antara sebagai berikut.
Sering disangka mahasiswa
Saat menjadi dosen, usia mahasiswa saya kebanyakan masih lah mereka yang lahir tahun 80-an.Â
Sementara, kondisi tubuh saya bisa dibilang seperti anak sekolah. Postur tubuh tinggi dan kurus. Benar-benar mirip anak SMA atau kuliah.
Dua alasan itulah yang kerap membuat saya dikira mahasiswa oleh mahasiswa saya sendiri! Bahkan meskipun saya sudah pakai baju a la dosen kebanyakan.
Misalnya saat mahasiswa sedang presentasi dan saya memilih di belakang untuk mengawasi, eh... tahu-tahu ada mahasiswa terlambat dan masuk sambil cekikikan. Teman-teman lainnya hanya melongo takjub lalu memberi kode tatapan mata ke belakang.Â
Dan jawaban dari mahasiwa yang terlambat itu adalah, "Eh, Ibu... Maaf Bu, saya kira ibu mahasiswa juga!"
Rasanya saat itu mau marah tapi kok malah saya yang jadi malu sendiri.Â
Menjumpai beberapa mahasiswa dan mahasiswi hebat
Sejujurnya, ada beberapa mahasiswa yang begitu berkesan hingga tersimpan kuat di memori saya. Selama menjadi pengajar di politeknik tersebut, saya menjumpai beberapa mahasiswa yang punya karakter hebat.
Ada yang dari pagi sampai sore kuliah. Lalu malam sampai pagi bekerja di PT sebagai buruh pabrik. Sering saat datang ke kampus pagi-pagi, saya melihat ia menjaga posisi tidurnya sambil duduk di bangku taman lantai 3 kampus yang kebetulan adalah lantai kantor dosen.Â
Ada juga mahasiswa yang orang tuanya sempat ingin menarik mundur pendaftaran anaknya karena merasa tidak mampu. Tapi pihak kampus menahannya karena melihat hasil nilai tes anak tersebut yang sangat bagus.
Di kemudian hari, keputusan kampus tempat saya mengajar memang tepat. Karena mahasiswa tersebut akhirnya membawa nama harum kampus dalam ajang lomba robotik di tingkat internasional.
Ada lagi cerita mahasiswa saya yang menyimak perkuliahan sambil mendengarkan musik di earphone. Saya tahu itu musik, karena melihat kaki dan tangannya yang sesekali bergerak mengikuti irama.
Awalnya saya membatin, "Anak ini kok ya kebangetan sih! Saya menerangkan, eh, dia malah asyik mendengarkan musik."
Namun saat saya tes pemahaman mahasiswa sampai sejauh mana mereka menyerap keterangan dari saya, eh, si mahasiswa pendengar earphone ini lah yang malah mengacungkan jari dan menjawab pertanyaan saya.
Tentu saya jadi kaget dong. Nyatanya, di kemudian hari saya kembali menemukan anak seperti itu. Malah dengan versi, di kelas sambil tidur!
Di lain waktu, sosok-sosok mahasiswa hebat ini akan saya ceritakan deh di tulisan tersendiri sebagai bahan inspirasi positif ya.
Sering menemukan ide mengajar yang mengasyikkan
Latar belakang ilmu kependidikan, menjadi modal buat saya selama menjadi dosen. Ditambah lagi, dasarnya, saya juga suka hal yang berbau permainan dan kreativitas.
Akhirnya saat mengajar di politeknik, kerap saya mendapat ide mengasyikkan yang bisa diterapkan di kelas. Mulai dari mengajak mahasiswa menyimak film, meminta mahasiswa presentasi dengan cara sekreatif mungkin, sampai meminta menantang mahasiswa membuat film pendek.
Bisa ikut terlibat di penelitian Bank Indonesia
Pengalaman lain tak terlupakan adalah saat berkesempatan ikut penelitian yang diadakan Bank Indonesia tentang analisa SWOT di tiap kabupaten atau kota yang ada di Provinsi Kepulauan Riau.
Karena saya pernah meliput di daerah Tanjungpinang, akhirnya saya mengambil wilayah Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan. Kebetulan, banyak kantor dinas Kabupaten Bintan saat itu berada di Kota Tanjungpinang.
Karena terlibat di penelitian tersebut, saya jadi tahu kalau sangat banyak sekali potensi alam terutama di Bintan yang belum maksimal disentuh masyarakat.Â
Lain waktu, saya cerita lebih lengkap ya terutama tentang pengalaman-pengalaman unik saat mengajar serta beberapa mahasiswa hebat yang inspirarif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H